Selain Bogor-Depok-Bekasi atau Bodebek, Pemprov Jawa Barat menyiapkan kawasan Bandung Raya untuk penerapan pembatasan sosial berskala besar. Kawasan ini masuk zona merah dengan kasus positif puluhan jiwa.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Upaya penerapan pembatasan sosial berskala besar di Jawa Barat tidak hanya dilakukan di Bogor-Depok-Bekasi. Penerapannya juga disiapkan di kawasan Bandung Raya demi mengurangi penyebaran Covid-19.
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat Berli Hamdani di Bandung, Kamis (9/4/2020), menyampaikan, kajian penerapan PSBB di kawasan Bandung Raya dilakukan bersamaan dengan wilayah Bodebek. Salah satu alasan penerapan adalah peran Bandung sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi di Jabar membuat daerah tersebut berpotensi menjadi salah satu simpul persebaran virus.
Berli memaparkan, pemerintah masih melakukan kajian komprehensif bersama para akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Jabar. Hal ini dilakukan untuk melihat opsi penutupan wilayah dengan mempertimbangkan berbagai aspek.
Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar (Pikobar), Kota Bandung menjadi zona merah dengan jumlah pasien positif tertinggi di Jabar. Hingga Kamis pukul 18.00, Pikobar mencatat kasus positif mencapai 67 pasien. Jika digabung dengan daerah lain di Bandung Raya, pasien positif Covid-19 mencapai 99 jiwa dengan rincian Kabupaten Bandung 12 kasus, Kota Cimahi 11 kasus, dan Kabupaten Bandung Barat 9 kasus.
Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah-daerah penyangga DKI Jakarta. Di saat bersamaan, Kota Depok memiliki pasien positif 47 kasus, Kota Bogor 42 kasus, dan Kota Bekasi 38 kasus.
”PSBB Kota Bandung akan dilakukan setelah melihat penerapan di kawasan Bodebek. Bandung sebagai pusat provinsi tentu menjadi pertimbangan. Kalau PSBB bisa diterapkan di kota Bandung saja, secara otomatis bisa mengurangi potensi persebaran di daerah sekitarnya,” tutur Berli.
Bandung sebagai pusat provinsi tentu menjadi pertimbangan. Kalau PSBB bisa diterapkan di kota Bandung saja, secara otomatis bisa mengurangi potensi persebaran di daerah sekitarnya. (Berli Hamdani)
Alat baru
Untuk memetakan pola persebaran Covid-19 dengan lebih ketat dan jelas, Pemprov Jabar meningkatkan pemeriksaan pasien berpotensi positif yang telah dites dengan metode rapid diagnostic test (RDT). Berli berujar, RDT masih merupakan tes awal dan memerlukan pemeriksaan berlanjut dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR).
”Kami belum memiliki gambaran apakah ada kluster baru kalau hanya dari RDT dan hanya bisa memastikan setelah pasien potensi Covid-19 dari tes RDT ini telah melaksanakan pemeriksaan PCR atau swab,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Berli, Pemprov Jabar menambah perangkat pemeriksaan PCR di Balai Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (Labkesda) sehingga fasilitas ini mampu melakukan pemeriksaan hingga 1.200 sampel per hari. Perangkat ini berasal dari Korea Selatan berupa mesin ekstraksi dan 20.000 reaktan.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam kunjungan di Labkesda menuturkan, sebelum penyediaan alat tersebut, Labkesda hanya mampu memeriksa 140 sampel per hari. ”Dengan alat ini, ditambah sumbangan dari Unpad, ITB, dan lainnya, Labkesda mampu memeriksa 1.200 sampel. Ini jadi lompatan yang luar biasa,”ujarnya.
Dengan alat ini, ditambah sumbangan dari Unpad, ITB, dan lainnya, Labkesda mampu memeriksa 1.200 sampel. (Ridwan Kamil)
Selain itu, 20.000 reaktan yang dibeli oleh Pemprov Jabar ini juga akan disebar ke sejumlah perguruan tinggi yang memiliki laboratorium pemeriksaan, di antaranya UI dan IPB. Kedua kampus ini diharapkan bisa memberikan bantuan dalam pemeriksaan sampel dari Depok, Bogor, dan sekitarnya.
”Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) juga kami dorong untuk memiliki laboratorium pengujian Covid-19 sehingga nanti semua wilayah Jabar bisa dijangkau dengan baik,” tutur Kamil.