Karyawan Tanggapi Beragam Aturan Jam Kerja Menjadi Dua Sif
Sebagian karyawan meyakini pengaturan jam kerja akan mampu mengurangi kerumunan calon penumpang angkutan umum. Sebaliknya, beberapa orang meragukan efektivitas aturan ini, terutama saat jam pulang kerja.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para karyawan menanggapi beragam pengaturan jam kerja di Jabodetabek menjadi dua sif untuk mengurai kerumunan penumpang di transportasi umum. Konfederasi Sarikat Pekerja Indonesia menyarankan agar karyawan bekerja di kantor secara bergilir.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengaturan Jam Kerja pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Covid-19 di Wilayah Jabodetabek. Surat Edaran ini ditujukan bagi instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta serta berlaku mulai Senin (15/6/2020).
Dalam surat edaran tersebut, instansi diminta mengatur jam masuk dan pulang pekerja menjadi dua sif, minimal dengan jeda waktu tiga jam. Pada sif pertama, pekerja masuk antara pukul 07.00-07.30 dan pulang pukul 15.00-15.30. Sif kedua masuk antara pukul 10.00-10.30 dan pulang pukul 18.00-18.30.
Para pekerja di Jabodetabek menanggapi surat edaran tersebut secara beragam. Meta (34), karyawan swasta di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, misalnya, menyambut baik surat edaran tersebut. Menurut dia, hal tersebut bisa menjadi solusi membeludaknya penumpang di sejumlah stasiun
”Balik lagi ke perusahaannya ya. Tetapi kalau saya sih setuju saja. Barangkali hal itu bisa mengurai antrean masuk stasiun,” katanya.
Meta yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, biasa menaiki KRL dari Stasiun Cakung, Jakarta Timur, menuju Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan. Selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, ia mengeluhkan antrean saat masuk ke stasiun pada saat berangkat ataupun pulang kerja.
”Meski sudah ada pembatasan jarak, tetap saja kita harus berdekatan dengan banyak orang dengan berbagai kondisi, terutama padat saat pulang kerja,” katanya sambil mengenakan pelindung wajah.
B Sarmin (59), karyawan swasta salah satu perusahaan di Pramuka, Jakarta Timur, juga setuju jika jam kerja karyawan dibagi menjadi dua sif mengingat setiap hari ia harus menggunakan KRL dari Stasiun Duri, Jakarta Barat, ke Stasiun Manggarai serta bus Transjakarta dari Halte Transjakarta ke Halte Transjakarta Pramuka LIA.
Menurut Sarmin, rencana tersebut sebenarnya sudah pernah menjadi wacana di perusahaannya. Skemanya, jam kerja para pekerja yang berusia di atas 45 tahun akan dibedakan dengan karyawan lain. ”Sudah pernah ada rencana seperti itu, tetapi belum terlaksana. Nantinya, orang-orang yang rentan seperti saya punya jam kerja khusus,” katanya saat ditemui di Jakarta, Senin.
Tak efektif
Dwi (33), karyawan swasta di kawasan Jakarta Pusat, meyakini, aturan jam kerja yang dirancang pemerintah tersebut tidak akan berjalan efektif. Keyakinannya didasari atas penerapan PSBB transisi dalam sepekan terakhir.
Meski pekerja yang masuk ke kantor sudah dibatasi 50 persen, penumpang terlihat bergerombol saat masuk stasiun ataupun di dalam KRL. ”Menurut saya, enggak efektif ya. Selama ini pekerja juga sudah dibatasi 50 persen, kan,” katanya.
Dwi berpendapat, lebih baik semua karyawan masuk seperti biasa, tetapi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Bukan hanya di transportasi umum, melainkan juga saat berada di kantor.
Hal yang sama diungkapkan oleh Tata (50), karyawan swasta di Jakarta Pusat. Menurut dia, aturan tersebut kemungkinan besar hanya ampuh mengurai kerumunan saat jam berangkat kerja. Ia tidak yakin hal yang sama akan berdampak pada saat jam pulang kerja.
”Kalau pulang kerja, kadang orang tidak langsung pulang. Artinya, mereka yang harusnya pulang pukul 15.00 bisa jadi pulang pukul 18.00. Ramai lagi, kan,” katanya.
Kalau pulang kerja, kadang orang tidak langsung pulang. Artinya, mereka yang harusnya pulang pukul 15.00 bisa jadi pulang pukul 18.00.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta agar pengaturan jam kerja bagi pekerja swata menggunakan format libur secara bergilir. Seperti yang saat ini sedang berjalan, separuh pekerja bekerja di rumah, separuhnya di kantor.
”Sebaiknya untuk perusahaan swasta diliburkan secara bergilir dengan tetap mendapatkan upah penuh. Misalnya minggu pertama sif satu masuk dan sif dua libur. Minggu selanjutnya sebaliknya,” katanya.
Dengan masuk secara bergilir, maka ekonomi akan tetap bergerak karena perusahaan bisa tetap berproduksi. Di sisi lain, pembatasan fisik tetap bisa diterapkan karena pekerja yang datang ke tempat kerja hanya setengahnya.
Menurut Iqbal, libur bergiliran tidak saja mengurangi kepadatan angkutan umum saat berangkat atau pulang kerja, tetapi juga saat di tempat kerja, seperti saat di dalam pabrik, di kantin, ataupun di tempat istirahat.
Dengan kata lain, pembatasan fisik harus dilakukan bukan saat berangkat atau pulang kerja, melainkan juga saat berada di dalam perusahaan atau tempat kerja. ”Tujuan libur bergilir ini sebagai salah satu upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 yang sampai saat ini kita belum mengetahui akan sampai kapan ditemukan vaksinnya,” katanya.
Sebelumnya, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, berdasarkan data moda transportasi KRL, lebih dari 75 persen penumpang KRL adalah para pekerja. Pekerja yang dimaksud adalah pekerja dari kalangan ASN, BUMN, dan swasta.
”Kalau kita perhatikan detail pergerakannya, hampir 45 persen mereka bergerak bersama-sama di sekitar pukul 05.30-06.30,” ujar Yurianto dalam konferensi pers di Media Center Gugus Tugas Nasional Jakarta, Minggu (14/6/2020).
Yurianto menilai, kondisi tersebut meningkatkan risiko penularan Covid-19 kepada para pekerja yang berangkat secara bersamaan pada jam yang sama. Untuk itu, Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 dikeluarkan. Adapun untuk kelompok rentan, tetap dianjurkan bekerja dari rumah.
”Kami harapkan semua institusi, baik dari pemerintah, BUMN, maupun swasta, tetap mempekerjakan pegawai yang memiliki risiko tinggi terpapar Covid-19 dari rumah,” ujarnya.
Menurut Yurianto, pekerja berisiko tinggi salah satunya ialah mereka yang memiliki penyakit komorbid. Penyakit tersebut, antara lain, hipertensi, diabetes, ataupun kelainan penyakit paru obstruksi menahun.