Pelanggaran Protokol Kesehatan Marak, Komisi II DPR Belum Pertimbangkan Tunda Pilkada
Kendati masif terjadi pelanggaran protokol kesehatan di tahap pencalonan, Komisi II DPR belum mempertimbangkan penundaan Pilkada 2020. Mereka masih akan fokus mengevaluasi tahapan-tahapan yang sudah dijalankan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah masifnya pelanggaran terhadap protokol kesehatan pada masa pendaftaran calon peserta pilkada dan peningkatan risiko penyebaran Covid-19, Komisi II DPR belum mempertimbangkan menunda Pilkada 2020. Penundaan pilkada bergantung dari evaluasi dari setiap tahapan yang dijalankan, serta perkembangan pandemi Covid-19 secara nasional.
Seperti diberitakan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan 243 pelanggaran protokol kesehatan saat pendaftaran calon peserta pilkada. Selain itu, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (7/9/2020) sore, ada 46 bakal calon kepala daerah-wakil kepala daerah yang tersebar di 17 provinsi, positif Covid-19. Sejumlah pengawas pemilu juga dilaporkan positif Covid-19. Di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, 96 petugas pengawas pemilu ad hoc di 18 kecamatan positif Covid-19.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung saat dihubungi di Jakarta, Selasa (8/9), mengatakan, penundaan tahapan pilkada hingga kini belum diputuskan. Semua pihak masih akan fokus mengevaluasi terlebih dahulu tahapan-tahapan yang sudah dijalankan.
”Ini, kan, lihat perkembangan (untuk penundaan pilkada). Kami melihat situasi yang sekarang, yang pasti masih on schedule (sesuai jadwal). Tahapan-tahapan yang berjalan nanti kami evaluasi terlebih dahulu, mana hal-hal yang bisa diperbaiki,” ujar Doli.
Dorongan penundaan pilkada ini sebelumnya muncul dari Manajer Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Fadli Ramadhanil. Menurut dia, jika penyelenggara pilkada tak dapat memastikan protokol kesehatan dipenuhi secara ketat, Pilkada 2020 sebaiknya ditunda. ”Dengan demikian, pilkada tidak menjadi titik baru penyebaran Covid-19,” katanya.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2/2020 membuka peluang penundaan jika pemungutan suara tak dapat digelar Desember karena pandemi belum usai. Jika itu terjadi, pemungutan suara ditunda dan dijadwalkan kembali setelah pandemi berakhir.
Sebelum pilkada ditetapkan 9 Desember 2020, masyarakat sipil mendorong pilkada ditunda hingga 2021 karena khawatir pilkada memperluas Covid-19.
Doli menjelaskan, setidaknya ada tiga indikator kunci keberhasilan pilkada di tengah pandemi. Pertama, setiap tahapan pilkada sampai 9 Desember 2020 bisa terselenggara dengan baik. Kedua, tingkat partisipasi pemilih tinggi. Ketiga, semua pihak, baik penyelenggara, peserta, hingga pemilih sehat dan terhindar dari Covid-19.
Menurut Doli, sejauh ini, di dua indikator awal sudah terpenuhi. Setiap tahapan masih bisa berjalan dengan baik. Kekhawatiran persebaran virus korona baru penyebab Covid-19 pada pelaksanaan tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih, kata dia, nyatanya tidak terjadi.
Lalu, lanjutnya, antusiasme masyarakat juga terlihat cukup tinggi di saat pendaftaran paslon. Ini dilihat sebagai potensi terjadinya peningkatan partisipasi pemilih.
”Tinggal yang kita jaga yang indikator ketiga supaya semua selamat dan tetap sehat. Itu akan kami evaluasi di rapat selanjutnya dengan penyelenggara pemilu dan pemerintah,” ucap Doli.
Pada Kamis (10/9), Komisi II DPR berencana menggelar rapat evaluasi tahapan pendaftaran calon yang berlangsung 4-6 September 2020 di 270 daerah. Rapat akan dihadiri seluruh penyelenggara pemilu, serta Kementerian Dalam Negeri.
Pelaksanaan rapat evaluasi ini tak terlepas dari banyaknya pelanggaran di tahapan pendaftaran calon. Sebagian pasangan bakal calon kepala daerah mendaftar diiringi massa pendukung, bahkan ada yang menggelar arak-arakan.
”Kami nanti mau evaluasi, dan membuat langkah-langkah apa ke depan untuk mengantisiapsi itu. Sebab, tahapan berikutnya, kan, kampanye nih. Pelanggaran pada masa pendaftaran calon saja sudah sebanyak itu, apalagi nanti pada masa kampanye kalau tidak diatur. Jadi, kami ingin membuat penegakan disiplin,” ujar Doli.
Setidaknya masih terdapat dua tahapan yang berpotensi mengundang konsentrasi massa dalam jumlah besar, yaitu masa kampanye (26 September-5 Desember 2020), dan hari pemungutan suara pada 9 Desember 2020.
Doli menyampaikan, dalam rapat nanti, pihaknya bersama penyelenggara pemilu dan Kemendagri akan memetakan siapa saja aktor-aktor yang paling banyak melanggar protokol kesehatan. Lalu, akan didalami juga penyebabnya. Dari pemetaan itu, semua pihak akan dimintai masukan terkait sanksi yang tepat dan tegas untuk para aktor tersebut.
”Semua itu dipetakan dulu, kesalahan terbesar ada di siapa, apakah paslon, masyarakat, atau penyelenggara pemilu. Kalau masyarakat, siapa yang bertanggung jawab, apakah penyelenggara pemilu karena kurang maksimal dalam menyampaikan informasi, atau kepala daerahnya ternyata selama ini mungkin menganggap pandemi adalah hal biasa saja,” tutur Doli.
Menurut Doli, tak tertutup kemungkinan pula, di tahapan selanjutnya, peran aparat keamanan akan lebih dioptimalkan. Mereka bisa langsung memberikan sanksi bagi para pelanggar protokol kesehatan di dalam konteks pilkada.
”Bahkan, mungkin saja, kita perlu membentuk satuan tugas khusus untuk menegakkan disiplin protokol kesehatan di dalam konteks pilkada ini,” ujar Doli.
Penunjukan pejabat sementara
Staf Khusus Mendagri Bidang Politik dan Media, Kastorius Sinaga, menyampaikan, upaya pencegahan dan penanganan wabah Covid-19 merupakan prioritas pemerintah. Upaya tersebut tak bisa diabaikan dalam pelaksanaan pilkada dan harus dijalankan dengan serius.
”Peluang emas melawan Covid-19 ada di semua tahapan pilkada. Jangan sebaliknya, karena abai terhadap protokol, lalu pilkada menjadi kluster baru penularan. Keadaan seperti ini tidak kita inginkan,” ucap Kastorius.
Dari catatan Kemendagri, dari sekitar 650 pasangan bakal calon yang mendaftar, ada sekitar 260 pasangan bakal calon yang melanggar.
Menurut Kastorius, ini artinya, protokol Covid-19 telah diabaikan pasangan bakal calon. Kemendagri akan mendayagunakan semua instrumen penegakan hukum untuk memastikan kepatuhan terhadap protokol Covid-19.
Selain opsi menunda pelantikan paslon yang melanggar protokol kesehatan pada masa kampanye, opsi lain yang mengemuka adalah menunjuk pejabat dari pusat sebagai pejabat sementara (Pjs) kepala daerah. Hal itu bisa dilakukan apabila daerah tersebut terbukti melanggar protokol kesehatan secara signifikan pada masa pilkada, atau kurang optimal dalam mendukung pelaksanaan pilkada serta penegakan protokol kesehatan dan penanganan Covid-19.
Kemudian, penundaan pelantikan diusulkan berlangsung dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Sanksi ini dikenakan kepada paslon yang terbukti berkali-kali melanggar protokol kesehatan pada masa kampanye pilkada.
”Kepada paslon terpilih yang ditunda pelantikannya, akan diberikan pembinaan atau pendidikan penyelenggaraan pemerintahan oleh Kemendagri,” ujarnya.