Salah satu isu utama industri manufaktur adalah soal tingginya biaya input. Koordinasi antarpemangku kepentingan dibutuhkan agar ”satu bahasa” dalam mencapai tujuan. Kini waktunya mendorong daya saing industri.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Power and manpower. Energi dan tenaga kerja. Demikian pandangan seorang pengusaha yang bergerak di sektor padat karya berorientasi ekspor mengenai faktor kunci daya saing produk manufaktur.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pun menengarai salah satu isu utama industri manufaktur adalah menyangkut biaya input atau masukan. Biaya energi, selain upah sumber daya manusia maupun biaya dana ketika perusahaan meminjam uang di bank, menjadi bagian dari biaya masukan.
Ringkasnya, semakin kompetitif biaya masukan, kian berdaya saing pula harga produk keluaran dari industri manufaktur tersebut. Demikian pula sebaliknya.
Patut dicatat bahwa di kancah perdagangan global saat ini, daya saing harga bukan hanya penting untuk berkompetisi di pasar domestik, melainkan juga ekspor. Faktanya, bukan hanya Indonesia yang ingin menggarap kue perdagangan dunia.
Para pelaku industri manufaktur selama ini kerap menyuarakan keinginan mereka untuk mendapatkan dukungan di sisi harga energi. Sebut saja pelaku industri pertekstilan yang mengusulkan diskon tarif listrik malam hari untuk menopang daya saing industri nasional.
Praktik yang dilakukan di negara lain dalam mendorong daya saing sektor produktif dinilai dapat menjadi bahan perbandingan bagi pemangku kepentingan di Indonesia. Salah satu bahan komparasi adalah diskon tarif listrik di China dari pukul 22.00 sampai 06.00.
Sebagai gambaran pada pukul 22.00 tersebut pusat perbelanjaan biasanya sudah tutup. Aktivitas di rumah-rumah warga pun sudah berkurang. Alhasil, banyak peranti listrik yang dimatikan atau dikurangi pemakaiannya. Nah, pada saat tersebut diskon tarif listrik diberikan kepada industri yang beroperasi 24 jam untuk berproduksi.
Ada pandangan bahwa mesin industri tekstil yang selama ini hanya dipakai siang hari akan dioptimalkan selama 24 jam apabila ada dukungan tarif listrik yang kompetitif. Biaya produksi per unit akan lebih murah sehingga berujung pada harga produk akhir yang berdaya saing.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pun menilai penting peran sektor energi bagi kegiatan perekonomian di negeri ini. Terkait hal tersebut, dalam tinjauan Apindo 2020 disebutkan bahwa pengelolaan energi harus berkelanjutan. Pengelolaan ini menyangkut penyediaan, pemanfaatan, dan pengusahaan energi.
Konsistensi penerapan Rencana Umum Energi Nasional dinilai perlu untuk mendukung ketahanan energi. Salah satunya melalui pemberian insentif bagi industri penghasil energi baru dan terbarukan (EBT).
Merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi EBT geotermal mencapai 28,5 gigawatt (GW), sementara utilisasinya baru 2,13 GW atau 7,4 persen. Utilisasi hidro, minihidro, dan mikrohidro 5,9 GW atau 7,9 persen dari potensinya yang 75 GW.
Potensi bioenergi 32 GW, sementara yang dimanfaatkan baru 1,9 GW atau 5,9 persen. Potensi angin 60 GW dengan utilisasi 0,2 GW (0,3 persen). Adapun potensi surya 207 GW peak (GWp) dengan utilisasi 0,1 GWp (0,1 persen).
Bicara potensi, negeri ini tidak kurang sumber energi. Sinergi dan koordinasi antarpemangku kepentingan dibutuhkan agar ”satu bahasa” dalam mencapai tujuan bersama. Saatnya mengoptimalkan potensi agar daya saing tinggi di segala lini, baik sektor energi maupun industri, dapat terealisasi dan bukan sekadar mimpi.