Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19, Tingkat Kerawanan Meningkat
Berdasarkan hasil pemutakhiran Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2020 oleh Bawaslu, jumlah daerah yang masuk kategori tingkat kerawanan tinggi dari aspek pandemi Covid-19, bertambah banyak.
JAKARTA,KOMPAS — Keputusan untuk melanjutkan Pilkada 2020 di tengah lonjakan kasus Covid-19 sangat berisiko dan berpotensi mengganggu pelaksanaan Pilkada 2020. Indeks kerawanan pemilu di daerah meningkat hampir dua kali lipat. Instrumen hukum yang tegas dibutuhkan agar kluster penularan Covid-19 di pilkada tidak semakin banyak.
Potensi penularan Covid-19 menjadi hal yang paling memengaruhi Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2020 yang dirilis Badan Pengawas Pemilu pada Selasa (22/9/2020).
Ada peningkatan signifikan jumlah daerah yang masuk kategori rawan tinggi dari aspek pandemi Covid-19. Pada IKP yang dirilis Juni 2020, hanya ada 27 kabupaten/kota yang masuk kategori rawan tinggi. Namun, setelah dimutakhirkan pada September 2020, jumlahnya menjadi 50 kota/kabupaten yang dinyatakan rawan tinggi.
Dari 50 kabupaten/kota tersebut, sepuluh daerah yang paling tinggi tingkat kerawanannya adalah Kota Depok, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, Kota Manado, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sumbawa Barat, Kabupaten Bone Bolango, dan Kota Bandar Lampung.
Adapun di tingkat provinsi, sembilan provinsi yang menyelenggarakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur dinyatakan rawan tinggi dalam konteks pandemi. Itu adalah Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau, Jambi, dan Kalimantan Utara. Tiga provinsi di antaranya, yaitu Kalimatan Tengah, Sumatera Barat, dan Sulawesi Utara, bahkan mendapatkan skor kerawanan tinggi di atas 90 persen.
Baca juga: Suara Publik Diabaikan
Anggota Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, pemutakhiran data IKP dari aspek pandemi Covid-19 menggunakan sembilan indikator.
Sembilan indikator dimaksud, penyelenggara pemilu yang terinfeksi Covid-19. Berdasarkan data Bawaslu, hingga saat ini sudah ada 90 penyelenggara pemilu di daerah pilkada yang dinyatakan positif Covid-19. Kemudian penyelenggara pemilu yang meninggal karena Covid-19, penyelenggara pemilu yang tidak melaksanakan protokol kesehatan dalam melaksanakan tugas, dan lonjakan pasien Covid-19.
Indikator lainnya, lonjakan pasien Covid-19 meninggal dunia, informasi tentang pasien Covid-19 tidak tertangani oleh fasilitas kesehatan, dan penyelenggara pemilu mengundurkan diri terkait Covid-19. Selain itu, indikator masyarakat, tokoh masyarakat/organisasi kemasyarakatan menolak penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi, dan perubahan status wilayah terkait pandemi.
”Indeks kerawanan pemilu dalam konteks pandemi meningkat menjelang tahapan kampanye sebab tahapan itu sangat berpotensi mempertemukan massa. Bawaslu sudah membuat rekomendasi, di antaranya pelaksanaan penetapan dan pengundian nomor urut paslon dilakukan secara daring,” ujar Afifuddin.
Selain itu, untuk mencegah kerumunan massa, seperti saat tahapan pendaftaran calon, awal September lalu, Bawaslu telah menerbitkan Surat Edaran tentang Penetapan dan Pengundian Nomor Urut Paslon Pilkada 2020.
Melalui SE tersebut, Bawaslu memerintahkan agar Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota agar melakukan rapat koordinasi dengan partai politik dan liaison officer (LO) para bakal pasangan calon untuk mencegah kerumunan massa.
Hal itu juga disampaikan dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. Rapat tersebut mengundang sekretaris jenderal semua partai politik, KPU, dan Bawaslu.
Parpol diminta menyampaikan kepada pimpinan di daerah tentang larangan pengumpulan massa. Sebab, pengumuman penetapan pasangan calon hanya akan dilakukan melalui situs resmi KPU. Pengumuman juga akan ditempel di kantor KPU daerah. Selain itu, pada tahapan pengundian nomor urut, KPU hanya akan mengundang pasangan calon dan ketua tim pemenangan kampanye.
”Karena sudah diputuskan pilkada tetap dilaksanakan 9 Desember 2020, sekarang dituntut bagaimana komitmen bersama melakukan disiplin, seperti diatur dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2020. Parpol memiliki peran besar untuk mencegah penularan Covid-19 dengan menaati aturan tersebut,” kata Mahfud.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Kecam Keputusan Melanjutkan Pilkada
Untuk memastikan aturan protokol kesehatan itu, menurut Mahfud, KPU juga akan merevisi Peraturan KPU No 10/2020 dan PKPU No 4/2020. Revisi di antaranya dilakukan untuk melarang arak-arakan, rapat umum, dan pertemuan terbatas yang melebihi jumlah tertentu. Kampanye juga akan lebih banyak diarahkan melalui sarana daring. Selain itu, KPU mengusulkan pemungutan suara dengan kotak suara keliling untuk kelompok rentan.
”Revisi PKPU itu diharapkan selesai dalam waktu cepat sebelum masa kampanye, yaitu tanggal 26 Desember 2020,” kata Mahfud.
Penegakan hukum
Terkait dengan penegakan hukum bagi pelanggar protokol kesehatan, Mahfud mengatakan, penegakan akan bertumpu pada kewenangan Polri. Kemarin, Kapolri sudah mengeluarkan maklumat, yang di antaranya mengatur ancaman hukuman pidana bagi pelanggar protokol kesehatan.
Ancaman pidana bisa mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP), dan UU Wabah Penyakit Menular. Penegakan hukum pidana dilakukan dengan prinsip upaya terakhir jika peringatan tak diindahkan (ultimum remidium).
Sementara itu, Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, koordinasi antara Bawaslu dan kelompok kerja pengawasan protokol kesehatan akan diintensifkan sebab penegakan hukum yang akan dilakukan bertumpu pada kepolisian. Bawaslu tetap mengawasi, tetapi penindakan dan proses hukum akan dilakukan oleh kepolisian.
”Semua daerah yang menyelenggarakan pilkada sudah membentuk pokja pengawasan protokol kesehatan dan penanganan Covid sehingga diharapkan kerja sama berjalan dengan baik,” kata Abhan.
Dalam bekerja nanti, pokja pengawasan protokol kesehatan akan mengawasi daerah-daerah yang rawan kerumunan. Apabila ada kerumunan, akan dibubarkan. Kemudian, apabila ditemukan bukti pelanggaran akan diproses secara hukum.
Tidak efektif
Namun anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pesimistis sanksi bisa ditegakkan. Berkaca pada pengalaman di setiap pemilu, aparat selalu terkendala pembuktian karena terjadi saling klaim tanggung jawab. Hambatan itu kerap dijumpai saat penegakan hukum politik uang.
Baca juga: Mendagri: Antisipasi Kerumunan Saat Penetapan Calon
Selain itu, sanksi diragukannya akan menciptakan efek jera kepada peserta pilkadas sebab tidak ada konsekuensi secara elektoral terhadap calon yang melanggar protokol kesehatan. Padahal, melanggar protokol kesehatan pada masa pandemi dapat membahayakan nyawa orang lain.
”Yang perlu didorong justru penerapan sanksi administrasi agar memberikan efek jera. Misalnya, saat melanggar protokol kesehatan dicabut hak kampanyenya, bahkan sampai sanksi diskualifikasi,” ujar Titi.
Persoalannya, pengaturan sanksi tersebut tidak bisa dilakukan karena belum diatur di UU Pilkada. Dalam UU Pilkada, sanksi diskualifikasi hanya dapat dijatuhkan apabila paslon terbukti tidak menyerahkan dana kampanye, melakukan politik uang atau mahar politik, melakukan mutasi pejabat daerah jika calon petahana, serta menggunakan program pemerintah dalam kampanye. Untuk mengatur sanksi diskualifikasi bagi paslon pelanggar protokol kesehatan, UU Pilkada harus direvisi.
”Sanksi diskualifikasi hanya bisa dilakukan dengan aturan setingkat UU. Oleh karena itu, perlu ada revisi UU atau perppu. Dan, itu tidak bisa asal diterbitkan tanpa sosialisasi, partisipasi, dan deliberasi aturan sesuai prinsip-prinsip demokrasi yang baik,” ucap Titi.