Sebotol Arak Li Bai dalam Cawan Corona
Apakah Li Bai tetap menulis puisi, atau ia ikut bersama pasukan perang Dinasti Tang. Ini membuatku sangat terkejut, ketika kubuka catatan waktu.
Puisi-puisi di tangannya, seakan begitu letih menyusuri Sungai Mekong. Tubuhnya basah kuyup, sampannya terombang-ambing dipermainkan riak sungai yang mengalir deras. Ketika melintasi sungai, mungkin Li Bai telah menghabiskan beberapa botol arak, hingga ia tak sadarkan diri tertidur di atas sampan. Tetapi dari kejauhan bukit dan lembah terdengar sayup-sayup seseorang membaca puisi Li Bai yang begitu menyayat. Lantunan puisi ”Terbangun dari Mabuk di Musim Semi”, menggema dan membelah bukit dan hutan.
Li Bai, sepasang ilusi telah mendiami pikiranmu. Itu isi surat yang terakhir kalinya kukirimkan kepadanya. Hingga beberapa tahun lamanya, saya tidak pernah bertemu dengannya. Saya sudah terlalu sibuk, dan mungkin juga Li Bai terus melakukan perjalanannya, mengembara ke seluruh negeri Tiongkok.
Apakah Li Bai tetap menulis puisi, atau ia ikut bersama pasukan perang Dinasti Tang. Ini membuatku sangat terkejut, ketika kubuka catatan waktu. Saya sadar, kini diriku telah hidup pada era globalisasi. Sebuah era modern, di mana minuman arak kesukaan Li Bai dianggap sebagai minuman kelas bawah, yang bukan cerminan gaya hidup orang-orang masa kini. Tempat minum yang sudah sangat menjamur seperti kafé, seakan mengangkat martabat gaya hidup modern.
”Ah, sungguh malang nasibmu Li Bai,” aku mendesis pelan saat menghabiskan secangkir kopi di sebuah kafé. Aku menatap jauh, di antara kelap-kelip lampu jalanan seakan menembus ruang waktu ribuan tahun. Sekitar tahun 753 Masehi, dinasti Tang membukukan puisi-puisi karya penyair. Aku melihat nama Li Bai begitu perkasa pada buku antologi itu. Entah mengapa Raja Tang begitu tergila-gila dengan karya-karya Li Bai. Buku antologi itu diberi nama heyue yingling ji, dan aku tak pernah tau artinya. Hingga Festival Musim Gugur telah membangun ingatanku untuk lebih menyimak puisi seorang Li Bai, dan sebuah puisinya telah membangkitkan gairah cintaku yang telah membeku sejak kepergian Jin Ping Mei. Aku ingat saat membaca ”Renungan di Malam Sunyi” yang ditulis Li Bai, seakan aku berperan sangat klasik.
Malam makin larut, aku telah menghabiskan tiga cangkir kopi. Tak ada lagi lantunan musik yang diputar di kafé ini. Semua pengunjung telah pergi, hanya menyisakan aku seorang diri. Pandanganku menjadi begitu berat, melangkahkan kaki pulang ke rumah. Sepanjang jalan begitu sepi, tetapi puisi Li Bai membuatku seperti orang mabuk. Puisi ”Renungan di Malam Sunyi” telah menemani langkahku, sampai aku tidak sadar telah menyanyikannya menjadi sebuah lagu sambil melangkah menuju rumah.
Tak ada lagi puisi-puisi indah Li Bai yang kudengar. Aku menjadi begitu asing, saat melihat pesawat hanya satu-dua melintasi angkasa. Sepi itu yang membungkam pikiranku. Mungkin aku telah tertidur di tirai tidur begitu lama. Orang-orang di sekelilingku menatap sinis, dan bercerita tentang Wuhan, tentang Virus Corona. Betul-betul asing, menghitung masa yang terlewati sekian abad. Mengapa aku berada di dalam terali besi, dalam sebuah penjara.
Ingatanku membuncah di antara hembusan angin. Sedikit demi sedikit, mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada diriku. ”Ya.” Tiga tahun lalu aku duduk di kursi pesakitan dalam sebuah sidang perkara. Pengadilan telah memutuskan hukuman, karena aku telah menyebarkan isu hoaks melalui media sosial. Dalam unggahan di media sosial aku menyatakan, ”Wuhan akan menjadi peradaban baru puisi, yang mengakibatkan wabah mematikan bagi seluruh dunia.” Hakim telah menjatuhkan hukuman penjara bagiku. ”Saudara Markeso, saudara telah melanggar pasal sekian, kitab undang-undang hukum acara pidana, dengan ancaman pidana sebanyak-banyaknya lima tahun dan denda subsider sebesar seratus juta rupiah.” Tubuhku linglung, jatuh tak sadarkan diri.
Apa pun yang telah terjadi, kenangan lama yang terasa pahit akan membekas. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya setelah keluar dari balik terali besi. Yang pasti, hukum masyarakat akan berkata lain, dan ribuan kata seakan menjadi hantu di siang bolong. Gelar yang membuatku tersisihkan di masyarakat. Semua orang akan menatap sinis, kemana kaki ini melangkah akan dipanggil dengan sebuatan mantan narapidana. Pahit rasanya seperti menyandang beban sebagai seorang penjahat. Entah, apa bedanya menjadi orang baik dan orang jahat, semua akan terasa sinis padaku.
Pada masa Li Bai hidup ratusan tahun silam, belum ada komputer. Orang belum begitu mengenal teknologi. Kesadaran ini membungkam rasa keterbatasanku, aku ingin menjadikan karya Li Bai dalam teknologi besar. Pada masanya Li Bai bisa menjadi besar, aku harus bisa menjadi besar di masaku kini. Dengan menguasai teknologi, apa yang tidak bisa kita miliki, dunia ada di dalam pikiran kita. Memulai sebuah pengembaraan entah sampai ke ujung dunia yang mana, seperti puisi-puisi Li Bai yang menyusuri sungai hingga mendaki pegunungan.
Lembah dan ngarai di tepian sungai mekong, menjadi sumber inspirasi. Lambat-laun cina sudah mulai menguasai teknologi. Kita hanya duduk, berperang dengan nalar kita sendiri, berangan-angan dalam dunia maya. Kenapa tiba-tiba aku jadi ingat dengan kawanku, Joseph Lewdonsky. Seorang berkebangsaan Jerman, yang memperdalam ilmu teknologi di sebuah universitas di Amerika Serikat. Kami bertemu disana, berkawan hingga belajar bersama. Sayangnya selera makannya berbeda dengan seleraku. Tetapi perbedaan itu, yang membuat kami saling mengerti tentang tolong-menolong, meski kadang isu ras di Amerika Serikat sering membuat kami ingin menentang sebuah ketidakadilan.
Aku duduk di teras rumah, selepas senja. Kemudian mencoba menghubungi Joseph. Entah jam berapa di Jerman. Sedikit ragu untuk menghubunginya, karena sudah tiga bulan lebih aku tak pernah berkomunikasi.
”Hai, Joseph bagaimana kabarmu?” Perbincangan kami seperti orang yang betul-betul saling merindu. Di sela percakapan kami, sempat terlintas dalam benakku,
Joseph termasuk manusia super yang begitu menghargai nilai persahabatan. Dari nada bicaranya, tidak ada rasa canggung dan seakan-akan dipaksakan meski kami berbeda budaya dan bangsa. Di akhir percakapan, aku baru tau kalau dia sudah pindah kota ke kota Utrecht, Belanda. Joseph pindah ke Utrecht mengikuti jejak istrinya, seorang warga negara Belanda, Amy. Dia sempat mengatakan kalau Amy juga punya darah keturunan Indonesia.
”Kawanku, Markeso, kita punya bisnis besar menguasai dunia dengan teknologi.” Apa maksud Joseph Lewdonsky kepadaku. Semenjak itu, komunikasi kami makin sering. Di saat aku berusaha merintis bisnis usaha-usaha kecil dengan bantuan jaringan teknologi, kawanku Joseph memberikan peluang. Ini pasti bukan karena ketidaksengajaan.
Setelah sebulan bergabung dengan anak perusahaan yang dikelola Joseph Lewdonsky, aku seperti mulai menikmati dengan gaji besar. Mungkin ini yang membuat aku semakin terjerat dengan keserakahan. Tidak ada lagi rasa ketakutan, karena tertekan ekonomi. Bahkan bulan-bulan berikutnya, aku makin sering ke luar negeri, dari satu kota ke kota lainnya. Kehidupan Li Bai yang sempat menginspirasi gaya hidupku, betul-betul sudah terlupakan. Arak yang memabukkan, hanya menjadi friksi cinta seorang Li Bai dalam kisah-kisah fiksi di selembar tulisan sajak.
Beberapa tahun kemudian, karena perkembangan teknologi yang begitu pesat, aku tidak lagi bisa membedakan mana bisnis yang legal dan tidak legal. Semua bisnis harus dikendalikan oleh pemikiran yang secara tidak sadar sudah diracuni oleh sebuah kejahatan besar melalui dunia maya. Ini sudah menjadi sebuah permainan yang terselubung, tetapi sekaligus sangat mengasyikkan.
Semua pebisnis yang memanfaatkan teknologi, adalah musuh yang harus dikalahkan. Markeso tidak lagi berkata tentang siapa dirinya. Setiap waktu dilalui untuk mendapatkan keuntungan besar. Markeso menjadi seorang peretas data sekaligus juga menjadi hacker di dunia maya dan teknologi.
Beberapa tahun kemudian, karena perkembangan teknologi yang begitu pesat, aku tidak lagi bisa membedakan mana bisnis yang legal dan tidak legal. Semua bisnis harus dikendalikan oleh pemikiran yang secara tidak sadar sudah diracuni oleh sebuah kejahatan besar melalui dunia maya. Ini sudah menjadi sebuah permainan yang terselubung, tetapi sekaligus sangat mengasyikkan.
Bagaimana Markeso hanya duduk di depan laptop, sambil mengendalikan keuntungan bisnisnya, dilakukannya tanpa banyak melibatkan orang-orang. Bisnis terselubung, yang kadang mengejar pikirannya, hingga sering mengusik ketidaktenangan hidupnya. Markeso telah terjun dalam bisnis kejahatan siber. Dan untuk menghindari dari jeratan hukum, Markeso sering berpindah-pindah kota. Hingga akhirnya beberapa tahun lalu Markeso pergi ke Wuhan, Cina dan bertemu dengan Joseph Lewdonsky untuk pengembangan bisnis baru.
”Markeso, di kota Wuhan ini, kita akan ditakuti oleh dunia. Di sini bisnis terbesar sepanjang abad ini.” Itu pesan dari Joseph Lewdonsky kepada Markeso.
Kecerobohan Markeso, yang hanya berpikir untuk menjadi tenar di seluruh dunia berbuahsenjata makan tuan bagi dirinya. Perang nalar dianggapnya sebagai sebuah kapitalisme baru yang membelenggu nuraninya sebagai manusia. Isu hoaks yang disebarkannya, akhirnya tercium oleh aparat keamanan. Markeso telah melakukan kejahatan siber, dengan menyebarkan isu agar bumi ini harus dibersihkan dengan menciptakan virus yang mematikan banyak orang.
Selama dalam penjara, Markeso tak henti-hentinya menyesali dirinya. Apa yang dirasakan sebagai sebuah keadilan bagi dirinya, ternyata sangat tidak adil bagi orang lain. Seorang Li Bai menjadi terkenal, hanya dengan menulis puisi tidak pernah membutuhkan teknologi. Tidak pernah berpindah-pindah ke luar negeri. Hidup memang harus dilalui dengan perjalanan panjang. Dan itu menjadi sebuah pilihan hidup.
”Aku telah menjadi penjahat, yang tidak lebih baik dari seorang pelacur.”
Markeso hanya sebuah nama yang meninggalkan nama di balik kebesaran nama besar seorang penyair cinta, Li Bai. Kini Markeso sadar, peradaban cinta Li Bai bukanlah mata rantai penyebaran hoaks. Sebotol arak Li Bai telah menjerumuskan kekuatan pikiran Markeso menjadi orang yang memanipulasi teknologi demi sebuah ketenaran. Tetapi ketidakadilan ini, apakah sebuah kesengajaan atau karena ketakutan pemikiran manusia? Entahlah. Kini wabah pandemi Covid-19, benar-benar terjadi.
***