Urgensi Hak-Hak Asasi Manusia di Papua
Pemerintah beserta aparat kemanan harus mendengarkan aspirasi dari masyarakat lokal terkait krisis kemanusiaan di Papua. Ada suara-suara di Nduga yang meminta agar militerisasi yang berlebihan diakhiri.
Isu HAM di Papua kembali mengemuka. Pemicu terbarunya adalah polemik atas kredibilitas suatu data tentang puluhan tahanan politik terkait Papua dan kematian ratusan warga di Kabupaten Nduga sepanjang 2019.
Agar tidak sebatas polemik, pemerintah perlu bertindak efektif dan berdampak positif bagi perbaikan situasi HAM di Papua. Polemik ini menyusul polemik sebelumnya ketika terjadi pembunuhan atas puluhan pekerja Istaka Karya, Desember 2018.
Polemik terbaru di atas mengemuka setelah tersiar kabar bahwa data tersebut diserahkan kepada Presiden Joko Widodo di sela-sela kunjungannya menemui anggota parlemen Australia awal Februari lalu.
Menurut Pengacara HAM Veronica Koman, timnya menyerahkan data itu kepada Presiden. Menkopolhukam Mahfud MD meragukan kebenaran penyerahan data sekaligus kredibilitas datanya. Namun, Ketua YLBHI Asfinawati menegaskan data itu akurat.
Baca Juga: Dialog di Papua Butuh Ketulusan
Bagaimana kita menyikapi polemik ini? Saya berpendapat penanganan Papua menjadi semakin penting karena semakin mengkhawatirkan dan mendesak untuk ditangani. Bersyukur Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentuk Panitia Khusus gabungan.
Saya berpendapat penanganan Papua menjadi semakin penting karena semakin mengkhawatirkan dan mendesak untuk ditangani.
Tiga isu strategis
Ada tiga isu strategis yang mendesak diperhatikan pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara. Pertama, penanganan kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Salah satu kasus yang menonjol adalah penembakan di Paniai yang dinilai Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat. Hasil penyelidikan diserahkan Kejaksaan Agung pada 11 Februari 2020.
Berdasarkan investigasi Komnas HAM, oknum prajurit TNI bertanggung jawab atas tragedi di Paniai. Empat orang meninggal akibat luka tembak dan tusukan, 21 orang dirawat di rumah sakit. Komnas HAM menilai kasus ini memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan.
Peristiwa Paniai terjadi 7-8 Desember 2014, saat Presiden Joko Widodo memulai periode pertama pemerintahan. Kesimpulannya, pelanggaran HAM berat selalu terjadi di setiap era kepresidenan. Namun, yang lebih penting lagi adalah apakah rekomendasi Komnas HAM ini ditangani pemerintah.
Seperti kita tahu, pada 27 Desember 2014, dua pekan setelah kasus Paniai, Presiden Joko Widodo menyatakan: “Saya ingin kasus ini diselesaikan secepat-cepatnya. Kita ingin sekali lagi Tanah Papua menjadi tanah yang damai.”
Kedua, penahanan dan penuntutan dengan pasal makar terhadap mereka yang secara damai menuntut solusi politik penentuan nasib sendiri hingga aspirasi kemerdekaan Papua.
Sejumlah organisasi pemerhati Papua sebelumnya mencatat 80-an orang menjadi tahanan politik. Amnesty International memverifikasi setidaknya 57 tahanan hati nurani (prisoners of conscience-POC) yang ditangkap dengan tuduhan pasal makar. Patut disayangkan bahwa sejumlah aktivis Papua ditangkap, ditahan dan diadili dengan pasal makar, padahal mereka hanya menggunakan hak mereka berkumpul dan berekspresi damai.
Menurut Amnesty International Indonesia, tujuh orang diadili di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kalimantan Timur, enam orang diadili di PN Jakarta Pusat, satu orang menunggu sidang di Jayapura, Papua, empat orang disidangkan di Manokwari, Papua Barat, dan 15 orang menunggu sidang di Sorong, Papua Barat.
Ada satu orang yang juga ditangkap di Timika atas tuduhan makar, namun data masih diverifikasi. Ada 20 orang yang dikenakan pasal serupa dan ditetapkan tersangka oleh Polres Jayapura pada 1 Desember 2019, ditangguhkan 20 Desember 2019.
Baca Juga: Terdakwa Kerusuhan di Papua Diduga Punya Agenda Makar
Ini merupakan pelanggaran hak mereka atas peradilan yang adil (fair trial), yang mana mereka seharusnya diberitahu secepatnya dan terperinci atas dakwaan yang ditimpakan kepada mereka. maka para pengacara terpaksa meminta penundaan sidang.
Kematian warga
Ketiga, kematian ratusan warga Papua selama mengungsi pasca operasi keamanan di Nduga. Laporan organisasi masyarakat sipil pegunungan tengah Papua memperkirakan 243 orang tewas sejak Desember 2018 sampai Desember 2019. Mereka menilai kematian itu disebabkan oleh kondisi cuaca, tidak ada air, makanan, hingga gangguan kesehatan dan luka tembakan.
Laporan telah diserahkan oleh Tim Kemanusiaan Nduga kepada pemerintah dan wakil-wakil rakyat. Tim yang diwakili oleh Theo Hasegem dan John Djonga menyerahkan ke Kantor Staff Presiden, anggota DPD maupun DPR di Jakarta.
Terkait kasus Nduga, posisi Amnesty International jelas, harus ada keadilan bagi korban pembunuhan oleh kelompok bersenjata, Desember 2019. Aparat keamanan wajib menangkap pelaku dan mengadilinya dalam mekanisme hukum yang adil serta memastikan bahwa semua yang terlibat juga mendapat hukuman.
Yang sangat penting untuk dipastikan adalah respons aparat keamanan atas pembunuhan itu tidak boleh mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia lebih lanjut.
Harus ada solusi segera untuk masalah kemanusiaan di Nduga ini. Jika tidak maka akan lebih banyak lagi pengungsi yang meninggal karena kondisi tempat tinggal tidak layak khususnya bagi mereka yang lari ke hutan. Pemerintah beserta aparat kemanan harus mendengarkan aspirasi dari masyarakat lokal terkait krisis kemanusiaan ini. Ada suara-suara di Nduga yang meminta agar militerisasi yang berlebihan diakhiri.
Amnesty International sadar akan kondisi lapangan yang kompleks di mana aparat penegak hukum sering berada di situasi berbahaya ketika melaksanakan tugas mereka di wilayah Papua.
Namun, bahkan dalam situasi seperti itu, aparat penegak hukum harus memastikan penghormatan penuh terhadap hukum hak asasi manusia internasional, termasuk perlindungan terhadap hak untuk hidup, serta kebebasan dan keamanan. Kegagalan menghormati hak asasi manusia akan berkontribusi pada siklus ketegangan dan kekerasan.
Sebaiknya pejabat pemerintah juga tidak gegabah membuat kebijakan berupa pendekatan militer demi mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Amnesty International tidak mengambil posisi apapun pada status politik dari setiap provinsi di Indonesia, termasuk seruan untuk kemerdekaan.Negara seyogianya merujuk pada kebijakan menghadapi situasi serupa di Aceh, dengan mengedepankan jalan non-militer, yaitu gencatan senjata dan kesepakatan perdamaian.
(Usman Hamid Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Direktur Amnesty International Indonesia)