Pemerintah memutuskan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Skema jaminan sosial diperlukan untuk menekan dampak negatif dari pembatasan terhadap rumah tangga ataupun dunia usaha.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pembatasan mesti mempertimbangkan aspek ekonomi bagi penduduk dan perusahaan. Tanpa skema jaminan sosial yang matang, langkah ini berpotensi meningkatkan pemutusan hubungan kerja dan jumlah penduduk miskin.
Dalam laporan bertajuk ”Asia Timur dan Pasifik ketika Covid-19”, Bank Dunia memperingatkan, pandemi Covid-19 akan berdampak serius terhadap pengurangan kemiskinan. Jika situasi ekonomi memburuk, jumlah penduduk miskin di Asia Timur dan Pasifik akan bertambah sekitar 11 juta orang. Padahal, sebelumnya diproyeksikan sekitar 35 juta orang keluar dari kemiskinan pada 2020.
Pada Selasa sore, Presiden Joko Widodo mengumumkan, Indonesia menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam menghadapi Covid-19. Kepala daerah diminta tidak mengambil kebijakan sendiri yang tidak terkoordinasi.
Pemerintah juga menempatkan kesehatan masyarakat sebagai hal utama. Selain itu, pemerintah pun menyiapkan jaring pengaman sosial untuk masyarakat lapisan bawah serta menjaga dunia usaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah, agar tetap beroperasi dan menjaga penyerapan tenaga kerja.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik Aaditya Mattoo mengatakan, kebijakan pembatasan akan berdampak signifikan terhadap kondisi ekonomi penduduk ataupun perusahaan. Apalagi, sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal dengan penghasilan harian.
”Prioritas saat ini adalah mengurangi dampak negatif itu, baik untuk rumah rumah tangga maupun dunia usaha. Beberapa negara menempuh metode yang inovatif,” kata Mattoo dalam konferensi pers secara virtual dari Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (31/3/2020).
Prioritas saat ini adalah mengurangi dampak negatif itu, baik untuk rumah rumah tangga maupun dunia usaha.
Beberapa negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik memilih skema jaminan sosial untuk menopang perekonomian ketika karantina wilayah diberlakukan. Hong Kong, misalnya, memberikan kompensasi atas karantina wilayah yang bisa diklaim pekerja informal berupa bantuan langsung tunai senilai dua kali lipat.
Menurut Mattoo, skema jaminan sosial harus berbeda dengan yang ada saat ini. Tujuan pemberian jaminan sosial bukan untuk meningkatkan, tetapi menjaga konsumsi. Oleh karena itu, manfaat yang diberikan setidaknya harus dua kali lipat. Tujuannya untuk mendorong pekerja diam di rumah selama karantina wilayah.
”Pada saat yang sama, pemerintah juga memberikan stimulus bagi dunia usaha agar tidak bangkrut selama pekerja diam di rumah,” ujar Mattoo.
Stimulus untuk dunia usaha di antaranya berupa relaksasi regulasi pajak, pemberian subsidi, atau peningkatan kredit. Kebijakan ekonomi yang dirumuskan harus komprehensif agar karantina wilayah berjalan aman dan efektif. Tanpa perencanaan yang matang, kebijakan ini akan menimbulkan risiko jangka panjang.
Risiko jatuh miskin lebih besar membayangi penduduk dan perusahaan yang bergerak di sektor-sektor yang terdampak langsung Covid-19, seperti pariwisata di Thailand dan Kepulauan Pasifik, manufaktur di Kamboja dan Vietnam, serta semua negara yang jumlah pekerja informal lebih dari setengahnya.
Belum cukup
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander menambahkan, Indonesia membutuhkan pembiayaan berkelanjutan untuk penanganan Covid-19. Alokasi anggaran yang ada belum cukup menutupi kebutuhan, terutama di bidang kesehatan dan jaring pengaman sosial. Untuk itu, relaksasi defisit APBN memang diperlukan.
Dalam laporannya, Bank Dunia memperingatkan, pandemi Covid-19 dan kemungkinan resesi global membayangi perekonomian negara-negara kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan melambat cukup dalam, menjadi 2,1 persen pada 2020.
Adapun pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan Asia Timur dan Pasifik pada 2020 diproyeksikan melambat menjadi 2,1 persen untuk skenario dasar (baseline), dan menjadi negatif 0,5 persen untuk skenario lebih rendah. Proyeksi itu lebih rendah daripada pertumbuhan ekonomi pada 2019, yakni 5,8 persen.
Dihubungi terpisah, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, mengatakan, skema bantuan langsung harus berbeda dengan yang sudah ada saat ini. Tujuan bantuan pada kondisi pandemi Covid-19 bukan untuk meningkatkan, melainkan menjamin konsumsi penduduk selama mereka tidak bekerja. Dengan demikian, skema perhitungan harus berdasarkan konsumsi harian.
Pagu anggaran untuk perlindungan sosial meningkat dari Rp 369,1 triliun pada 2019 menjadi Rp 372,5 triliun pada 2020. Alokasi anggaran perlindungan sosial di antaranya untuk Program Indonesia Pintar, Program Keluarga Harapan, pembiayaan ultramikro, dana desa, Jaminan Kesehatan Nasional, dan sejumlah subsidi di luar pajak.
Program perlindungan sosial terbaru berupa bantuan pangan atau kartu bahan pokok untuk 15,6 juta keluarga miskin senilai Rp 28,1 triliun.