Selawat Kematian
Ia ingat selama ini ia tak pernah ikut-ikutan mengamalkan apa yang dilakukan orang-orang yang melemparkan kepingan logam ke arah jenazah yang secara tak sengaja ditemui di jalan.
Burhan memelankan laju motornya saat truk yang membawa tumpukan kandang ayam di depannya mendadak mengurangi laju kecepatan. Tak sampai satu menit, truk yang menguarkan bau tahi ayam cukup menyengat itu benar-benar berhenti. Secara otomatis Burhan pun menghentikan motor. Sebab bila tidak, ia akan celaka karena menabrak bodi truk bagian belakang tersebut.
Sambil menutup hidung, Burhan membuka kaca helm warna hitam yang di bagian belakang bawah ada logo SNI-nya. Ia memiringkan kepala ke kiri. Menyelidik apa yang sedang terjadi di depan sana. Mulanya ia mengira ada kemacetan atau kecelakaan saat melihat banyak kerumunan orang. Ternyata ia keliru. Rupanya sedang ada upacara kematian di sana. Bahkan ia melihat keranda telah diangkat dengan posisi menuju ke arah jalan yang berlawanan dengan jalan yang akan dilewatinya. Itu artinya, deretan kendaraan yang berhenti mendadak barusan, termasuk motor matik yang dinaiki Burhan, harus bersabar sejenak sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang meninggal dunia, sekaligus penghormatan kepada para pengiring jenazah menuju pemakaman.
Saat keranda jenazah itu diangkat dan orang-orang menggotongnya dengan langkah agak terburu, Burhan sempat melihat, para pengendara motor dan mobil melempar-lemparkan kepingan uang logam hingga menimbulkan bunyi gemerincing. Refleks, seperti ada seseorang yang menggerakkan tangan, Burhan merogoh saku celana katunnya. Berharap menemukan keping logam di sana. Keringat membasahi kening saat ia tak menemukan sekeping pun logam di saku celananya.
”Astagfirullah ’adzim,” Burhan lekas berucap istigfar saat mendadak teringat sesuatu. Ya, ia ingat bahwa selama ini ia tak pernah ikut-ikutan mengamalkan apa yang dilakukan orang-orang yang melemparkan kepingan logam ke arah jenazah yang secara tak sengaja ditemui di jalan dengan tujuan agar dijauhkan dari malapetaka. Selawat kematian, begitu orang-orang di kampung kelahiran Burhan menamai keping uang logam yang dilemparkan ke arah rumah atau keranda orang yang meninggal dunia.
Tengkuk Burhan tiba-tiba meremang saat keranda jenazah yang digotong enam orang lelaki muda dan paruh baya itu lewat di sampingnya. Lagi, ia bergumam istigfar dan lekas mengucap kalimat istirja yang merupakan petikan ayat Al Qur’an yang berbunyi inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun. Dalam hati Burhan bergumam bahwa sesungguhnya kita semua adalah milik Allah dan kelak kita pun akan kembali pada-Nya.
***
Dulu saat masih remaja, Burhan pernah menanyakan perihal selawat kematian kepada Bapak. Mulanya ia mengira selawat itu adalah pujian selawat kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Ternyata bukan.
”Selawat kematian itu sama dengan sedekah kematian, Le,” terang Bapak saat Burhan menanyakan hal tersebut. Sejak kecil, Bapak memang terbiasa memanggil ”L” atau ”Tole”. Dalam adat Jawa, ”Tole” memang telah menjadi panggilan kasih sayang orangtua terhadap anak lanangnya. Sementara ”Nduk” atau ”Genduk” menjadi panggilan yang juga bermakna kasih sayang orangtua pada anak perempuannya. Sayang beribu sayang, Bapak hanya dikaruniai anak semata wayang. Sehingga ia tak pernah bisa merasai bagaimana rasanya memanggail ”Nduk” pada putrinya.
”Sedekah kematian?” kening Burhan berkerut. Ia masih belum puas mendengar jawaban singkat Bapak. Bapak menghela napas panjang dan mengembuskannya pelan sebelum akhirnya menjelaskan semuanya.
”Jadi gini, Le. Selawat kematian itu adalah istilah dalam adat Jawa, artinya memberikan sedekah uang sekadarnya saat kita berpapasan dengan orang mati. Fungsinya untuk tolak bala, agar terhindar dari malapetaka.”
Burhan manggut-manggut mendengar penjelasan bapaknya yang masih menimbulkan banyak pertanyaan di batok kepalanya yang ditumbuhi rambut hitam agak keriting itu.
”Memang siapa yang mengajarkannya, Pak?” Burhan kembali bertanya. Lalu Bapak menjawab bahwa selawat kematian sudah diajarkan dan amalkan oleh para leluhur alias nenek moyangnya. Secara turun-temurun. Bapak, dengan suara berbisik, juga menceritakan siapa saja orang-orang di kampungnya yang pernah tertimpa petaka akibat tak mau mematuhi ajaran selawat kematian tersebut.
Jadi gini, Le. Selawat kematian itu adalah istilah dalam adat Jawa, artinya memberikan sedekah uang sekadarnya saat kita berpapasan dengan orang mati. Fungsinya untuk tolak bala, agar terhindar dari malapetaka.
Mulyadi, pria berkepala botak separuh, tetangga sekaligus juragan kayu yang terkenal kaya raya di kampung tersebut, kata Bapak, meninggal dunia karena tak memercayai dan enggan mengamalkan selawat kematian. Waktu itu, Bapak melihat dengan mata kepala sendiri saat Mulyadi dengan nada sinis mengatakan tentang ketidaksetujuannya bersedekah terhadap jenazah yang secara tak disengaja dijumpai di tengah jalan.
”Bisa syirik kita kalau sampai meyakini selawat kematian sebagai wasilah penolak bala,” Bapak menirukan ucapan Mulyadi yang waktu itu menolak melemparkan kepingan uang logam ke arah rumah orang yang meninggal dunia.
Jadi ceritanya waktu itu Bapak diajak Mulyadi mengantar potongan lakar (batang pohon kelapa yang sudah dipotong-potong dan dihaluskan dengan gergaji) menuju rumah si pemesan dengan menggunakan mobil bak miliknya.
Mobil bak yang disopiri langsung oleh Mulyadi tersebut mendadak berhenti di tengah jalan menikung, sekitar seratus meter sebelum tiba di rumah si pemesan kayu. Antrean kendaraan, mulai motor, mobil, truk, becak, tampak begitu mengular. Raut para pengendara pun tampak ikut prihatin dan begitu sabar menunggu keranda jenazah dipanggul dan diantarkan ke pekuburan. Bapak juga melihat, saat puluhan pengendara itu melempar-lemparkan kepingan logam ke arah keranda jenazah tersebut. Pun dengan Bapak yang secara spontan merogoh saku bajunya dan langsung bersyukur saat menemukan tiga keping logam di sana. Melalui kaca mobil yang terbuka separuh, tangan Bapak terjulur dan bersilekas melemparkan kepingan logam tersebut saat keranda jenazah lewat di sampingnya. Sementara Mulyadi tetap berkeras hati tak mau mengeluarkan sekeping pun logam untuk disedekahkan pada si mayit.
Sepulang dari mengantar kayu, perut Mulyadi terasa melilit dan beberapa kali masuk dan keluar kamar mandi. Mulyadi mencret. Kepada istrinya ia bilang baru makan banyak sambal di warung makan bersama Bapak. Ia pun meminta istrinya pergi ke warung terdekat untuk membeli obat pereda mencret. Saat malam tiba, rasa melilit di perut Mulyadi tak jua hilang meski mencretnya sudah sembuh. Singkat cerita, ia segera dilarikan ke puskesmas terdekat. Petugas puskesmas lantas merujuk Mulyadi agar dirawat di rumah sakit umum yang ada di pusat kota. Namun Mulyadi meninggal dunia saat dalam perjalanan menuju rumah sakit yang jarak tempuhnya nyaris satu jam itu. Kematian Mulyadi itulah yang membuat Bapak langsung memercayai akibat tak mau mengamalkan ajaran selawat kematian.
Selain Mulyadi, masih ada beberapa orang di kampungnya yang konon, kata Bapak, meninggal dunia akibat tak mengamalkan selawat kematian. Ah, sejatinya, dari dulu hingga saat ini, Burhan tak pernah mau memercayai ajaran yang mengharuskan bersedekah uang logam saat di tengah jalan berpapasan dengan orang yang meninggal dunia. Terlebih cara sedekahnya itu tak etis, dilempar ke arah rumah atau keranda jenazah. Burhan lebih memercayai keterangan Mbah Haji Jupri, imam shalat lima waktu di masjid kampung kelahirannya.
Beberapa tahun silam, Burhan memang sempat bertanya perihal selawat kematian itu kepada Mbah Haji Jupri saat suatu hari shalat berjemaah di masjid. Kata Haji Burhan, selawat kematian tak ada sejarahnya dalam agama Islam. Memang, Islam mengajari agar bersedekah sesering mungkin. Terlebih pada orang-orang yang sedang kesusahan atau butuh uluran pertolongan. Tapi cara bersedekahnya harus dengan cara-cara yang baik. Jangan sampai menyakiti hati si penerima sedekah.
***
Burhan tiba di rumah dan langsung disambut Lastri, istrinya, di depan pintu. Bahkan ketika ia baru turun dari motor dengan helm masih terpasang di kepala, Lastri, dengan wajah cemas dan berleler keringat, tergesa mendekatinya.
”Mas, tadi Bapak jatuh di kamar mandi,” ucap Lastri dengan nada gugup dan kecemasan yang kian menjadi.
”Aku sudah bantu memapah Bapak ke kamar, sepertinya kaki Bapak susah digerakkan,” lanjut Lastri membuat jantung Burhan seolah berhenti. Tanpa banyak bicara dan sambil melepas helm, Burhan bergegas masuk ke dalam rumah, menuju kamar Bapak dan mendapati Bapak yang tahun ini genap berusia 65 tengah terbaring di atas ranjang dengan tubuh lemas. Burhan langsung berinisiatif membawa Bapak ke rumah sakit. Namun Bapak menolak.
”Bapak enggak mau ke rumah sakit, Le. Hidup dan mati Bapak tetap akan di rumah,” ucapan Bapak membuat Burhan merasa dirajam bimbang. Sejak dulu, Bapak memang anti dirawat di rumah sakit. Bukan satu dua kali ini saja ia mengatakan kalimat itu. Sudah sejak tiga tahun terakhir ini, tepatnya sejak Ibu meninggal dunia dan kondisi fisik Bapak kian melemah, ia kerap mengucap kalimat itu. Hidup dan mati di rumah. Bahkan, berkali-kali Bapak bilang bahwa jatah hidupnya di dunia ini tinggal sebentar lagi. Berkali-kali pula Burhan berusaha menghibur dan memotivasi beliau agar semangat menjalani sisa hidup ini. Bahkan Burhan juga bilang, bisa saja ia dan Lastri yang meninggal duluan, sementara Bapak masih diberi umur panjang. Tapi, bukannya Bapak terhibur dengan kalimat yang diucapkan Burhan, ia justru (dengan raut tak semangat) mengatakan, ”Enggak, Le. Bapak yang akan menghadap Gusti Allah duluan.”
Akhirnya, karena Bapak menolak dibawa ke rumah sakit, Burhan terpaksa mendatangi rumah Mbah Mijan yang berada di ujung kampung, tukang urut langganan Bapak yang kerap dipanggil ke rumah, untuk memijat Bapak. Selama ini, Bapak memang gemar dipijat. Bukan hanya ketika sedang masuk angin atau merasa sedang kurang enak badan saja, nyaris tiap bulan Mbah Mijan selalu datang ke rumah untuk memijat Bapak. Sebagaimana dugaan Burhan, Bapak langsung mengangguk setuju saat ia bilang akan memanggil Mbah Mijan untuk mengurut kaki Bapak yang kaku dan susah digerakkan.
***
Sudah tiga kali kaki Bapak diurut oleh Mbah Mijan, tapi kakinya masih sulit digerakkan. Burhan tentu merasa cemas melihat kondisi Bapak.
”Aku takut Bapak kena stroke, Mas,” ucapan Lastri membuat Burhan kian mengkhawatirkan kondisi orangtua satu-satunya yang kian sepuh tersebut. Andai Bapak mau dibawa ke rumah sakit agar mendapat perawatan intensif. Ah, tapi rasanya mustahil.
”Apa enggak coba dirayu lagi Mas, siapa tahu Bapak mau dirawat di rumah sakit.”
Burhan berusaha merenungi kata-kata yang diucapkan Lastri, perempuan yang dinikahinya dua puluh tahun silam dan hingga kini belum bisa menghadiahinya buah hati untuknya. Lastri benar. Tak ada salahnya mencoba merayu Bapak. Siapa tahu Bapak berubah pikiran dan mau diajak berobat ke rumah sakit.
***
Sebagaimana yang sudah-sudah, Bapak tetap menolak diajak berobat ke rumah sakit. Kalimat ”Hidup dan mati tetap di rumah” pun kembali terucap. Tak hanya itu, bahkan Bapak mulai mengungkit-ungkit tentang selawat kematian.
”Le, jangan-jangan selama ini kamu enggak pernah mengamalkan selawat kematian?” Bapak menatap tajam dengan raut penuh selidik.
Ya, memang benar. Selama ini Burhan tak pernah mengamalkan ajaran yang tak diyakininya itu. Tentu saja ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menampakkan ketidaksetujuan terhadap keyakinan Bapak yang telah mendarah daging tersebut. Selama ini, Burhan selalu berpura-pura mengamini keyakinan Bapak.
Baca juga : Penjual Kematian
Karena ia malas berdebat dan ujung-ujungnya dimusuhi Bapak. Diam-diam Burhan lebih mengamini keterangan Mbah Haji Jupri, bahwa mati dan hidupnya seseorang hanya Allah yang menentukan. Jadi tak ada sangkut pautnya dengan selawat kematian.
”Jawab, Le. Jadi benar selama ini kamu enggak mengamalkan selawat kematian?” Bapak kembali mencecar. Kali ini dengan nada tinggi. Sementara ingatan Burhan kembali melayang pada kejadian tempo hari, saat tangannya tetap bergeming sementara para pengendara lain saling berlomba melemparkan kepingan uang logam ke arah keranda jenazah yang ditemuinya di tengah jalan.
Puring, Kebumen, 23 Maret 2020
***
Sam Edy Yuswanto*
*Lahir dan berdomisili di Kebumen. Ratusan tulisannya tersiar di berbagai media massa, seperti Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Riau Pos, dan Kedaulatan Rakyat. Tiga buku kumpulan cerpennya yang telah terbit adalah Percakapan Kunang-kunang, Kiai Amplop, dan Impian Maya.