Nilai tukar petani tertekan di bawah titik impas dua bulan terakhir. Sektor pertanian semestinya menjadi kunci bertahan di tengah pandemi. Namun, para pelaku utamanya tidak kunjung sejahtera.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama dua bulan berturut-turut, nilai tukar petani atau NTP, salah satu indikator pengukur kesejahteraan petani, berada di bawah titik impasnya. Situasi itu mengindikasikan tertekannya daya beli dan kesejahteraan petani.
Situasi itu sekaligus menjadi alarm bagi pemerintah untuk memperhatikan petani sebagai pelaku utama produksi pangan di dalam negeri. Badan Pusat Statistik (BPS), Rabu (1/7/2020), memublikasikan data NTP Juni 2020 yang mencapai 99,6. Angka itu naik 0,13 persen dari bulan sebelumnya.
Akan tetapi, NTP kurang dari 100 berarti indeks harga yang dibayarkan oleh petani masih lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatannya.
Dari komponen pembentuknya, indeks harga yang diterima petani bulan lalu naik 0,23 persen menjadi 105,35. Namun, indeks harga yang dibayarkan petani, baik untuk modal produksi maupun konsumsi rumah tangga, mencapai 105,77 atau naik 0,11 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Secara sektoral, NTP perkebunan rakyat turun 0,04 persen menjadi 98,47, sementara NTP tanaman pangan naik 0,04 persen menjadi 100,42. Menurut Kepala BPS Suhariyanto, salah satu faktor kenaikan NTP tanaman pangan adalah kenaikan harga gabah di tingkat petani. BPS mencatat, harga gabah kering panen di tingkat petani naik 2,11 persen pada bulan lalu menjadi Rp 4.720 per kilogram (kg).
Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, berpendapat, angka NTP yang berada di bawah titik impas dua bulan berturut-turut merefleksikan kemampuan konsumsi petani tertekan. ”Mayoritas petani tinggal di desa. Situasi ini berisiko pada kenaikan angka kemiskinan di desa,” katanya.
Oleh sebab itu, realisasi bantuan langsung sangat krusial bagi petani. Pelaksanaannya mesti sinergis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pemerintah desa, hingga gabungan kelompok tani.
Dalam jangka menengah, kata Latif, pemerintah perlu menyederhanakan dan membenahi rantai distribusi produk pertanian. Digitalisasi yang menghubungkan petani sebagai produsen dengan konsumen patut dikembangkan.
Jaminan penyerapan
Sementara itu, Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia Guntur Subagja menyatakan, NTP yang berada di bawah titik impas sejak Mei hingga Juni 2020 mencerminkan kondisi yang memprihatinkan di tingkat petani. Petani membutuhkan jaminan penyerapan hasil panennya dengan harga yang layak sehingga pendapatannya dapat mengimbangi pengeluarannya.
Pandemi Covid-19 memaksa sebagian masyarakat yang semula tinggal di kota kembali ke desanya. Pertanian bisa menjadi salah satu sektor sasaran program padat karya untuk mendongkrak pendapatan warga.
”Akan tetapi, (program itu) perlu dibarengi kemampuan manajemen dan pengelolaan stok secara individu, misalnya ada alokasi stok untuk konsumsi pribadi dari hasil panen,” ujarnya.
Permintaan belum pulih
Meskipun pemerintah telah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bulan lalu, permintaan masyarakat belum pulih. Kenaikan indeks harga konsumsi atau inflasi pada Juni 2020 disebabkan meningkatnya harga komoditas.
Data BPS menunjukkan, inflasi pada Juni 2020 mencapai 0,18 persen. Menurut Suhariyanto, dampak pelonggaran PSBB belum tecermin pada data inflasi bulan lalu. ”Kemungkinan dampaknya terlihat bulan depan. Inflasi pada Juni 2020 disebabkan komponen makanan yang harganya bergejolak,” ujarnya.
Jika dilihat dari komponenya, kenaikan indeks kelompok bahan makanan dengan harga bergejolak (volatile food) mencapai 0,77 persen dengan andil 0,13 persen pada inflasi Juni 2020. Andil itu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sumbangan komponen inti yang 0,01 persen atau komponen harga yang diatur pemerintah yang 0,04 persen.
Komponen harga bergejolak antara lain kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau. Pada Juni 2020, inflasi bulanan kelompok pengeluaran tersebut 0,47 persen, tertinggi dibandingkan dengan 10 kategori lain. Komoditas penyumbang inflasi pada kelompok ini adalah telur dan daging ayam ras.
Latif Adam menilai, data inflasi Juni 2020 tidak merefleksikan pemulihan permintaan masyarakat setelah pelonggaran PSBB. Padahal, pelonggaran PSBB diharapkan dapat meningkatkan permintaan dan konsumsi masyarakat.