Transportasi Krusial dalam Persebaran Covid-19, Perbesar Kontrol Pemerintah
Transportasi memegang peranan krusial dalam penyebaran Covid-19. Seiring dibukanya kembali transportasi sejak 7 Mei 2020, kontrol pemerintah diharapkan selalu hadir dan lebih besar.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
Transportasi adalah titik yang paling krusial dalam penyebaran Covid-19. Menjelang Lebaran, pergerakan orang diprediksi tidak bisa dikendalikan. Usulan untuk tidak menyerahkan sepenuhnya kontrol transportasi kepada swasta mengemuka. Sebab, dari pengalaman selama ini, masih ada celah bagi pengelola transportasi melanggar ketentuan pembatasan kapasitas.
Saat memberikan pemaparan dalam kegiatan seminar daring, Sabtu (16/5/2020), Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Regional Jawa Barat Sonny Sulaksono Wibowo mengajak semua pemangku kepentingan untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan kebijakan pembukaan kembali transportasi umum.
Menurut Sonny, transportasi merupakan titik yang paling krusial dalam penyebaran Covid-19. Wabah yang pertama kali dilaporkan muncul di Wuhan, China, tersebut menyebar ke seluruh dunia melalui orang-orang yang bepergian menggunakan transportasi.
Kondisi itu yang kini dikhawatirkan Sonny menjelang Idul Fitri. Sebab, tren masyarakat untuk bepergian bakal meningkat. Ditambah lagi saat ini polisi telah mengungkap sejumlah modus operandi mudik secara ilegal. Sonny menilai pembatasan pergerakan orang adalah kunci untuk mencegah penyebaran virus.
”Ini mengkhawatirkan karena tren penularan di Indonesia belum menunjukkan penurunan. Kebijakan larangan mudik harus ditegakkan secara maksimal,” ujar Sonny dalam seminar bertajuk ”Pengelolaan Transportasi dalam Pengendalian Covid-19” yang dihelat Universitas Gunadarma di Jakarta. Selain Sonny, hadir dalam seminar itu Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (Balitbanghub) Umiyatun Trihayati Astuti.
Kendati pelarangan mudik masih berlaku, pemerintah kembali membuka transportasi umum. Kebijakan itu untuk memberikan kesempatan bepergian bagi pekerja yang masuk dalam sektor yang dikecualikan.
Sonny menyoroti kebijakan tersebut. Menurut dia, saat ini, moda transportasi yang digunakan mengangkut pekerja yang dikecualikan itu dilepas sepenuhnya kepada swasta. Kontrol pemerintah terhadap para pekerja yang akan bepergian itu hanya sebatas pada pemeriksaan surat.
Agar tidak ada yang coba-coba melanggar peraturan dan mudik Sonny mengusulkan sebaiknya pemerintah mengontrol penuh moda transportasi dan tidak diserahkan sepenuhnya kepada swasta.
Sebab, celah bagi warga yang memanfaatkan pelonggaran itu selalu terbuka. Ia mencontohkan, aturan kapasitas maksimal penumpang pesawat sebesar 50 persen sangat mudah dimanipulasi pihak maskapai.
”Karena swasta itu tentu tujuannya mencari profit. Kalau dibatasi 50 persen dari kapasitas maksimal pesawat, tidak akan mencapai keuntungan maksimal,” katanya.
Pemerintah bisa mengambil alih peran tersebut. Misalnya, dengan menunjuk Perum Damri sebagai operator dan melibatkan kendaraan operasional milik TNI dan Polri. Caranya bisa dengan apa saja, tapi intinya, kontrol pemerintah terhadap pergerakan penumpang transportasi mesti lebih besar.
”Selama transportasi tidak kita kontrol, maka virus akan sulit kita kendalikan. Di negara maju, angkutan transportasi bisa dikontrol dengan baik karena mereka semua dikelola oleh pemerintah. Di Indonesia, angkutan umum tidak semua dikelola pemerintah,” tutur Sonny.
Menanggapi usulan dari Sonny, Umiyatun Trihayati Astuti mengatakan, saran itu masih bisa didiskusikan. Ia menjelaskan, keputusan pemerintah untuk membuka kembali transportasi publik tidak bisa dilihat sebagai faktor yang berdiri sendiri. Menurut Umiyatun, permintaan terhadap transportasi masih ada karena pemerintah mengecualikan sejumlah sektor tetap bisa beroperasi di saat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
”Kalau demand enggak ada, supply pun tidak akan muncul,” katanya.
Pemerintah, kata Umiyatun, sangat menyadari potensi masyarakat untuk tetap mudik meski sudah ada larangan. Kondisi itu setidaknya tecermin dari survei daring yang dilakukan Balitbanghub pada Februari hingga awal Maret 2020.
Sebanyak 10.000 rumah tangga di Jabodetabek dilibatkan dalam survei. Saat itu, diperoleh hasil 56 persen masyarakat tidak ingin mudik, 7 persen sudah mudik, dan 37 persen akan mudik.
Namun, setelah adanya intervensi kuesioner kebijakan imbauan tidak mudik, potensinya berubah menjadi 80 persen tidak mudik, 13 persen bersikeras mudik, dan sisanya sudah mudik.
”Dari survei itu diperoleh kesimpulan, masyarakat besikeras tetap mudik walau pemerintah melakukan intervensi. Perlu upaya untuk mengantisipasinya,” ujarnya.
Antisipasi yang sudah dilakukan pemerintah di antaranya memperketat izin bagi penumpang moda transportasi, manajemen lalu lintas untuk arus balik, serta melakukan tes Covid-19 bagi masyarakat yang melakukan perjalanan balik.