Banjir yang menggenangi Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, selama hampir dua bulan, tak kunjung berhasil ditangani. Hal itu terjadi karena banjir penyebabnya sangat kompleks.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Banjir yang menggenangi Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, selama hampir dua bulan, tak kunjung berhasil ditangani. Hal itu terjadi karena penyebab banjir sangat kompleks sehingga perlu diurai secara bertahap.
Pelaksana tugas Bupati Sidoarjo Nur Achmad Syaifuddin mengatakan, pihaknya telah memetakan penyebab banjir tersebut dan akan menangani persoalan satu per satu agar bencana segera berlalu. Namun, hal itu bukan pekerjaan mudah dan memerlukan dukungan dari semua pihak, terutama masyarakat.
”Pemerintah berupaya menangani banjir secepatnya. Pemprov Jatim melalui BPBD Jatim sudah membantu mesin pompa untuk menyedot air. Kendalanya menentukan lokasi pemasangan pompa,” ujar Nur Achmad, Rabu (18/2/2020).
Air tidak mungkin dibuang ke sungai karena kondisinya penuh. Air juga tidak mungkin dibuang ke desa tetangga karena sama dengan memindahkan bencana. Hingga saat ini, baru satu pompa yang terpasang, yakni di Desa Banjarasri. Itu pun belum berfungsi secara maksimal karena tempat penampungan air penuh.
Pemerintah berupaya menangani banjir secepatnya. Pemprov Jatim melalui BPBD Jatim sudah membantu mesin pompa untuk menyedot air. Kendalanya menentukan lokasi pemasangan pompa.
Sementara itu, terkait penyebab banjir, dari aspek geografis, Sidoarjo rentan karena berupa dataran rendah yang menjadi muara dari 18 sungai. Posisi geografis ini menyebabkan dataran Sidoarjo pada masa silam memiliki banyak kedung (kolam atau kubangan) yang menjadi area parkir air.
Ada Kedungpeluk yang merupakan nama sungai dan Kedunglarangan, serta kedung lain termasuk Kedungbanteng. Namun, seiring waktu area tangkapan air ini diuruk atau dikeringkan untuk pembangunan permukiman baru, perluasan, ataupun pembukaan kawasan industri.
”Berapa luas areal sawah yang sudah diuruk lalu dialihfungsikan menjadi tanah kavling siap dibangun rumah. Selain itu, ada pengurukan tanah untuk kepentingan pembangunan fasilitas pengeboran minyak dan gas,” ujar Ketua Badan Permusyawaratan Desa Kedungbanteng Ismail.
Bantaran sungai hilang
Ismail menambahkan, bantaran sungai di desanya banyak yang hilang dan disulap menjadi bangunan liar, seperti warung kopi, warung makan, tempat cuci motor, dan bengkel. Permukaan sungai pun ditutup bangunan liar, seperti jembatan yang konstruksinya tak standar.
”Badan sungai juga diokupasi menjadi bangunan. Dulu, Sungai Gedangrowo (yang melintasi Desa Banjarasri dan Kedungbanteng) bisa dilalui dua perahu berjalan sejajar. Namun sekarang lebarnya tinggal 2-3 meter,” katanya.
Posisi geografis Sidoarjo juga menyebabkan daerah ini kerap mendapatkan kiriman air dari daerah penyangga di hulu, seperti Mojokerto. Kondisi kawasan resapan air di hulu juga banyak berubah menjadi permukiman, kawasan industri, dan destinasi wisata. Akibatnya, kiriman air permukaan ke Sidoarjo semakin besar. Indikasinya, sungai di Sidoarjo sering meluap meski tidak hujan.
Ketua Laboratorium Geofisika Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Amin Widodo mengatakan, genangan yang bertahan lama di Desa Banjarasri dan Kedungbanteng menandai terjadinya fenomena penurunan tanah. Pertanda lainnya adalah banyak rumah rusak.
”Kerusakan itu bisa beragam, contohnya dinding rumah retak-retak dan pintu rumah bergeser sehingga sulit dibuka,” ujar Amin ketika dihubungi pada Minggu (16/2/2020).
Selain itu, adanya perubahan aliran air permukaan. Semua tanda fenomena penurunan tanah itu ditemukan di Desa Banjarasri dan Kedungbendo. Dulu desa ini tidak pernah banjir. Satu dekade belakangan desa ini mulai sering dilanda banjir meski hanya berlangsung 2-3 hari dan cepat surut.
Menurut Amin, fenomena penurunan tanah disebabkan semburan lumpur Lapindo. Hal itu karena lokasi Desa Banjarasri dan Kedungbanteng masuk dalam radius kurang dari 6 kilometer dari pusat semburan, tepatnya sekitar 2 kilometer. Selain Desa Banjarasri dan Kedungbanteng, kawasan lain di sekitar pusat semburan yang mengalami penurunan tanah signifikan adalah Desa Pesawahan, Candi Pari, dan Jalan Raya Porong di Kecamatan Porong.
Terkait perubahan aliran air permukaan ini diakui Nur Achmad. Sejak muncul semburan lumpur yang berimplikasi pada pembangunan tanggul kolam penampungan seluas 671 hektar, arah aliran air menjadi semrawut. Hal itu diperparah minimnya pemeliharaan sungai. Normalisasi Sungai Gedangrowo terakhir dilakukan pada 2011 atau sembilan tahun lalu.
Kendalanya karena tidak ada akses untuk alat berat. Seluruh bantaran sungai tertutup bangunan liar. Pada kondisi bencana seperti ini, pemerintah daerah berencana membongkar sejumlah bangli untuk akses alat berat agar sungai bisa dinormalisasi untuk meningkatkan daya tampungnya.