Mahar Kematian
Sejak bangun tidur, Mustofa merasakan kepalanya sakit, rasa nyeri menjalar di tulang belakang lehernya.
Laki-laki bertubuh kurus serupa batang lidi itu berjalan keluar, ke teras rumahnya, kemudian ia duduk pada sebuah kursi berwarna kusam. Sesekali terdengar suaranya merintih, rupanya rasa sakit di lehernya semakin menjadi-jadi ketika ia coba sandarkan kepalanya.
”Lehermu sakit?” kata ibunya bertanya pada Mustofa. Perempuan tua itu tiba-tiba berdiri di bibir pintu.
Perempuan tua dengan tubuh yang nyaris bengkok itu memegang kepala anaknya, dirasakannya hawa panas oleh tangan keriputnya. Ia menggeleng berkali-kali, seraya mengucap istighfar. Ia menyeret kursi, disejajarkan posisinya dekat Mustofa. Terlihat perempuan tua itu membendung air yang hendak keluar dari mata cekungnya.
”Apa tak sebaiknya kau batalkan saja rencana pernikahan itu?” Mustofa langsung memutar kepala untuk memandang wajah ibunya.
”Hati-hati nanti lehermu semakin sakit,” kata perempuan tua itu. Mustofa tak berkedip. Jantungnya berdetak seirama dengan jarum jam di atas dinding.
”Apa yang sudah diucap, pantang ditarik. Lelaki harus memegang kata-katanya sendiri. Harga diri dipertaruhkan.” Mustofa mengembuskan napasnya dalam-dalam. Terbayang wajah Halida, perempuan yang akan dinikahinya bulan depan.
”Apa kau sanggup memberikan mahar yang diminta? Kau pikir-pikirlah. Perempuan yang benar-benar mencintaimu tak akan menyulitkanmu.”
Hening sejenak, hanya terdengar suara angin menggesek pohon siwalan di samping rumah. Mustofa memegang tangan ibunya, mohon doa agar ia sanggup memberi mahar yang disepakati semalam di rumah Halida. Mustofa sudah mengucap, bersedia memenuhi mahar yang diminta Halida, meskipun ia merasakan jantungnya berhenti sejenak ketika Halida mengatakan jumlah mahar yang dimintanya.
Perempuan tua itu melihat Mustofa, anaknya yang belum bereaksi apa pun saat mahar disebut. Mustofa masih mengatur laju napasnya, pelan ia mengembuskannya. Bulan mengintip dari balik pelepah janur. Mustofa mengedarkan senyum, terlihat ragu-ragu bibirnya merekah. Keningnya berkeringat, diusapnya terlebih dulu, kemudian dengan berusaha tenang ia menjawab.
”Saya sanggup memenuhi mahar itu. Demi cinta saya pada Halida.” Nada suara Mustofa bergetar. Berbinar-binar wajah Halida. Selanjutnya, hari dan bulan baik ditentukan, semua bersepakat bulan depan akan digelar pesta pernikahan.
Siapa pun mengetahui hidup Mustofa bergelantungan di garis kemiskinan sejak bapaknya meninggal belasan tahun lalu. Mustofa ditinggal sang bapak ketika ia baru menginjak usia lima tahun. Kematian bapaknya di penjara dianggap sebagai suratan dari Tuhan. Lelaki itu dijebloskan ke penjara, setelah ia menebas leher Samsuri, seorang lelaki yang kerap mengedipkan matanya pada ibu Mustofa.
Mustofa kecil, selalu bertanya waktu itu, ”Bapak ke mana Bu? Kenapa belum pulang?”
”Bapakmu sedang kerja di tempat jauh. Ia pasti pulang.”
Benar saja, setelah beberapa tahun kemudian, Saniman, bapak Mustofa tersebut pulang ke rumah. Ia kembali tanpa embus napas dari hidungnya, malaikat Izrail menemuinya di penjara. Desas-desus keluar dari mulut para tetangga, sebagian beranggapan Saniman mati bunuh diri karena tak sanggup menjalani hukuman seumur hidup, sebagian lagi berkeyakinan Saniman meninggal secara wajar, mati karena takdir.
Tinggal berdua bersama ibunya, Mustofa tidak jelas mata pencariannya. Pekerjaan laki-laki yang sekarang sudah berusia dua puluh tujuh tahun itu serabutan, apa saja dikerjakannya. Keuangan keluarga terpaksa mengakhiri pendidikannya sampai di bangku sekolah dasar. Mustofa hanya tersenyum, menahan sesak di dadanya setiap kali ibunya mengatakan, tak akan malang nasib Mustofa jika bapaknya tidak bertikai dengan Samsuri.
***
Tinggal lima belas hari lagi, akad nikah sekaligus resepsi akan dilangsungkan. Setiap kali berjumpa Mustofa di mana pun, Halida pasti menanyakan mahar yang dimintanya, apakah sudah disiapkan atau masih belum ada kepastian. Mustofa menghilangkan rasa was-was di hati Halida, tegas ia mengatakan, mahar itu akan dipenuhi, bulan dan bintang pun akan Mustofa penuhi, andai Halida memintanya.
Gelap membungkus langit, gerimis sedang liris. Mustofa duduk berdua bersama ibunya, keduanya tampak bingung. Perempuan tua itu mengusap-usap kepala Mustofa, berlinang air matanya, jatuh ke pipi tirusnya. Mustofa membungkus tubuhnya dengan kain sarung, melindugi diri dari serangan dingin.
”Apakah ini bukan isyarat kalau Halida menolakmu?” Mustofa mendapat pertanyaan itu dari ibunya. Ia mengerutkan kening, seperti garis terombang-ambing.
”Tak ada alasan Halida menolak saya. Kami sudah lama menjalin hubungan.”
”Dulu, saya pernah menolak cinta Samsuri. Saya menolaknya dengan meminta mahar yang tak sanggup ia penuhi. Samsuri pun mengundurkan diri, tak sanggup ia memberi saya mahar yang menurutnya di luar akal.”
Beberapa saat, perempuan tua itu berhenti sejenak. Lalu ia kembali berkata, ”Dan ketika bapakmu melamar saya. Saya minta mahar yang sangat ringan. Dan kami pun menikah.”
Pikiran Mustofa bercabang-cabang, gelisah hatinya mendengar kisah percintaan ibunya sewaktu muda. Apakah benar mahar yang diminta Halida sebagai isyarat cintanya pada Mustofa sudah pudar? Mustofa menduga-duga kemungkinan Halida memang sudah mengubur perasaannya, tak mau hidup dengan laki-laki melarat. Tapi, mungkinkah Halida seperti itu? Mustofa pusing memikirkannya, kepalanya sakit lagi.
Beberapa hari yang lalu, tanpa sengaja Mustofa lewat depan rumah Halida, awas mata Mustofa melihat seorang lelaki seumuran dirinya sedang duduk berdua dengan ayah Halida. Keduanya bermain catur, tertawa terbahak-bahak, keakraban mengalir di antara mereka, seolah tak ada sekat antara tamu dan tuan rumah.
Dengan rasa penasaran, Mustofa coba mendekat secara diam-diam, mengangkat kakinya pelan-pelan agar tak terdengar keresak sandalnya, mengintip dari balik rimbun pohon pisang. Mustofa tercenung dan berpikir macam-macam ketika ia mengetahui lelaki di hadapan ayah Halida itu adalah Faisal anak dari Samsuri, seorang juragan sapi yang kaya raya dari desa sebelah.
Tak lama kemudian, Halida datang mengantar minuman. Dari jauh, Mustofa melihat Halida buru-buru masuk lagi ke dalam, Faisal melirik, tersenyum melihat Halida. Ayah Halida menepuk pundak Faisal, memintanya fokus ke permainan catur. Faisal minum teh buatan Halida, segar kelihatannya. Mustofa menahan gejolak dalam dadanya, pergi dengan perasaan bercampur aduk.
”Jodohmu adalah gambaran dari dirimu. Tuhan tak akan pernah menukar jodoh seseorang. Percayalah, lelaki yang baik akan berjodoh dengan yang baik pula. Janganlah kau risau hanya karena seorang perempuan semata.” Mustofa diam mendengar kata-kata ibunya. Sudah ia jelaskan pada perempuan tua itu, apa yang dilihatnya beberapa hari lalu.
”Apakah Faisal dendam sama saya karena bapaknya mati di tangan bapak?” Mustofa bertanya, menerka-nerka.
”Bapakmu membela saya. Membela martabat keluarga.” Perempuan tua itu menekan suaranya.
Tujuh hari kemudian, Mustofa melihat Faisal sedang berbisik-bisik dengan dua orang lelaki berbadan besar, tinggi dan hitam di bawah pohon mangga. Tanpa sengaja, Mustofa mendengar obrolan mereka, sebuah rencana pembunuhan. Nama Mustofa disebut sebagai orang yang mesti mati sebelum hari pernikahannya dengan Halida terjadi. Faisal menginginkan Halida, juga menginginkan kematian Mustofa.
Apabila Mustofa mati, dendam terbalas, sekaligus harapan mendapatkan Halida tercapai. Sekali dayung, dua pulau terlampaui. Faisal menepuk dada, dua orang lelaki itu pergi. Bergetar tubuh Mustofa, mulai merasa diintai oleh malaikat Izrail. Ia menelan ludahnya, bernapas pelan-pelan.
Akhir-akhir ini, menjelang hari pernikahannya, Mustofa sering duduk termenung di teras rumahnya. Bayang-bayang kematian melintas di kelopak matanya. Selain itu, Mustofa mulai merasa tak sanggup memenuhi mahar yang diminta Halida. Pernikahan tak akan pernah terjadi jika sampai satu hari sebelum hari akad pernikahan, mahar tak dipenuhi, demikian ayah Halida mengatakannya berulang-ulang pada Mustofa.
Karena sudah merasa mustahil memenuhi mahar yang disyaratkan, Mustofa memilih menemui Faisal, pada malam hari, dalam gerimis yang jatuh serupa helai rambut. Ibunya tertidur pulas, Mustofa pelan-pelan menutup pintu dari luar, mengangkat kakinya yang telanjang, dipasangnya sandal setelah jauh dari rumah.
”Saya sangat mencintai Halida. Saya tak akan mengingkari janji untuk memenuhi mahar yang dimintanya. Saya butuh uang.” Mustofa menunduk, jantungnya berdetak lemah.
”Kau bisa penuhi mahar itu dengan mudah.” Faisal berkata santai sekali.
”Bagaimana caranya?”
”Tukar nyawamu dengan uang.”
”Saya memang datang untuk itu. Setelah saya mati, tolong haturkan uang itu pada Halida sebagai mahar. Bukti bahwa saya benar-benar mencintainya, juga bukti bahwa saya tak mengingkari perkataan sendiri.”
Faisal tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba dua orang lelaki menggorok leher Mustofa. Keesokan harinya, Faisal datang memberikan segepok uang pada Halida. Kaget perempuan itu dan bertanya, ”Untuk apa ini?”
”Mahar dari Mustofa.”
”Di mana dia?” Halida mengedarkan pandangan, mencari-cari Mustofa. Cemas melingkar di wajahnya. Ia merasakan sesuatu tidak beres. Hingga kemudian pada hari pernikahan yang sudah disepakati, Mustofa tak juga muncul, padahal mahar sudah diterima Halida.
Perempuan berparas cantik itu merias diri sebagai pengantin di depan cermin, berharap Mustofa segera datang. Tapi, Mustofa tidak datang hingga matahari sudah tenggelam di ujung barat. Halida menangis histeris, memanggil-manggil nama Mustofa.
Pulau Garam, Juni 2019
*) Zainul Muttaqin Lahir di Batang-Batang, Sumenep, Madura, 18 November 1991. Cerpen-cerpennya dimuat di pelbagai media lokal dan nasional. Meraih Juara II Lomba Cerpen Se-Nusantara (Dinas Perpustakaan dan Kearsipan, Kabupaten Sumenep, Desember 2017). Buku kumpulan cerpen perdananya; Celurit Hujan Panas (Gramedia Pustaka Utama, 2019). Tinggal di Sumenep, Madura. E-mail; lelakipulaugaram@gmail.com