Selama 3 Tahun, Terjadi 225 Kasus Pemerkosaan pada Anak di Aceh
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh mencatat, sepanjang 2016-2018 terjadi 225 kasus pemerkosaan terhadap anak. Kondisi ini menunjukkan perlindungan terhadap anak masih lemah.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh mencatat, sepanjang 2016-2018 terjadi 225 kasus pemerkosaan terhadap anak. Kondisi ini menunjukkan perlindungan terhadap anak masih lemah.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh Nevi Ariani seusai perayaan Hari Anak Nasional di Banda Aceh, Kamis (8/8/2019), menuturkan, kasus pemerkosaan terhadap anak di Aceh masih tinggi. Pelaku pemerkosaan kebanyakan orang terdekat korban, seperti teman bermain, saudara, guru, bahkan orangtua korban.
Nevi mengatakan, selama ini penindakan hukum terhadap pelaku masih ringan sehingga tidak memberi efek jera. Sebagian pelaku kasus pemerkosaan terhadap anak ditindak menggunakan kanun/perda dengan hukuman 100 kali cambuk. Seharusnya, kata Nevi, pelaku dihukum pasal berlapis, yakni cambuk dan kurungan, sesuai UU Perlindungan Anak.
Sebagian pelaku kasus pemerkosaan terhadap anak ditindak menggunakan kanun/perda dengan hukuman 100 kali cambuk. (Nevi Ariani)
Pihaknya mendesak aparat penegak hukum menjatuhkan hukuman berat karena kejahatan terhadap anak adalah kejahatan luar biasa. Korban sangat tertekan dan mengalami trauma. ”Pemerintah bertanggung jawab memulihkan trauma korban. Kami mendampingi korban sampai pulih karena masa depan korban masih panjang,” ujar Nevi.
Selain kasus pemerkosaan, kekerasan terhadap anak di Aceh juga tinggi, seperti kekerasan fisik, psikis, pelecehan seksual, sodomi, dan penelantaran. Sepanjang 2016-2018 jumlah kasus kekerasan terhadap anak di provinsi itu mencapai 3.515 kasus.
Ada pembiaran
Ketua Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh Muhammad mengatakan, pendampingan terhadap anak korban pemerkosaan belum maksimal disebabkan kuranganya tenaga psikolog. Beberapa korban dititipkan ke pantai asuhan, akan tetapi di lingkungan sebelumnya, korban tetap mendapatkan stigma buruk.
”Padahal, dia adalah korban yang seharusnya dilindungi, bukan sebaliknya,” katanya.
Muhammad menambahkan, pengalamannya dalam mendampingi korban menunjukkan, sejak awal, kasus pemerkosaan telah diketahui keluarga. Namun, ada usaha menutupi kasus itu karena adanya anggapan kasus pemerkosaan adalah aib bagi keluarga. Kasus baru mencuat ketika kondisi korban kian parah.
Ada pembiaran yang dilakukan keluarga. (Muhammad)
”Ada pembiaran yang dilakukan keluarga, padahal jika sejak awal dilaporkan (keparahan) bisa dicegah,” kata Muhammad. Sikap pembiaran itu terjadi karena pengetahuan keluarga dalam mendidik anak masih rendah. Muhammad berharap, perangkat desa lebih berperan lagi mengawasi warganya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Aceh Rosalina Rasyid mengatakan, pemerintah belum optimal mendampingi anak korban kekerasan. ”Belum ada pendampingan jangka panjang, terutama pemulihan psikis,” kata Rosalina.
Selain itu, korban kekerasan seksual kerap mendapatkan tekanan sosial dari lingkungan, bahkan keluarganya. Situasi itu membuat korban memilih bungkam dan tidak berani melapor. Dalam waktu yang lama, pembungkaman itu akan membuat korban merasa kehilangan kepercayaan diri dan menghambat tumbuh kembangnya.
”Korban butuh dukungan dari semua pihak. Saat ini belum ada kebijakan komprehensif untuk penanganan korban kekerasan seksual,” kata Rosalina.
Anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Faisal Ali mengatakan, perlu penguatan ilmu agama dan pendidikan pola mengasuh anak kepada keluarga.