Sinkronkan Pembatasan Transportasi dengan Jadwal Kerja
Pemerintah pusat merekomendasikan pemda membatasi angkutan umum guna mencegah penyebaran virus korona baru. Namun, ini tidak sesuai dengan fakta masih banyak pegawai yang harus bolak-balik antardaerah untuk bekerja.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Sekadar membatasi operasional angkutan umum tidak cukup untuk mengoptimalkan menjaga jarak fisik dan sosial. Butuh sinkronisasi antara sistem transportasi publik dan sistem kerja di sejumlah perusahaan swasta serta lembaga pelayanan masyarakat lainnya.
Kementerian Perhubungan melalui Badan Penyelenggara Transportasi Jabodetabek (BPTJ), Rabu (1/4/2020), mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada dinas-dinas perhubungan provinsi serta kabupaten/kota terkait. Intinya ialah meminta agar pemerintah daerah menghentikan sementara atau setidaknya membatasi berbagai moda angkutan umum antarwilayah tersebut.
Sosiolog perkotaan Universitas Negeri Jakarta, Syaifudin, ketika ditelepon di Jakarta, Kamis (2/4/2020), menganalisis kebijakan pemerintah pusat dan daerah tersebut cenderung bersifat sepihak, yaitu hanya memikirkan kepadatan mobilitas manusia. Mereka seolah melupakan alasan manusia bergerak ialah karena tidak semua kantor swasta maupun lembaga pemerintah 100 persen menerapkan sistem bekerja dari rumah.
”Angkutan umum adalah tulang punggung pergerakan mayoritas warga Jabodetabek yang masih harus bekerja mengikuti sistem piket selama situasi tanggap darurat,” tuturnya.
Angkutan umum adalah tulang punggung pergerakan mayoritas warga Jabodetabek yang masih harus bekerja mengikuti sistem piket selama situasi tanggap darurat.
Ia menjelaskan bahwa Jabodetabek merupakan sebuah wilayah kesatuan. Setiap kebijakan yang diambil oleh Jakarta berpengaruh langsung kepada kabupaten/kota satelit sehingga dalam pembuatan aturan hendaknya tidak bisa berpersepsi egosentris ibu kota saja.
Menurut Syaifudin, perusahaan dan lembaga telah menerapkan sistem piket pegawai untuk menghindari aktivitas kerja yang mengakibatkan keramaian. Setiap hari hanya beberapa pegawai yang diperkenankan bergiliran masuk kantor. Perlu diingat bahwa para pegawai dan pekerja yang menjalankan sistem ini banyak berdomisili di Bodetabek.
”Masalahnya, walaupun jumlah pegawai yang pergi ke kantor berkurang, jam kerjanya tetap sama. Akibatnya, angkutan umum tetap mengalami rush hour (jam puncak kepadatan) seperti hari-hari biasa,” tuturnya.
Ia mengusulkan metode pengaturan jadwal masuk dan selesai kerja per wilayah. Contohnya, semua kantor di Jakarta Barat menerapkan jam kerja pukul 07.00 hingga pukul 14.00, sementara wilayah Jakarta Selatan jam kerjanya dari pukul 08.00 hingga pukul 15.00. Demikian seterusnya. Metode ini memungkinkan tidak terjadinya penumpukan penumpang karena mereka berangkat dan pulang kerja pada jam-jam yang berbeda.
Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Transjakarta Yoga Adiwinarto ketika dihubungi mengungkapkan, pihaknya masih mempelajari surat edaran itu. Namun, DKI Jakarta sejak pertengahan bulan Maret telah membatasi operasional bus Transjakarta. Hanya 13 koridor utama yang berfungsi dari pukul 06.00 hingga pukul 20.00. Bus-bus luar koridor, seperti Royal Trans dan Mikrotrans, telah ditiadakan sementara.
Status PSBB
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengadakan rapat virtual dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Anies menyampaikan per 2 April 2020 di Jakarta ada 885 kasus pasien positif menderita penyakit akibat virus korona jenis baru (Covid-19). Sebanyak 53 orang sembuh dan 90 orang meninggal.
”Angka kematian di Jakarta 10 persen. Jumlah ini lebih tinggi dari rata-rata dunia, yakni 4,4 persen. Jakarta situasinya mengkhawatirkan,” ujar Anies.
Jumlah ini belum mencakup kematian orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan. Jakarta mencatat ada 401 pemakaman jenazah yang memakai prosedur penanganan Covid-19. Jenazah dibungkus plastik, dimasukkan ke dalam peti, dan dikebumikan oleh petugas yang mengenakan alat pelindung diri lengkap.
Ia mengapresiasi keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Meskipun demikian, Jakarta meminta agar pemerintah pusat bisa memberi Ibu Kota status darurat yang memiliki payung hukum untuk mencakup wilayah Bodetabek. Artinya, mengikutsertakan Provinsi Jawa Barat dan Banten agar peraturan yang dibuat bisa sinergis.
Jakarta meminta agar pemerintah pusat bisa memberi Ibu Kota status darurat yang memiliki payung hukum untuk mencakup wilayah Bodetabek. Artinya, mengikutsertakan Provinsi Jawa Barat dan Banten agar peraturan yang dibuat bisa sinergis.
”Setidaknya sinergi untuk melakukan tes cepat sedini mungkin agar kami bisa mendeteksi orang-orang yang terjangkit virus dan mencegah sebelum mereka menularkan ke orang lain,” ujarnya.
Terkait bantuan untuk masyarakat miskin dan rentan miskin, Anies mengungkapkan, ada 3,7 juta orang di Jakarta yang masuk kategori tersebut. Terlepas memiliki kartu tanda penduduk Jakarta ataupun tidak. Data ini berdasarkan pencatatan oleh petugas rukun warga, rukun tetangga, dan pemberdayaan kesejahteraan keluarga.
Ia menerangkan bahwa saat ini masih dalam proses merapikan dan mengklarifikasi data sesuai nama dan dan alamat. Dari segi dana, Kementerian Sosial sudah menyiapkan Rp 800.000 untuk diberikan kepada setiap kepala keluarga penerima manfaat. Jumlah individu sementara yang sudah masuk perhitungan ini adalah 2,6 juta orang.