Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi Covid-19 memunculkan kekhawatiran. Hingga kini, ketika proses masih tergolong awal, sedikitnya 243 pelanggaran terjadi akibat tidak dipatuhinya protokol kesehatan.
Oleh
FX LAKSANA AS
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran berbagai pihak tentang rangkaian pemilihan kepala daerah serentak atau Pilkada 2020 yang akan menjadi ajang penularan Covid-19 kian nyata. Sampai saat ini saja, ketika proses masih tergolong awal, sedikitnya 243 pelanggaran terhadap protokol kesehatan telah terjadi di berbagai daerah.
”Protokol kesehatan menjadi kunci suksesnya pelaksanaan pilkada kali ini. Keselamatan rakyat harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanan pilkada. Dan, berdasarkan laporan Bawaslu, terdapat 243 pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan bakal pasangan calon ataupun parpol,” kata Juru Bicara Satuan Tugas Covid-19 Wiku Bakti Bawono Adisasmito dalam keterangan pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (17/09/2020).
Beberapa pelanggaran tersebut, antara lain, adalah tetap datang mendaftar sekalipun bakal calon dinyatakan positif Covid-19. Pelanggaran lainnya adalah terjadi kerumunan, seperti arak-arakan pendukung, tidak menjaga jarak, dan tidak melampirkan hasil pemeriksaan uji usap. Sementara merujuk data KPU per 14 September, terdapat 60 bakal calon kepala daerah yang dinyatakan positif Covid-19.
Protokol kesehatan menjadi kunci suksesnya pelaksanaan pilkada kali ini. Keselamatan rakyat harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanan pilkada. Dan, berdasarkan laporan Bawaslu, terdapat 243 pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan bakal pasangan calon ataupun parpol.
Wiku mengingatkan kepada semua pihak untuk disiplin menjaga protokol kesehatan agar tidak tejadi peningkatan penularan Covid-19 saat pilkada. Calon kepala daerah harus dapat menjadi teladan pelaksanaan disiplin protokol untuk masyarakat.
”Karena semua calon kepala daerah ini adalah calon-calon pemimpin yang sedang diuji kepemimpinannya. Dan, tunjukkanlah kepada seluruh masyarakat bahwa kita bisa menjaga keselamatan rakyat semuanya. Semoga ke depannya tidak terjadi pelanggaran protokol kesehatan dalam rangkaian pilkada ini,” tutur Wiku.
Wiku juga mengingatkan agar semua pemangku kepentingan menyesuaikan bentuk acara dalam tahapan pilkada serentak 2020 agar tidak sampai menimbulkan kerumunan dan penularan. ”Mohon agar menyesuaikan supaya kegiatan-kegiatan tersebut tidak menimbulkan kerumunan dan penularan dengan cara bisa dilakukan dengan digital tanpa mengumpulkan massa secara fisik sehingga menimbulkan kerumunan,” kata Wiku.
Kewaspadaan terhadap risiko penularan tersebut, Wiku melanjutkan, berlaku untuk semua daerah. Khusus untuk pilkada di daerah yang termasuk dalam zona berisiko tinggi, kewaspadaan itu harus makin tinggi. Daerah yang dimaksud adalah Jawa Timur dan Jawa Tengah sebab sama-sama mencatatkan persentase kematian terbanyak. Dengan demikian, pengetatan protokol kesehatan wajib dilakukan di semua rangkaian pilkada.
Pada saat yang sama, terdapat beberapa provinsi dengan tingkat kesembuhan tinggi yang menggelar pilkada. Profil ini harus dijaga agar daerah yang bersangkutan tidak masuk ke dalam zona berisiko tinggi.
Berkaitan dengan kampanye, Wiku menyatakan, metode konvensional umumnya melibatkan massa sehingga berpeluang lebih tinggi dalam penularan Covid-19. Oleh karena itu, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020 diubah menjadi PKPU Nomor 10 Tahun 2020 guna meminimalisasi risiko penularan dengan memberikan alternatif kampanye sesuai protokol kesehatan.
”Jangan menciptakan kerumunan karena kerumunan tersebut memiliki risiko meningkatkan penularan. Semua kegiatan kampanye yang menimbulkan kerumunan dan potensi penularan dilarang. Silakan berkampanye dengan cara lain supaya betul-betul bisa melindungi keselamatan masyarakat. Ingat prinsip salus populi suprema lex. Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Itu yang harus kita jaga betul,” papar Wiku.
Situas darurat
Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Anton Novenanto, berpendapat, Covid-19 menyebabkan situasi darurat di berbagai aspek kehidupan masyarakat dan negara. Dalam kondisi demikian, pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum bisa mengendalikan Covid-19. Faktanya justru persoalan Covid-19 kian mengkhawatirkan.
”Apakah fasilitas kesehatan siap. Apakah jumlah tenaga medis cukup untuk menangani kasus. Apakah jumlah laboratorium cukup untuk melakukan tes. Menurut saya, tidak ada yang siap dan kita tidak pernah tahu seburuk apa risiko yang akan muncul belakangan (jika pilkada dipaksakan),” tutur Anton.
Oleh sebab itu, langkah bijaksana dalam situasi darurat ini adalah menunda pilkada hingga kasus Covid-19 benar-benar terkendali dan situasi stabil. Prinsip utamanya adalah kesehatan masyarakat yang utama.
”Ini situasi darurat. Jadi, langkah bijaksananya adalah menunda pilkada sampai situasi kembali stabil. Lebih baik anggaran pilkada dialihkan untuk penanganan kesehatan masyarakat. Ini jauh lebih bermanfaat daripada menghabiskan anggaran untuk pilkada yang ujung-ujungnya justru membahayakan keselamatan masyarakat,” kata Anton.
Sementara itu, Juru Bicara Kepresidenan Bidang Hukum Dini Purwono melalui siaran persnya menyatakan, Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 ditujukan kepada menteri, TNI, Polri, dan pemerintah daerah untuk mengambil langkah penegakan protokol kesehatan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Hal ini dilakukan karena masih minimnya kesadaran masyarakat sekaligus sebagai bukti keseriusan pemerintah menekan angka penyebaran Covid-19.
Pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah untuk segera merampungkan peraturan mengenai kewajiban mematuhi protokol kesehatan di daerah agar operasi yustisi dapat segera dilaksanakan. Upaya penegakan kedisiplinan harus masif di seluruh daerah agar hasilnya efektif.
Merujuk data Kementerian Dalam Negeri per 14 September, 394 kabupaten dan kota telah menyelesaikan peraturan daerah yang menindaklanjuti instruksi presiden tersebut. Sebanyak 52 kabupaten dan kota lainnya sedang dalam proses menyelesaikan peraturan daerah. Adapun 68 kabupaten dan kota belum menindaklanjutinya.
”Pemerintah pusat mendorong pemerintah daerah untuk segera merampungkan peraturan mengenai kewajiban mematuhi protokol kesehatan di daerah agar operasi yustisi dapat segera dilaksanakan. Upaya penegakan kedisiplinan harus masif di seluruh daerah agar hasilnya efektif,” kata Dini
Penegakan sanksi sesuai dengan Inpres Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, yang diterbitkan pada 4 Agustus 2020, hanya diterapkan terhadap pihak yang melanggar. Bentuk sanksi dapat berupa teguran lisan atau tertulis, denda, kerja sosial, atau penghentian ataupun penutupan sementara penyelenggaraan usaha.