Burung Gereja yang Mengoceh ”Kamu Cantik, Kamu Cantik, Kamu Cantik”
Biasanya aku tidak berani mengatakan ”kamu cantik” secara langsung di hadapanmu.
Menurutmu, bagaimana kalau aku menjadi burung saja?
Aku akan jadi burung gereja yang bebas terbang ke halaman rumahmu. Menyapamu. Meskipun tidak dengan ucapan ”hai” atau ”selamat pagi”. Hanya kadang-kadang mengoceh dengan cericit tak merdu, yang lebih mirip omelan ibu-ibu cerewet saja. Aku akan lebih banyak mengepakkan sayap, lalu melompat-lompat begitu mendarat, dan mematuk-matuk biji beras yang kau taburkan di halaman. Akan ada banyak burung gereja di sana, sehingga kau tak mengenali satu per satu. Lalu, aku akan sering pura-pura pergi setelah mematuk beberapa biji, namun kemudian kembali lagi dengan menyamar sebagai burung gereja yang lainnya.
Kau tidak akan tahu bahwa yang baru datang itu adalah burung yang sama. Juga, kau tidak perlu tahu sebenarnya burung itu adalah aku.
Kau senang menghabiskan waktu di depan rumah, merawat taman di halaman rumah yang sederhana namun indah tiap pagi dan sore hari. Menyapu guguran daun mangga dan kelopak merah muda bunga nusaindah, menyirami bunga-bunga, dan menyiangi rumput liar yang tumbuh tidak pada tempatnya.
Pada siang hari kau melakukan apa saja sambil duduk di teras rumah. Membaca buku, kadang-kadang melukis sketsa di buku gambar dengan mencontoh bentuk pohon dan bunga-bunga. Apa pun yang kau lakukan, selalu ada kaleng berisi biji beras di sampingmu. Kau menaburkannya ke tanah terbuka, sehingga burung-burung berebut turun mematukinya.
Saat kau menjeda bacaanmu, atau bosan mencorat-coret buku gambarmu, kau akan memandangi burung-burung itu, yang kebanyakan adalah burung gereja liar bersayap kelabu. Seperti itu pula rupaku nanti ketika menjelma untuk mengunjungimu.
Nanti, sambil mematuki biji beras di tanah, aku akan memandangi wajah elokmu. Mengagumi dagu lancipmu, juga pipi halusmu. Rambut panjangmu, dan poni di atas alis yang sesekali berhamburan ditiup angin. Ketika kau menemukan sesuatu yang seru dalam buku bacaanmu, kau akan mengerutkan keningmu yang lebar itu. Ketika ada yang lucu, senyummu mengintipkan gigi-gigi kecilmu. Lalu, sesekali kau akan melirik ke arah burung-burung itu dengan ujung mata binarmu.
Biasanya, aku sebagai manusia pasti langsung kikuk kau lirik seperti itu. Aku akan membuang mata, pura-pura tidak tahu kalau kau sedang melihatku. Tapi, dalam wujud burung, aku tidak perlu begitu.
Kau tidak tahu itu aku, bukan? Jadi, bisa saja aku malah berpose gaya ketika kau melirikku, meski aku sendiri belum tahu bagaimana gaya terkeren dari seekor burung gereja. Yang kutahu, burung-burung jantan suka bernyanyi ketika mendekati betinanya.
Kurasa akan kucoba.
Kalau nanti kau melirik ke arahku, aku akan melompat, lalu hinggap di dahan pohon mangga yang tumbuh menjulur mendekati teras rumah tempat kursi yang kau duduki. Di sana, aku akan berusaha menyanyi dengan merdu. Meski suaraku sebagai seekor burung akan lebih mirip omelan ibu-ibu cerewet saja.
Tidak apa-apa, bukan?
Dalam ocehanku itu, aku akan mengatakan ”kamu cantik”, dan ”kamu cantik”, dan ”kamu cantik”. Akan aku ulangi terus hingga ratusan kali dengan bahasa burung gereja. Kau tidak akan tahu sebenarnya aku mengocehkan apa. Dan, mungkin juga tidak akan sadar bahwa aku hanya mengocehkan satu kalimat yang diulang-ulang.
Biasanya aku tidak berani mengatakan ”kamu cantik” secara langsung di hadapanmu. Aku hanya menggumamkannya ketika duduk atau berdiri, sambil angan-anganku melukiskan wajahmu di tembok, langit, atau di mana pun mataku memandang. Sebagai manusia aku sangat pemalu. Untuk menatap wajahmu saja aku malu. Apalagi bicara denganmu. Apalagi membicarakan kecantikanmu.
Memang aku beberapa kali berkunjung ke rumahmu, tapi selalu dengan alasan yang lain, ketika aku harus menemui ayahmu untuk urusan pekerjaan. Kita juga selalu saling sapa saat berpapasan. Tapi, itu pun lebih karena.... Kita saling mengenal, kan? Pasti aneh kalau aku tidak menyapa.
Itu pun, kita lebih sering menyapa dengan sekadar kata ”hai”. Itu saja!
Dengan menjadi burung gereja, nanti aku tidak perlu malu. Setiap pagi, siang, dan sore hari aku datang menyapamu. Lalu bernyanyi untukmu. Menatap wajahmu sampai puas. Memuji-muji kecantikanmu. Mengakui bahwa aku mencintaimu. Meskipun, tidak masalah kalau nanti kau tidak terlalu menganggap dan mengabaikan tingkah gilaku.
Silakan lanjutkan aktivitasmu!
Kau boleh tetap menyapu halaman saat aku sibuk mengepakkan sayap, terbang berputar-putar di atas pohon mangga, lalu pindah ke pohon bunga nusaindah. Silakan tetap menyirami bunga saat aku bertengger di sana. Tetaplah membaca buku dan melukis sketsa, ketika aku mematuki biji beras sambil memandangimu. Aku tidak pernah melihat kau makan di teras rumah. Tapi kalau mau, kau boleh makan siang di sana, sementara aku tetap mengoceh ”kamu cantik, kamu cantik, kamu cantik”. Pasti aku senang bisa menyanyi sambil melihat bagaimana bentuk pipimu saat di dalamnya sedang terisi sesuatu, dan melihat goyangan dagumu saat mengunyah.
Mungkin pula, nanti, akan ada tamu yang mengunjungimu dan menemanimu mengobrol di sana, sehingga kau akan betah lama duduk di teras rumah. Mungkin dia temanmu, yang sama-sama cantik, tapi tidak secantik dirimu. Atau bisa juga dia memang lebih cantik.
Kau boleh tetap menyapu halaman saat aku sibuk mengepakkan sayap, terbang berputar-putar di atas pohon mangga, lalu pindah ke pohon bunga nusaindah.
Tapi biarpun begitu, sebagai burung gereja aku tetap akan mengocehkan kata yang sama. Bahwa ”kamu cantik, kamu cantik, kamulah yang cantik”.
Kau dan tamu itu boleh mengobrol apa saja, yang penting tetap berada di sana.
Mungkin kalian membahas film-film yang bagus, atau buku-buku yang kau baca. Atau tentang tamanmu yang sederhana namun indah, beserta dengan kami, para burung, yang tiap hari selalu datang mematuki umpan biji-biji berasmu.
Lalu, dari obrolan itu, kau akan sadar setelah diberi tahu tamu itu, bahwa di antara burung-burung itu ada seekor burung gereja gila yang selalu mengoceh seperti ibu-ibu cerewet, sambil bertengger di atas dahan pohon mangga. Pun dengan tatapan wajah yang selalu lurus menghadapmu.
Entah apa yang akan kau lakukan setelah menyadari itu. Mungkin, kau akan berusaha mendekatiku, lalu menjulurkan tanganmu agar burung gereja yang adalah aku itu bisa melompat kepadamu. Tentu saja, aku akan senang bisa bertengger di atas jemarimu. Lalu, apa lagi setelah itu?
Apa kau mau mendekatkanku pada bibirmu agar bisa kupatuk dengan nakal? Atau justru kau dengan senang hati mau mengecup ubun-ubunku yang berbulu kelabu?
Tapi, belum tentu juga kau dan tamumu akan mengobrolkan tentang aku, bukan. Sebab bisa saja tamumu justru seorang laki-laki. Kalau seperti itu kasusnya, mungkin dia akan lebih banyak menggodamu daripada mengobrolkan burung cerewet sepertiku.
Ya, itu bisa saja. Masalahnya kau cantik sehingga pasti banyak lelaki yang ingin bertamu. Dan dalam usiamu, sudah selayaknya menerima tamu seperti itu, yang akan mengajakmu duduk mengobrol lama di teras rumah, sambil menggodamu. Tamu itu bisa siapa saja. Bisa temanmu, bisa juga seseorang yang baru diperkenalkan padamu.
Atau, bisa juga tamu itu adalah aku, bukan?
Jadi, bagaimana menurutmu kalau aku yang datang bertamu. Bolehkah?
Kalau iya, artinya aku tidak bisa sekaligus menjadi burung gereja yang mengoceh-ngoceh seperti ibu-ibu cerewet itu. Biarlah peran burung itu diambil oleh salah seekor burung gereja yang sebenarnya. Burung itu boleh bertingkah dan mengoceh apa saja sementara aku nanti duduk bersamamu.
Sambil mengobrol, aku akan membual sambil menunjuk burung itu. Kataku, ”Burung itu sedang bicara padamu, katanya: ’kamu cantik, kamu cantik, kamu cantik’.”
****
Hasan ID, pengajar dan penulis asal Besuk Sempilan-Sambungrejo, Sukodono, Sidoarjo. Dia juga Ketua Komunitas Malam Puisi Sidoarjo yang sudah menerbitkan buku kumpulan cerpen MONSTER Atau Sesuatu yang Sejenis Dengan Itu (2018).