Desain STS Tanjung Barat dan Lenteng Agung Perlu Perbaikan
Dewan Transportasi Kota Jakarta menilai ada kesalahan dalam desain pembangunan jalan layang Tanjung Barat di Jakarta Selatan. Perbaikan didesak dilakukan agar tidak menuai masalah saat sudah beroperasi nanti.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Transportasi Kota Jakarta menilai perlu ada perbaikan dalam desain simpang tidak sebidang jalan rel Tanjung Barat dan Lenteng Agung. Perbaikan tersebut dinilai diperlukan karena desain saat ini berpotensi menimbulkan masalah pada masa mendatang.
Ketua Komisi Humas dan Hukum Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Ellen Tangkudung mengatakan, DTKJ sangat mendukung pembangunan simpang tidak sebidang (STS) tersebut karena merupakan upaya meningkatkan keselamatan. ”Namun, jangan sampai upaya keselamatan tersebut malah menimbulkan masalah lalu lintas baru di kemudian hari hanya karena salah desain,” katanya di Jakarta, Minggu (26/1/2020).
Namun, jangan sampai upaya keselamatan tersebut malah menimbulkan masalah lalu lintas baru di kemudian hari hanya karena salah desain. (Ellen Tangkudung)
Kesalahan desain tersebut terletak, di antaranya, pada desain yang hanya fokus pada pergerakan putar balik, tetapi tidak mempertimbangkan pergerakan arus dari arah lain yang ada di lokasi setempat. Perancangan geometrik STS Tanjung Barat juga dinilai tidak didasarkan pada kebutuhan volume lalu lintas eksisting yang selama ini ada di area persimpangan setempat.
”Contohnya arus dari Jalan Tanjung Barat lama ke utara, yaitu ke Jalan Pasar Minggu, tidak diakomodasi di rancangan STS Tanjung Barat,” kata Ellen.
Perbaikan lain yang perlu dilakukan, kata Ellen, adalah desain jembatan penyeberangan orang (JPO) yang terlalu tinggi sehingga tidak ramah pejalan kaki dan disabilitas. Pembangunan juga tidak disertai masterplan perencanaan STS secara komprehensif, yaitu dari Jalan Pasar Minggu sampai Depok.
Akibatnya, arus lalu lintas yang tidak dapat melalui STS Tanjung Barat harus memutar jauh, yaitu 8-8,5 kilometer, yang menyebabkan bertambahnya konsumsi bahan bakar dan potensi pelanggaran lawan arus oleh pengguna jalan.
Selanjutnya, analisis dampak lalu lintas (andalalin) STS Tanjung Barat dan Lenteng Agung juga dinilai belum selesai ketika konstruksi sudah dimulai. Jadi, saat konstruksi dimulai, belum ada rekomendasi andalalin yang diberikan.
Untuk itu, DTKJ merekomendasikan beberapa perbaikan, yaitu desain geometrik STS Tanjung Barat harus diubah untuk mengakomodasi pergerakan lalu lintas eksisting yang volumenya tinggi, yaitu dari Jalan Tanjung Barat lama ke Jalan Pasar Minggu. Perubahan itu diperlukan juga agar tidak memperpanjang rute angkutan umum eksisting.
Rekomendasi lain adalah perbaikan desain radius putar sehingga bisa digunakan dengan kecepatan putar maksimal 60 km per jam. Selain itu, DTKJ juga harus menyusun masterplan STS sepanjang Jalan Pasar Minggu-Depok. Masterplan juga perlu dibuat untuk lintasan kereta api lain yang diapit jalan dengan volume lalu lintas tinggi, seperti Jalan Purbaya-Rawajati dan Cipinang-Pulogebang.
Untuk JPO, kata Ellen, rekomendasi DTJK adalah mengubah JPO menjadi terowongan penyeberangan orang (TPO) yang dilengkapi fasilitas keamanan dan keselamatan yang lebih ramah pada pejalan kaki dan penyandang disabilitas.
Ellen mengatakan, perlu ada edukasi kepada masyarakat untuk penggunaan infrastruktur layang (elevated) tidak sebidang yang khusus untuk lalu lintas putar balik seperti di STS Tanjung Barat-Lenteng Agung. Sebab, infrastruktur putar balik layang tersebut baru pertama kali dibangun di Jakarta.
Selain mengenai desain, rekomendasi DTKJ juga agar Dinas Perhubungan DKI Jakarta menutup jalan potong tidak resmi yang diinisiasi warga. Jalan potong ini mengakibatkan antrean kemacetan di Jalan Srengseng Sawah dan sekitar mencapai 1-2 kilometer dari arah Depok dan dari Jalan Srengseng Sawah.
”Untuk menghilangkan pelanggaran melawan arus, perlu dipikirkan jalan alternatif di luar jalan utama untuk kendaraan masuk ke dalam ramp yang bukan jalan lingkungan,” kata Ellen.
Wakil Ketua DTKJ Donny Saragih mengatakan, dari kasus ini, DTKJ mengharapkan agar semua SKPD dan konsultan perencana infrastruktur jalan mengubah paradigma perencanaan dari fokus pada kendaraan menjadi fokus pada tujuan yang lebih ramah bagi manusia.
Paradigma pembangunan transportasi yang fokus pada manusia dibanding fokus pada kendaraan dinilai sangat penting agar Jakarta dapat mencapai kota layak huni seperti yang dicita-citakan.