Selimut
Walau aku tidak terlalu paham dengan kalimat Ibu, setidaknya aku tidak lagi mau membuat tangis Ibu pecah. Ibu adalah selimutku, Ibu adalah segalanya bagiku.
Aku heran pada Ibu. Jika seseorang dalam hidupnya bercita-cita jadi dokter, guru, pramugari, polwan, dan lain sebagainya yang disebut profesi, maka ketika kutanya, ”Ibu ingin jadi apa?” atau ”Cita-cita Ibu apa?”, dengan lemah lembut dan mata yang menatap angkasa, Ibu selalu menjawab, ”Ibu ingin jadi selimut.”
Berapa kali pun kutanya, jawabannya tidak akan berubah. Bahkan pernah suatu kali kusanggah, ”Tapi selimut itu barang mati, bukan profesi, Bu.”
”Berarti Ibu satu-satunya selimut yang hidup.”
Lalu Ibu ke belakang membawa pakaian-pakaian kotor dan siap mencucinya.
Apa Ibu bercanda? Bagaimana mungkin ada seseorang yang bercita-cita jadi selimut? Lalu kalau sudah jadi selimut, bagaimana dia akan mendapat gaji?
”Ibu, apakah ingin menjadi selimut itu cita-cita sedari kecil?” Aku kembali bertanya sekembalinya menjemur baju-baju kami. Itu hari Minggu. Ibu tidak pergi bekerja.
”Tidak. Waktu kecil, Ibu ingin jadi guru. Tapi ternyata takdir tidak menyetujuinya.”
”Lalu apakah cita-cita Ibu menjadi selimut sudah tercapai sekarang?”
Ibu hanya tersenyum. Lalu meninggalkanku untuk menuju dapur. Sepertinya akan memasak untuk makan siang kami. Apakah Ibu akan masak selimut? Sop selimut? Gulai selimut? Rica-rica selimut? Atau tongseng selimut? Entahlah, Ibu terlalu misterius.
Kurasa cita-cita itu belum tergapai atau malah mungkin tidak akan tergapai. Mana mungkin seorang wanita akan berubah jadi selimut? Ibu itu hidup, sedangkan selimut benda mati. Dua hal yang bertolak belakang dan tidak saling berkesinambungan. Benar, kurasa memang belum tercapai. Nyatanya wujud Ibu masih jadi seorang wanita layaknya ibu-ibu kompleks lainnya. Bahkan jika Ibu lain badannya berubah-ubah, bisa gendut, lalu kurus ketika sang suami macet menyetorkan uang padanya, Ibu tidak berubah sama sekali. Tubuhnya ideal.
Dengan tinggi yang memesona bagi seorang wanita. Ibu lebih terlihat seperti kakakku daripada ibuku. Mungkin, mungkin lho ya. Tubuh Ibu stabil karena tidak pusing menunggu setoran uang dari suami yang kurang bertanggung jawab atau yang malas bekerja. Ibu tidak menunggu, Ibu mencari sendiri.
Aku tiba-tiba berpikir, mungkin pekerjaan Ibu di luar sana adalah menjadi selimut. Jadi ketika pagi setelah mengantarku berangkat sekolah, Ibu pergi ke perusahaan tempatnya bekerja untuk menjadi selimut. Full sampai jam empat sore—jika tidak lembur. Lalu ketika pulang, Ibu akan berubah jadi seorang Ibu lagi, ibu-ibu pada umumnya yang mempunyai keluarga. Meskipun sekarang keluarga Ibu hanya aku, tapi nyatanya kami baik-baik saja dan bahagia.
Kalian bertanya-tanya di mana ayahku? Atau mungkin mengira aku anak dari hasil hubungan haram? Nyatanya tidak. Ibu menikah dengan Ayah sebelum ada aku di rahimnya. Aku pernah diperlihatkan foto Ibu ketika masa itu. Foto memakai baju pengantin. Tidak ada Ayah di sampingnya, tapi urung untuk kutanyakan lebih lanjut, karena Ibu tergesa-gesa hendak bekerja.
Oh ya, kata Ibu, Ayah ditabrak truk ketika menyeberang jalan. Lalu hatinya lepas dari tubuh dan dibawa kabur anjing. Kemudian…. Aku tidak tahu cerita selanjutnya. Karena keburu ngeri dan kabur dari hadapan Ibu ketika cerita masih berlangsung. Untuk selanjutnya sembunyi di bawah selimut di kamarku.
Siapa pula anak kecil yang tak ngeri dengan cerita semacam itu? Melihat darah berceceran dari ayam yang disembelih saja aku ngeri. Apalagi ini sampai kejadian hati Ayah dibawa kabur anjing. Sungguh itu kejadian yang sangat mengerikan.
Suatu waktu di bulan Muharam. Tepatnya tanggal sepuluh. Anak-anak seusiaku atau yang lebih kecil lainnya—yang belum akil balik, berbondong-bondong menuju sebuah acara yang diselenggarakan desa. Katanya mereka mendapat undangan santunan anak yatim piatu. Jadi anak-anak yang ibu atau ayahnya meninggal, atau bahkan keduanya meninggal, akan diberikan undangan untuk menghadiri acara. Di sana, mereka mendapat banyak sekali hadiah. Uang juga dapat. Orang-orang sesegukan menangis, memeluk, sambil menyentuh kepala mereka penuh kasih sayang.
”Ini tidak adil!” Teriakku. Sontak semua orang yang berkumpul menoleh pada asal suara. Menatapku keheranan.
Ya, aku datang ke acara itu walau tidak dapat undangan. Sebenarnya siapa pun boleh datang, tapi hanya untuk menyaksikan atau ikut menyantuni anak yatim piatu. Namun kedatanganku bukan untuk keduanya, melainkan untuk menuntut keadilan. Aku tidak peduli entah sampai berapa kali Ibu membujuk agar aku tidak ke sana. Katanya sebagai ganti, Ibu akan memberikan semua hadiah seperti yang mereka dapatkan, tidak lupa uang dengan jumlah yang sama pula.
Aku tetap tidak peduli. Aku merasa harus menuntut keadilan. Bagaimana bisa semua orang lupa kalau aku ini juga yatim? Aku tak punya ayah. Ayah ditabrak truk sewaktu aku masih dalam kandungan. Yang lebih mengerikan, hati Ayah dibawa kabur anjing.
Seseorang menutup mulutku, kemudian cepat menggendong dan membawaku pergi sebelum aku mengatakan apa pun lagi. Aku berontak. Ingin turun dari gendongannya dan kembali ke sana. Namun dia meneteskan air mata.
Sebetulnya aku bisa dengan mudah melepaskan diri, tapi aku tertahan oleh air matanya. Air mata Ibu yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Ibu menangis dan itu karena aku. Demi air mata itu, aku melupakan sebuah keadilan yang harus diperjuangkan. Aku memeluknya. Ketika itulah aku menemukan sebuah selimut pada diri Ibu. Ibu hangat dan menenteramkan. Seperti selimut tebal yang kupakai ketika hujan datang.
Aku tetap tidak peduli. Aku merasa harus menuntut keadilan. Bagaimana bisa semua orang lupa kalau aku ini juga yatim? Aku tak punya ayah. Ayah ditabrak truk sewaktu aku masih dalam kandungan. Yang lebih mengerikan, hati Ayah dibawa kabur anjing.
”Nak, tubuh orang tua dari anak-anak itu meninggal, tapi hatinya masih hidup. Sedang ayahmu mati hatinya, tapi jasadnya masih hidup.”
Ibu berbisik padaku. Lirih sekali. Detik itu juga, aku sudah tidak lagi peduli tentang santunan dan banyak hadiah. Juga tentang keadilan yang hendak kuperjuangkan. Toh, nyatanya, selama ini Ibu selalu memberikan kebutuhanku dengan baik seperti anak-anak berorang tua lengkap. Walau aku tidak terlalu paham dengan kalimat Ibu, setidaknya aku tidak lagi mau membuat tangis Ibu pecah. Ibu adalah selimutku, Ibu adalah segalanya bagiku.
***
Tahun-tahun berlalu. Aku telah menikah. Tidak apa-apa jika pada akhirnya aku harus memakai wali hakim untuk pernikahanku. Seluruh keluarga Ayah tewas dalam musibah kebakaran belum lama ini. Setidaknya itu kabar yang kudengar dari tetangga, karena Ibu tidak pernah sekali pun membahas mengenai Ayah ataupun keluarganya, aku pun tidak mau bertanya karena takut Ibu menangis. Dan tentu saja, aku tidak punya saudara kandung laki-laki yang bisa jadi wali nikahku.
Aku menikah dengan kekasih, yang kami memang saling mencintai satu sama lain, dan berjanji sehidup semati. Meski entahlah, apakah di dunia ini masih ada yang semacam itu.
Kami tinggal di rumahku, bersama Ibu. Aku tidak tahu apa pasalnya Ibu mengatakan, ”Sebelum kalian punya rumah sendiri, sebaiknya tinggal di sini saja.”
Suamiku setuju atas perjanjian pranikah itu. Namun sesekali bolehlah menginap di rumahnya, di rumah orang tuanya, di rumah mertua. Memang banyak cerita tentang ketidakcocokan menantu perempuan dengan mertua perempuannya, tapi semoga tidak terjadi padaku.
Aku menuju kamar Ibu, hendak berpamitan. Selama dua hari ke depan aku dan suami akan menghabiskan akhir pekan pertama kami sebagai sepasang suami istri, di rumah orang tuanya. Aku tahu ini berat bagi Ibu, tidak ubahnya seperti dulu ketika kutinggal Ibu untuk berkarya wisata selama seminggu di luar kota. Ibu bisa setiap satu jam sekali meneleponku. Memastikan bahwa aku baik-baik saja. Tapi itu dulu, ketika usiaku belasan, ketika aku belum punya yang namanya suami, yang akan senantiasa melindungiku.
”Kenapa Ibu menangis?”
Itu air mata kedua yang kulihat setelah dulu aku berulah menuntut untuk mendapat santuan anak yatim.
”Bawahlah selimut-selimut ini jika kau pergi, Nak. Ada empat. Satu untuk kau, satu untuk suamimu, sedangkan dua lagi bisa kau pakai ketika yang dua basah karena dicuci atau kotor.”
Mata ibu masih berkaca-kaca setelah air matanya tadi diusap dengan cepat ketika menyadari kedatanganku.
”Tapi di sana sudah ada selimut, Bu. Lagi pula aku hanya dua hari. Jadi rasanya tidak perlu.”
”Di sana adanya ibu mertuamu, Nak. Bukan Ibu.” Satu air mata menetes dari mata kiri Ibu.
Baca juga : Perempuan di Bibir Pantai
Ada yang berbeda dari mata Ibu kali ini, tidak hanya berwarna putih dan hitam, atau bayangan diriku ketika kami berhadapan. Ada cerita di dalam sana. Ada kesedihan dan luka seorang perempuan hamil lima bulan yang meringkuk tidur di lantai beralaskan karpet. Di luar hujan, petir, dan angin bersahut-sahutan.
Perempuan itu berbaring tanpa bantal, tanpa selimut yang hangat seperti yang selalu Ibu berikan padaku. Matanya terpejam, tapi air mata tak henti mengalir. Di samping kirinya ada wanita berusia seorang ibu untuk anak yang telah dewasa, tidur pulas berselimut. Di kanannya ada bangsal yang di atasnya seorang laki-laki dengan wajah mirip denganku, berbantal dan berselimut hangat pemberian ibunya. Santai bermain ponsel tanpa peduli aku yang ada dalam kandungan ikut menangis bersama perempuan itu.
______________
Elfi Ratna Sari, penulis kelahiran Pati, 8 September 1993. Menulis puisi, cerpen, cernak, cerkak, dan novel. Dua bukunya yang terbit tahun ini, kumpulan cerpen Kau yang Menikah dengan Batu dan novel Gus, satu lagi novel yang akan segera terbit Ujung Trotoar.