Dipenjara Tujuh Bulan, Mimpi Muram Sapur Jadi Kenyataan
›
Dipenjara Tujuh Bulan, Mimpi...
Iklan
Dipenjara Tujuh Bulan, Mimpi Muram Sapur Jadi Kenyataan
Saprudin (61) harus menjalani tujuh bulan penjara dengan denda Rp 50 juta karena membakar sampah di kebunnya. Ketidaktahuan dan ketidakberdayaannya sebagai warga kecil membuat dia harus menanggung hukuman berat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Di usia renta, Saprudin alias Sapur (61) kian menderita. Ia harus menjalani tujuh bulan kurungan penjara dengan denda Rp 50 juta karena membakar sampah di kebunnya. Mimpi muram Sapur menjadi kenyataan yang suram seperti penglihatannya.
Mata Sapur menatap kosong saat persidangan berlangsung. Mulutnya bergumam kecil mendaratkan doa-doa selama mendengarkan Hakim Ketua Cipto Nababan membacakan keputusannya. Sapur yang didakwa karena membakar lahan pun harus menjalani tujuh bulan penjara dengan denda Rp 50 juta.
Sidang itu berlangsung pada Senin (30/1/2020) lalu di Pengadilan Negeri Muara Teweh Kabupaten Barito Utara atau sekitar 178 kilometer dari rumah Sapur di Desa Juking Panjang, Kabupaten Murung Raya.
Sapur yang kesulitan melihat dan mendengar itu hanya pasrah. Ia memejamkan matanya sesaat setelah pengacaranya, Ditta Wisnu, membisikkan hasil putusan yang dibacakan untuknya. ”Bapak dipenjara tujuh bulan sama denda Rp 50 juta,” bisik Ditta di telinga Sapur.
Sapur kembali memejamkan matanya. Ia kemudian berdoa, air matanya mulai menetes. Begitu juga air mata anak-anak dan keluarganya yang hadir saat persidangan.
Sapur kemudian ditanya apakah ingin mengajukan banding atas keputusan hakim yang ia jawab kemudian dengan gelengan kepala setelah dijelaskan arti proses banding oleh pengacaranya. Ia juga mengungkapkan tak akan mampu mencari uang Rp 50 juta untuk memenuhi denda dan pasrah dengan tambahan satu bulan penjara lagi.
Saya sudah capek, saya pasrah saja meski saya tahu saya tidak bersalah. Yang penting saya cepat pulang.
Sapur sudah menjalani 14 persidangan dan sudah ditahan selama enam bulan 12 hari. Artinya, ia tinggal menjalankan satu bulan 16 hari kurungan penjara. Semakin panjang rindunya dengan keluarga tertahan.
”Saya sudah capek, saya pasrah saja meski saya tahu saya tidak bersalah. Yang penting saya cepat pulang,” ujar Sapur singkat.
Itu pun jika jaksa penuntut umum (JPU) Liberty Purba tidak mengajukan banding atas keputusan itu. Pasalnya, ia menuntut kurungan penjara tiga tahun dengan denda Rp 3 miliar pada sidang tuntutan bulan lalu.
”Pak Sapur tak mau banding karena kemungkinannya belum tahu, kami berharap jaksa juga demikian,” kata Ditta dari Yayasan Pusaka di Jakarta.
Salah satu hal yang memberatkan Sapur adalah kegiatannya yang membakar sampah dinilai ikut menyumbang asap dari besarnya bencana asap di Kalimantan Tengah.
Hal itu dipertegas aturan atau kebijiakan Bupati Murung Raya dan Gubernur Kalimantan Tengah yang melarang membakar selama masa tanggap darurat kebakaran hutan dan lahan saat itu.
Meskipun demikian, kondisi fisik Sapur dan keterangan soal luas lahan yang berbeda-beda dari penyidik dan jaksa membuat hukuman Sapur jauh lebih ringan dari tuntutannya.
Penangkapan
Sapur ditangkap pada 18 September 2019 pukul 15.00 saat Sapur sedang membuat pagar di sekeliling kebunnya. Karena tak bisa melihat jalan, ia dituntun anaknya, Bendi (23), saat membuat pagar.
Karena banyak nyamuk, ia kemudian membakar sampah kayu bekas membuat pagar atau dalam bahasa Dayak disebut merangai, kebiasaan yang lazim dilakukan peladang tradisional Dayak.
Dengan sabut kelapa yang dilumuri minyak tanah, ia bakar dahan-dahan kayu. Karena membakar sampah itu, Sapur kemudian ditangkap aparat polisi dari Polres Murung Raya.
”Kalau saya tidak ke sana, monyet dan sapi habiskan jagung saya. Saya hanya mau bikin pagar,” katanya.
Sejak itu, Sapur diperiksa dan ditahan. Dalam sidang pertama, ia disebut membakar lahan 2 hektar. Padahal, luas lahannya hanya berukuran 50 meter x 70 meter. ”Saya menangis sambil sujud berdoa saja. Semoga Allah tunjukkan jalan,” kata Sapur.
Ia memang membakar lahan untuk menanam jagung pada 17 Agustus 2019. Namun, itu atas izin kepala desa, RT, dan mantir adat atau tetua adat desa. Ia mendapat surat keterangan membakar lahan dari kades.
Data Polda Kalteng menunjukkan, ada 161 kasus perseorangan dan 20 kasus korporasi terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2019. Dari 161 kasus itu, 121 tersangka dengan luas kebakaran 298,97 ha. Dari 20 kasus korporasi, baru dua perusahaan yang menjadi tersangka kebakaran 468,5 ha.
Dari data itu, ada 40 kejadian karhutla di Murung Raya seluas 66,57 ha. Sapur satu-satunya terdakwa. Kini, kakek enam cucu dinilai bersalah atas tindakannya dan kembali menahan rindu untuk pulang ke rumah.
Sapur tak sendiri, di Pengadilan Muara Teweh, Antonius (50), warga Desa Kamawen, Kabupaten Barito Utara, juga harus mendekam di penjara selama satu tahun penjara dengan denda Rp 50 juta. Ironisnya, ia dituntut penjara selama tujuh bulan, tetapi malah diputus satu tahun penjara.
Pria yang kesulitan berbahasa Indonesia itu ditangkap karena dituduh membakar ladangnya sendiri. Padahal, di ladangnya baru ia tanami sawit yang baru berumur dua tahun dan belum bisa dipanen.
”Mana mungkin saya membakar lahan sendiri, saya saja menggantungkan hidup saya ke tanah itu,” kata Antonius yang didampingi Jubendri untuk menerjemahkan keterangannya dalam setiap persidangan.
Baik Sapur maupun Antonius merupakan peladang berpindah yang mengelola lahan bukan gambut di Kabupaten Murung Raya dan Barito Utara. Mereka hanya sedikit dari banyak komunitas adat yang ditangkap karena menjalankan kearifan lokal mereka, yaitu berladang.