Penambahan kasus baru Covid-19 dinilai masih relatif tinggi. Oleh karena itu, pencabutan regulasi pembatasan sosial berskala besar bisa jadi bumerang yang justru memperparah penularan virus.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah mencabut regulasi pembatasan sosial berskala besar dinilai terlalu cepat. Pembukaan kegiatan ekonomi secara bertahap dan penerapan protokol normal baru jangan mengesampingkan penyebaran dan status Covid-19 yang masih relatif tinggi.
Pemerintah akan mencabut regulasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk melaksanakan protokol tatanan normal baru. Pencabutan dilakukan jika persyaratan terkait perkembangan kasus Covid-19 terpenuhi, meliputi pengawasan kesehatan publik, kapasitas pelayanan kesehatan, kesiapan dunia usaha, dan respons publik.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal yang dihubungi pada Kamis (28/5/2020) mengatakan, pencabutan regulasi PSBB terlalu cepat mengingat grafik penambahan kasus baru masih relatif tinggi. Di sisi lain, mayoritas negara-negara di dunia juga belum membuka kegiatan ekonominya secara luas.
”Mayoritas negara-negara di dunia justru melakukan pembatasan sosial secara ketat. Namun, ada ongkos yang besar yang harus dikeluarkan pemerintah untuk jaring pengaman sosial kelas bawah dan menengah,” kata Faisal yang dihubungi Kompas dari Jakarta.
Di Indonesia, pemerintah memang tidak sanggup memikul ongkos jaring pengaman sosial selama PSBB diterapkan. Alokasi anggaran jaring pengaman sosial untuk rumah tangga miskin, rentan, dan terdampak Covid-19 senilai Rp 172,1 triliun belum cukup. Dorongan pelaku usaha agar kegiatan ekonomi kembali dibuka juga cukup kuat.
Menurut Faisal, pemerintah harus mempertimbangkan beberapa antisipasi jika PSBB terpaksa dicabut. Pertama dan paling utama adalah upaya pencegahan penularan virus harus lebih serius. Pemerintah harus memaksa masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan Covid-19 dan memberikan hukuman bagi yang melanggar.
Penerapan protokol kesehatan Covid-19 berlaku tidak hanya untuk masyarakat, tetapi juga dunia usaha. Beberapa negara kini memberikan sanksi, bahkan hukuman pidana, bagi warganya yang tidak menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak saat beraktivitas di luar rumah. Pemerintah harus berusaha ekstra untuk mengontrol perilaku warga.
”Jika perilaku masyarakat tidak berubah ketika PSBB dicabut, risiko ekonomi yang ditanggung akan makin besar. Pemulihan ekonomi bisa lebih lama, bahkan terganggu,” kata Faisal.
Faisal menambahkan, pencabutan PSBB juga perlu dibarengi perubahan prioritas anggaran. Alokasi anggaran untuk antisipasi di bidang kesehatan harus ditingkatkan. Bahkan, jika perlu, alokasinya lebih tinggi dari anggaran pemulihan ekonomi nasional. Kecukupan alat pelindung diri dan peralatan kesehatan di daerah harus terjamin.
Pada 2020, anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai Rp 641,17 triliun yang mencakup, antara lain, jaring pengaman sosial, insentif perpajakan untuk dunia usaha, dan tambahan belanja kementerian/lembaga. Anggaran program PEN itu jauh lebih tinggi dibandingkan untuk bidang kesehatan yang hanya sekitar Rp 75 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan resmi, Kamis, mengatakan, pencabutan PSBB dan pemberlakuan tatanan normal baru tergantung dari kesiapan daerah. Nantinya, kepala daerah, satgas Covid-19, dan sektor-sektor terkait yang menentukan kapan kebijakan bisa diimplementasikan.
”Pemerintah sudah mengidentifikasi daerah-daerah yang siap. Namun, yang menentukan tetap kepala daerah, sektor-sektor, dan satgas Covid-19 masing-masing,” kata Airlangga.
Sejauh ini ada delapan provinsi yang dinilai siap menjalankan protokol normal baru karena daya tular virus (reverse transcriptase/RT) di bawah 1. Delapan provinsi tersebut adalah Aceh, Riau, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Jambi, DKI Jakarta, Bali, dan Kepulauan Riau. Selain itu, ada beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Sejauh ini ada delapan provinsi yang dinilai siap menjalankan protokol normal baru karena daya tular virus (reverse transcriptase/RT) di bawah 1.
Aspek yuridis pemberlakuan protokol normal baru terkait dengan regulasi PSBB. Karena itu, regulasi PSBB akan dicabut sebelum jangka waktu penetapan PSBB oleh menteri kesehatan. PSBB juga otomatis selesai setelah jangka waktu pelaksanaannya berakhir.
Akhir tahun
Riset terbaru Morgan Stanley bertajuk Tracking Covid-19 and Real Time Indicators menyebutkan, kecepatan pemulihan ekonomi akibat Covid-19 akan berbeda-beda di kawasan Asia minus Jepang (AxJ). Kecepatan pemulihan ekonomi dikategorikan menjadi empat grup berdasarkan karakteristik negaranya.
Negara pertama di AxJ yang mengalami pemulihan ekonomi adalah China, pada triwulan III-2020. Selanjutnya, grup kedua adalah negara-negara dengan permintaan domestik cukup kuat, seperti Indonesia, Filipina, dan India. Perekonomian ketiga negara itu diperkirakan pulih mulai triwulan IV-2020 dengan catatan kasus Covid-19 tidak memuncak pada triwulan II-2020.
Grup ketiga adalah negara-negara berorientasi ekspor sedang, seperti Korea Selatan dan Taiwan, yang diperkirakan mengalami pemulihan pada triwulan II-2020. Sementara grup keempat adalah negara-negara dengan ketergantungan ekspor tinggi, seperti Thailand, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura, pada triwulan I-2020 atau lebih lambat.
Riset yang digawangi ekonom Deyi Tan, ekonom Morgan Stanley Asia, mengategorikan Indonesia sebagai salah satu negara tercepat dalam pemulihan ekonomi. Hal itu karena pembatasan mobilitas penduduk dan kegiatan ekonomi akan mereda. Pemerintah tidak akan memperpanjang PSBB yang berlaku hingga 4 Juni serta bersiap membuka kegiatan ekonomi secara bertahap pada Juni.
Namun, pemulihan ekonomi di Indonesian dan negara-negara Asia bergantung pada tiga hal, yaitu tekanan ekonomi domestik akibat resesi global, respons pemerintah untuk menangani Covid-19, dan konsekuensinya terhadap permintaan domestik, serta ruang fiskal dan kemauan untuk pelonggaran kebijakan.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede berpendapat, wacana pencabutan PSBB belum tentu berdampak langsung terhadap kenaikan permintaan domestik. Terlebih, pencabutan PSBB dilakukan saat kasus Covid-19 masih relatif tinggi. Pencabutan PSBB harus dipertimbangkan secara matang dampaknya terhadap perbaikan ekonomi.