Penderma ikut melawan virus korona baru. Mereka memasok kebutuhan alat pelindung diri untuk tenaga medis yang ada di garis depan penanganan pasien Covid-19.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany/RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
Tidak perlu ingar bingar. Mereka mulai dari diri sendiri, keluarga, dan komunitas kecil untuk membantu tenaga medis yang berada di garis depan penanganan pandemi Covid-19. Mereka hanya ingin bangsa ini selamat melewati pandemi.
Memoy Munajah (36) bersama delapan ibu rumah tangga tetap membuat pelindung wajah atau face shield di pekan ketiga Ramadhan. Ibu-ibu rumah tangga dari komunitas Homeschooling Charlotte Mason Tangerang Selatan, Banten, itu ingin pelindung wajah selalu tersedia ketika tenaga kesehatan membutuhkannya. ”Alhamdulillah, selama puasa, stok pelindung wajah tersedia,” tutur Memoy, Kamis (14/5/2020).
Permintaan pelindung tetap ada meski memasuki Ramadhan. Mau tidak mau, mereka berkejaran dengan waktu agar tersalur cepat ke pemesan. Contohnya, ketika ada permintaan 900 pelindung wajah, mereka langsung memesan 1.200 potong bahan baku agar bisa membuat lebih banyak untuk stok.
Aktivitas sembilan ibu rumah tangga ini bermula dari banyaknya permintaan bantuan alat pelindung diri untuk tenaga kesehatan dalam melawan pandemi Covid-19. Saat itu pelbagai informasi dalam pemberitaan dan media sosial mengangkat suara tenaga kesehatan yang kekurangan alat pelindung diri hingga terinfeksi SARS-Cov-2 penyebab Covid-19. ”Kami tidak mau diam di rumah saja. Berbekal uang kas komunitas, kami mulai belanja bahan-bahan pelindung wajah,” ucapnya.
Sejak awal April, mereka mengisi waktu di rumah saja dengan membuat alat pelindung wajah gratis. Tahap pertama, sebanyak 250 pelindung wajah tersalurkan. Hingga kini, sejumlah 2.800 pelindung wajah sudah tersalurkan ke rumah sakit, puskesmas, dan klinik.
Ada dua model pelindung wajah buatan mereka. Pertama, berbahan busa dengan biaya pembuatan Rp 3.000-Rp 3.500 per potong (tergantung kenaikan harga bahan baku). Kedua, berbahan impraboard atau material berongga yang lebih tahan lama dan bisa dipakai berulang kali dengan hanya mengganti plastik pelindungnya. Biaya pembuatannya Rp 10.000 per potong termasuk plastik pelindung pengganti.
Memoy dan komunitasnya tidak menghitung ongkos tenaga kerja karena tenaga mereka sepenuhnya didonasikan untuk sesama yang membutuhkan. ”Tenaga kami anggap donasi yang bisa diberikan,” ujarnya.
Mereka juga mengajak tetangga dan jejaring untuk bergerak bersama, terutama di daerah-daerah, karena cukup banyak permintaan pelindung wajah dari sana. Akhirnya, terbuka donasi umum untuk membantu pengadaan bahan baku pembuatan pelindung wajah.
Setiap donasi yang masuk dimanfaatkan agar aktivitas terus berlanjut. ”Aktivitas tidak akan berhenti selama masih ada yang membutuhkan pelindung wajah karena tidak tahu masa pagebluk ini akan berakhir kapan,” katanya. Salah satu donasi yang sudah tersalurkan ialah 180 alat pelindung diri.
Jejaring yang terbentuk juga saling membantu satu dan lain. Misalnya membantu pasokan bahan baku karena harga di Jakarta lebih murah dari daerah. Saat ini, jejaring di daerah yang sudah aktif membuat pelindung wajah, antara lain di Semarang, Gresik, Batam, dan Solok.
Salah satu warga yang tergerak membuat pelindung wajah untuk tenaga kesehatan ialah Dianda Azani. Warga Kalibata, Jakarta Selatan, itu mempelajari cara membuat dan melakukannya di sela-sela kegiatan mengajar dan konsultasi dengan klien. ”Saya merasa perlu melakukan sesuatu untuk mendukung upaya penanganan Covid-19 dari rumah,” ucap Dianda yang juga seorang psikolog.
Sejak April, ia sudah membuat 450 pelindung wajah yang disalurkan ke puskesmas ataupun warga sekitar yang membutuhkan. Adapun biaya awal pembuatan alat pelindung wajah itu dari kantong pribadi. Supaya kegiatan berkesinambungan, Dianda menjual satu pelindung wajah untuk setiap dua donasi pelindung wajah. Hasil penjualan digunakan untuk membeli bahan baku.
Kepedulian kepada nasib tenaga medis beralasan. Sebab, jumlah tenaga menis yang terpapar virus SARS-CoV-2 cukup banyak. Per 6 Mei 2020, menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, 38 dokter dan 17 perawat meninggal dunia karena Covid-19.
Di Purwokerto, Jawa Tengah, Brili Agung (29), seorang pengusaha, menyediakan kamar di Aksara Homestay miliknya secara gratis untuk tenaga medis. ”Mereka garda depan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Jika mereka tidak bisa istirahat, lantas sakit, siapa yang akan menangani pasien?” katanya.
Tak hanya itu, dia juga menyediakan makan tiga kali sehari dan vitamin untuk mereka. Selama melayani tenaga kesehatan, karyawan penginapan menerapkan protokol kesehatan (Kompas, Rabu 22 April 2020).
Di kalangan kampus, pandemi ini menggugah mahasiswa Universitas PGRI Palembang membuat pelindung wajah dari mika. Masker mika itu kemudian dikirim ke sejumlah fasilitas kesehatan tingkat pertama di Kota Palembang, Prabumulih, Muara Enim, Baturaja, dan Muara Dua (Kompas, 7 April 2020).
Gerakan serupa juga dilakukan Budhi Hermanto, seorang aktivis sosial di Yogyakarta. Budhi menggalang pembuatan baju alat pelindung diri (APD), bersama para penjahit di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Hingga, 17 Mei 2020, Budhi dan relawan yang membantunya sudah menyalurkan 19.376 baju hazmat, 4.460 alat pelindung wajah, 200 kacamata pelindung, dan 86 setel baju medis yang didistribusikan ke 230 fasilitas kesehatan se-Indonesia. ”Selama kami bisa dan ada yang membutuhkan, kami akan terus membantu tenaga medis,” kata Budhi. (BRO/REN/DRI)