Polda Metro Jaya Catat Ada 443 Hoaks dan Ujaran Kebencian Seputar Korona
Polisi menyidik 14 kasus di antaranya serta sudah menetapkan 13 orang sebagai tersangka. Pengusutan hoaks dan ujaran kebencian dipastikan tetap akan berlanjut.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya dan kepolisian resor jajarannya mencatat ada 443 hoaks dan ujaran kebencian terkait Covid-19 bertebaran secara daring sehingga bisa meresahkan masyarakat. Dari kasus-kasus itu, polisi menyelidiki serta menyidik 14 kasus di antaranya dan menetapkan total 13 orang sebagai tersangka.
”Apakah stop pada 14 kasus ini? Tidak. Ini terus berjalan,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus dalam siaran pers daring, Senin (4/5/2020). Polisi menyelidiki dan bakal memutuskan mana yang perlu berlanjut ke penyidikan.
Yusri menuturkan, 443 kasus hoaks dan ujaran kebencian yang terdata merupakan hasil laporan masyarakat kepada petugas serta hasil patroli satuan tugas siber di tingkat polda dan polres-polres. Polisi sekaligus merekomendasikan Kementerian Telekomunikasi dan Informatika untuk memblokir sejumlah akun media sosial. Jika akun tersebut diblokir, polisi menilai, keresahan masyarakat bisa ditanggulangi, kasus tidak akan dilanjutkan ke penyidikan. Jika pemblokiran tidak cukup, proses hukum diteruskan agar pelaku bisa dibawa sampai ke pengadilan.
Terdapat 218 akun media sosial yang sudah diblokir. Itu terdiri dari 179 akun Instagram, 27 akun Facebook, 10 akun Twitter, serta 2 akun Whatsapp.
Untuk 14 perkara yang sedang dalam penyidikan polisi, Yusri mengatakan, kebanyakan pelaku penyebar hoaks dan ujaran kebencian bermotif ingin menimbulkan keresahan masyarakat. Setidaknya ada tiga modus penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
Pertama, hoaks dan ujaran kebencian disebarkan menggunakan akun media sosial palsu atau mengatasnamakan orang lain. Kedua, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian menggunakan akun asli. Ketiga, menerima siaran kabar bohong dan ujaran kebencian, kemudian menyebarkannya kembali, antara lain karena terdorong rasa iseng.
Komisaris Khaerudin, Kepala Unit 3 Subdirektorat IV/Tindak Pidana Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, mencontohkan, penyebaran ujaran kebencian oleh akun media sosial asli dan dibuat sendiri oleh si pemilik akun. Seorang tersangka berinisial NA pada 6 April mengunggah narasi di Facebook, berbunyi: ”Drpd dokter2, lbh baik presiden aja yg meninggal, krn presiden lbh mudah dpt gantinya apalagi saat ini manfaatnya kecil se-X.”
”Alasannya, karena dia melihat di media sosial banyak dokter yang sudah meninggal akibat Covid-19,” ujar Khaerudin. Petugas dari Subdit Tipid Siber kemudian menangkap NA pada Selasa (28/4) di Jakarta Selatan karena diduga menghina Presiden. Tersangka ditahan di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya.
Yusri menyebutkan, ancaman hukuman penjara terhadap para tersangka beragam, dan ada yang terancam dibui sampai 10 tahun. Polisi menjerat mereka dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 1/1946 tentang Peraturan hukum Pidana, serta Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Meski demikian, Yusri menjamin asas praduga tak bersalah tetap dijalankan. Petugas dalam penyidikan bakal meminta keterangan para saksi ahli, di antaranya ahli bahasa serta ahli informasi dan transaksi elektronik.
Keresahan dan kepanikan yang ditimbulkan oleh kabar bohong terkait Covid-19 menambah beban masyarakat yang sudah terdampak oleh pandemi saat ini. Pendiri Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Harry Sufehmi, memberi tips sederhana agar publik tidak mudah terpengaruh kabar yang diterima, yaitu selama kabar yang diterima belum jelas sumbernya dan hanya merupakan pesan yang diteruskan, warga sebaiknya memosisikan kabar itu sebagai hoaks sampai terbukti sebaliknya. Fakta adalah kunci.