Janji Hujan
Katamu, sejak kecil kamu suka melihat hujan. Ada makna mendalam di situ.
Apa yang bisa dilakukan hujan? Katamu, hujan bisa membantu melunturkan rasa. Tetes-tetesnya menenangkan. Dinginnya akan mendorong, membuat kita segera mencari posisi, lokasi terhangat. Namun, sayangnya, bagiku tidak. Berkali hujan tidak memberi apa-apa kecuali beku. Berkali hujan tidak lantas melunturkan rasa sakitmu, kebencianmu, yang membuat hubungan kita menemui jalan buntu. Sayu. Ah, hujan pun sering kali menawarkan kondisi tidak menentu.
Kita berkenalan saat hujan yang basah. Di kafe favorit, di tengah rasa bosanku menunggu seorang teman, kamu muncul dengan wajah sumringah, sekalipun aku tahu dirimu memendam gelisah. Karena bosan memainkan keyboard laptop dan canggung meneruskan ide membuat cerpen, aku pun akhirnya menoleh, dan berbasa-basi sejenak denganmu, yang kemudian berlanjut dengan perkenalan.
”Sinta,” ujarmu. Wajahmu sedikit berkernyit mendengar namaku Billy. Mungkin menurutmu nama itu enggak cocok dengan wajahku yang sangat rural alias ndeso. Lama-lama pembicaraan pun mengalir. Sekilas seperti di film-film, namun ya itulah kami.
Awalnya dirimu mengatakan, hanya sekadar menunggu teman, namun lambat laun, kau bercerita bahwa yang ditunggu adalah mantan pacar yang akan menikah. Si mantan, Rangga, bersikeras ingin minta maaf, meminta doa restu karena yang akan dinikahi adalah orang yang selama ini diakui dia sebagai sahabat kecilnya. Karena saking dekatnya pertemanan mereka, si sahabat ini pun akhirnya juga akrab denganmu. Awalnya, semula memang terasa begitu adanya. Murni bersahabat. Pure.
”Enggak nyangka akhirnya begini,” ujarmu sendu.
Perubahan status dari berteman menjadi lebih tersebut katamu, terjadi ketika kalian tengah break. Kamu mengaku kecewa karena setelah tiga tahun pacaran, Rangga tetap tidak punya keputusan apa-apa. Dia tidak berani melangkah lebih jauh karena kalian beda agama. Ayah Rangga seorang kyai, dan dari kalangan keluargamu, beberapa menjadi pendeta dan pengurus gereja. Tak heran begitu alotnya membicarakan soal agama dan pernikahan.
Dirimu mengaku bahwa banyak teman mengingatkan hal ini sedari awal. Namun, kamu tetap nekat. Dirimu tetap kekeuh berpendapat bahwa agama tidak menjadi persoalan utama untuk langgengnya sebuah hubungan karena pengalamanmu beberapa kali pacaran dengan yang seiman, tetap saja gagal di tengah jalan.
”Aku cuma terlalu pede. Kata orang cinta itu buta, tapi ungkapan itu cuma ada di dongeng-dongeng,” ujarmu sembari tersenyum.
Kemudian sambil nyengir dia pun berceloteh. ”Ceritaku dramatis kan ya? Lumayan lho bisa buat bahan bikin cerpenmu,” katamu.
Aku tertawa. Waktu itu hujan sudah reda, dan Rangga belum datang. Jadi aku pun memberanikan diri bertanya.
”Kamu pasti sakit hati kan? Lalu kenapa kamu masih mau ketemu? Bukannya cewek kalo marah dan sakit hati itu nyeremin? Biasanya kalau sudah disakiti seperti itu, si cewek enggak akan mau ngeliat tampang mantannya lagi,” ujarnya.
Kamu pun tersenyum, dan menunjukkan jemarimu. Ada cincin emas di salah satu jari. Katamu itu cincin pemberian Rangga.
”Kami pernah sok romantis. Rangga membelikanku cincin, dan satu bulan kemudian aku membelikan untuknya. Bukan sesuatu hal yang terlalu serius, hanya saja waktu itu kami mencoba untuk memberi tanda, simbol agar kita saling mengingat satu sama lain. Tapi sekarang kan kondisinya beda. Tidak ada yang perlu diingat-ingat lagi, dan aku mau cincinku kembali,” ujarnya.
Aku menyeruput, menghabiskan cangkir kopi kedua, dan ketika itu Rangga datang. Kami sempat berkenalan sebentar, dan dengan mempertimbangkan seriusnya pembicaraan mereka berdua, aku pun berpura-pura harus segera pergi karena ada keperluan mendadak. Temanku ternyata batal datang, dan aku memang harus berpindah tujuan.
###
Aku adalah penulis buku spesialis otobiografi serta sesekali novel, dan ternyata kamu bekerja sebagai editor bahasa di sebuah majalah. Kenyataan itu baru benar-benar terungkap di pertemuan kedua kami, sebuah acara festival sastra selama 5 hari di Yogya. Pertemuan itu cuma berselang seminggu dari pertemuan pertama kali di kafe. Saat bertemu, kamu, sekali pun masih mengingat wajah, tapi mengaku lupa siapa namaku. Sedangkan aku? Tentu saja aku tidak melupakan apa pun tentang kamu, termasuk ceritamu yang sedih itu. Tak mengapa, kami toh tetap bisa bersalaman dan bertukar nama lagi.
Di acara itu, kami bertukar kartu nama dan lebih banyak bercerita soal pekerjaan, sastra, dan banyak hal lain. Aku mencoba menahan diri untuk tidak bertanya soal hubungannya, perasaannya dengan Rangga. Semua butuh waktu.
Acara festival membuat kita mulai banyak menghabiskan waktu bersama. Sebagian tentu saja bersama rombongan, namun di beberapa waktu yang lain, kamu sesekali mengajakku minggat, berdua saja. Katamu dulu, kamu kuliah di Yogya, dan begitu banyak tempat yang ingin kamu kunjungi setelah lama bekerja di Surabaya. Yah, sedikit nostalgia.
Dan akhirnya cerita soal Rangga itu kembali terdengar ketika kami nongkrong di warung angkringan favoritmu, dekat tempat kosmu dulu. Katamu, semua sudah diselesaikan baik-baik. Hanya saja, ada kenyataan yang mengejutkan. Kaka, cewek yang akan dinikahi Rangga itu ternyata sudah hamil duluan sekitar satu bulan. Suaramu sedikit bergetar waktu itu. Tapi dengan nada suara yang terdengar dibuat tegar, kamu mengatakan, bahwa tidak ada hal yang perlu disesali dan hal semacam itu bisa dimaklumi. Kaka sudah berteman dengan Rangga sekitar sembilan tahun, sejak mereka masih kuliah, sedangkan kamu dan Rangga baru pacaran sekitar tiga tahun.
Kamu pasti sakit hati kan? Lalu kenapa kamu masih mau ketemu? Bukannya cewek kalo marah dan sakit hati itu nyeremin? Biasanya kalau sudah disakiti seperti itu, si cewek enggak akan mau ngeliat tampang mantannya lagi.
Semuanya terjadi dalam jangka waktu tiga bulan ketika kamu dan Rangga memutuskan break. Dan kamu mensyukuri itu.
”Waktu break, aku memang sudah merasa sepertinya bakalan sulit terus jalan sama Rangga. Ada begitu banyak tanda yang mengisyaratkan begitu,” ujarmu.
Ah isyarat apa. Aku pun menggodamu. Sejak kapan kamu punya keahlian melihat tanda-tanda alam, emangnya kamu tukang ramal, ujarku waktu itu. Kamu pun tertawa. Aku pun berusaha tidak lagi mengungkitnya. Lebih enak jika melihatmu tertawa lebih lama.
Menjelang kepulangan ke Surabaya, kami pun saling berjanji untuk selalu mengontak satu sama lain.
”Jangan sedih lagi. Kalau Rangga bisa mengecewakanmu hanya dalam jangka waktu tiga bulan, lihat saja nanti, aku bisa membuatmu melupakan dia hanya dalam tiga minggu,” ujarku. Rayuan gombalku yang pertama, dan kamu hanya tersenyum saja.
###
Di Surabaya, kami—aku lebih tepatnya—memenuhi janji untuk saling kontak. Kami punya hobi yang sama, cinta mati sama buku, dan suka nonton film. Seperti kali ini, kami pun sepakat untuk nonton di salah satu bioskop. Pulangnya, hanya jarak beberapa meter dari kafe yang akan kami singgahi, hujan mengguyur deras. Begitu masuk, kamu langsung duduk di kursi yang dekat dengan pintu dan jendela.
”Di sini saja, supaya bisa melihat hujan,” ujarnya.
Katamu, sejak kecil kamu suka melihat hujan. Ada makna mendalam di situ. Memandang hujan, katamu mengajarimu untuk belajar pasrah, melepaskan semuanya seperti air hujan yang jatuh dan mengalir. Karena pelepasan itu akan memperbaiki segalanya, sama seperti hujan yang membersihkan jalan, kepasrahan, disadari ataupun tidak, telah menanggalkan semua kekacauan dalam hati.
Dan mungkin, ketika itu, kamu ingin lebih menyesapi kepasrahan itu lebih mendalam. Kamu merenung diam menatap hujan agak lama, sekitar 20 menit, sampai aku pun salah tingkah sendiri.
Sampai akhirnya, kamu menoleh. Senyummu lebar, tapi sinar matamu bubar. ”Kenapa ngelamun aja Sin,” ujarku. ”Enggak, Cuma tadi ingat Rangga lagi. Bodohnya aku,” ujarnya sendu.
Kamu mengatakan, ingin benar-benar melupakan semua kenangan itu. Tidak boleh ada dendam yang tersisa. Karena dalam cinta, tidak boleh ada balas dendam atau balas budi. Semuanya cukup dirasakan dan mungkin pada saatnya nanti, harus ikhlas untuk melepaskan. Kamu berkata-kata lama, namun pada akhirnya menarik nafas panjang. Kamu menyadari bahwa semuanya tidak mudah dilakukan.
”Tolong bantu aku ya,” pintamu. Aku mengiyakan. Siap, ujarku.
###
Kita semakin akrab. Semakin sering menghabiskan waktu bersama. Kamu mengaku senang namun sekaligus heran dengan kedekatan kita. ”Kok aku bisa cepet akrab sama kamu ya? Begitu ketemu, kok bisa-bisanya cerita masalah pribadi ? Kenapa ya? Kamu punya pelet atau sekadar psikolog yang menyamar,” ujarnya tertawa.
Satu kali tawamu bermakna 100 kali gendang kegembiraan di hatiku. Senangnya bisa membuatmu lebih bahagia, dan tidak lagi bercerita, ataupun teringat soal Rangga.
Aku menatap wajahmu lagi dan menjawab. ”Enggak ada apa-apa, cuma magnet aja. Magnet menarik cewek-cewek, yang parahnya, khusus cuma buat cewek-cewek patah hati. Jadinya harus ikut bertanggungjawab memperbaiki. Parah nih, enggak ikut senengnya, malah ikut kena getahnya,” semburku ngaco.
Kamu pun terkekeh. ”Tapi ikhlas kan?” ujarmu sambil meleletkan lidah.
Tiga bulan berlalu, dan akhirnya, dari kedekatan itu, aku mencoba menawarkan hubungan yang lebih khusus. Kamu tersenyum tapi masih tampak ragu-ragu. Melihat ekspresimu, kamu pun menambahkan berujar. ”Aku paham kalau kamu belum siap. Tapi kalau kamu mau sekedar mencoba, mencoba saja, aku siap,” ujarku. Kamu pun tersenyum. Kepalamu bergerak, dan mengangguk pelan.
Cukup satu anggukan perlahan, dan itu sudah cukup membuat hatiku jumpalitan tak keruan.
###
Namun itu dulu. Hubungan kita pacaran dalam tahap coba-coba hanya berjalan lima bulan. Sebelumnya, kamu sempat bertutur akan pindah kerja. Dan entah mengapa, esok harinya, di tengah hujan yang mendadak turun, kamu datang ke apartemenku. Kukira kamu akan pamit. Tapi ternyata aku keliru. Matamu merah, dan seluruh tubuhmu bergetar hebat. Kusilakan masuk tapi kamu hanya maju beberapa sentimeter dari pintu dan kemudian berteriak.
”Aku kira kamu sungguh-sungguh Bil. Aku kira kamu benar-benar tulus mendampingi. Tapi sudah cukup sampai di sini. Aku tidak minta belas kasihan dari siapa pun. Jauh-jauh dari aku. Aku bisa mengatasi semuanya sendiri. Aku enggak perlu kamu, atau siapa pun juga,” ujarmu lantang. Kamu pun langsung berbalik dan membanting pintu keras-keras.
Sikapmu demikian berubah. Peristiwa buruk itu terjadi setelah kamu tahu bahwa aku adalah sepupu Kaka, yang sekarang menjadi istri Rangga. Kaka sangat dekat denganku. Darinya aku tahu tentang kamu. Pertemuan pertama di kafe juga sengaja terjadi dengan berbekal informasi dari Kaka dan Rangga. Tapi perasaan ini sama sekali enggak disetting.
Aku benar-benar jatuh cinta setelah mengenalmu. Awalnya, Kaka memang sengaja ingin menjodohkan kami, sekaligus untuk mengurangi rasa bersalahnya merusak hubunganmu dan Rangga. Tapi siapa sangka semuanya alami terjadi. Kamu, begitu mudahnya untuk dicintai.
Aku mencoba mencari tahu informasi tentang keberadaanmu, tapi semua teman kantormu membisu. Semuanya seolah sepakat mendukung kisah kita tutup buku. Renata, salah seorang teman dekatmu, hanya mengatakan bahwa kamu pindah kerja di luar kota.
Kalau benar-benar cinta, kamu pasti bisa mencarinya sendiri, kata Renata waktu itu.
Hari ini hujan lagi, dan aku tidak ingin menatapnya lama-lama, takut jejakmu ikut luntur dalam riaknya. Andai saja kamu tahu, tidak pernah ada balas budi atau balas dendam dalam urusan kita. Aku hanya mencintaimu. Itu saja.
______________________________
Regina Rukmorini, jurnalis nasional yang bertugas di Magelang, Jawa Tengah. Penulis cerpen dan penggemar hujan.