Pemahaman kesehatan reproduksi para penyandang disabilitas berusia remaja di Bali belum maksimal. Beberapa survei yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat menunjukkan pemahaman mereka tentang reproduksi rendah.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Pemahaman kesehatan reproduksi para penyandang disabilitas berusia remaja di Bali belum maksimal. Beberapa survei yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat menunjukkan pemahaman mengenai pengetahuan reproduksi mereka masih rendah.
Rendahnya pemahaman ini diduga karena belum adanya modul yang dijadikan pegangan orangtua ataupun pendamping penyandang disabilitas, terutama untuk disabilitas intelektual. Karena itu, modul kesehatan reproduksi diperlukan sebagai pedoman dalam proses belajar-mengajar di sekolah ataupun di rumah.
Anggota Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Crist Wulandari, mengatakan, tidak mudah menyusun modul khususnya bagi penyandang disabilitas intelektual. ”Modul mengenai kesehatan reproduksi untuk penyandang disabilitas pembahasan dan penyusunannya sudah berjalan selama dua tahun ini. Akan tetapi, penyusunan modul untuk orangtua dan pengasuh atau pendampingnya memang tidak mudah,” tutur Wulandari, di Denpasar, Jumat (1/11/2019).
Ia menjelaskan, modul penting disusun untuk memberikan panduan pendidikan reproduksi dan seksualitas bagi penyandang disabilitas praremaja serta remaja. Bagi orangtua, modul memberikan panduan sebagai bekal mempersiapkan diri dan mengantisipasi hal-hal yang terjadi saat anak-anak penyandang disabilitas ketika memasuki fase pubertas.
”Hanya saja, penyandang disabilitas ini tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya, seperti tunarungu, netra dan disabilitas intelektual. Nah, disabilitas intelektual ini kelompok rentan terkait pemahaman reproduksi. Semoga modul yang sudah disusun selama dua tahun ini bisa segera mendapatkan pengesahan,” tuturnya.
Pendekatan kesehatan reproduksi kepada penyandang disabilitas belum maksimal.
Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana (PKBI) Bali Komang Sutrisna mengatakan, pendekatan kesehatan reproduksi kepada penyandang disabilitas belum maksimal. Bahkan, lanjutnya, ia bersama PKBI Bali masih sebatas mengamati di dua sekolah luar biasa di Badung dan Buleleng.
”Pengamatan di dua sekolah ini masih sederhana dan belum menggunakan buku panduan. Ya, harapan ke depan dapat lebih maksimal memberikan pemahaman kesehatan reproduksi kepada para penyandang disabilitas ini,” ujarnya.
Saat ini, PKBI Bali tengah membantu penelitian Global Early Adolescent Study (GEAS) di beberapa negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) termasuk Indonesia. GEAS merupakan bagian dari proyek Explore for Actions (E4A) di Indonesia yang bertujuan mengumpulkan bukti faktor-faktor yang mendorong perilaku seksual yang sehat pada remaja awal. Hasil penelitian akan digunakan sebagai bahan advokasi bagi pengambil kebijakan.
Komang menjelaskan, pengumpulkan data dilakukan menggunakan gawai. Hasil dari GEAS diharapkan dapat menjadi dasar bagi akademisi dan pengambil kebijakan untuk merumuskan rekomendasi program dan kegiatan di masa mendatang.
Penelitian GEAS menggunakan desain longitudinal kuasi eksperimental yang membandingkan kelompok intervensi dan kontrol di tiga area, yaitu Lampung (Pulau Sumatera), Denpasar (Pulau Bali), dan Semarang (Pulau Jawa). Tiga wilayah geografis yang berbeda dipilih untuk melihat, antara lain, bagaimana konteks lokal yang beragam mempengaruhi norma dan perilaku serta bagaimana gaya konseling yang dilakukan.
Rencana pengumpulan data dilaksanakan pada 2018, 2020, dan 2021 yang meliputi data kekerasan berbasis gender pada remaja, pemberdayaan, seksualitas sehat, hubungan, dan perilaku seksual. Sebanyak 4.681 anak kelas 7 dari 18 sekolah menengah pertama terlibat dalam penelitian ini. Adapun responden di Denpasar sebanyak 1.752 anak.
Hasil penelitian pada 2018 di antaranya menunjukkan, remaja laki-laki memiliki pengetahuan kesehatan reproduksi yang lebih baik dibandingkan dengan remaja perempuan. Selain itu, ada sebanyak 98,6 persen remaja yang belum pernah berhubungan seksual. Bagi mereka yang pernah melakukannya, alasan paling banyak yang disampaikan adalah sebagai bentuk ekspresi cinta, diikuti kemudian oleh rasa penasaran dan kewajiban kepada pasangan.
Selanjutnya televisi dan media sosial sering kali diakses oleh lebih dari 94 persen remaja, baik laki-laki maupun perempuan, dengan durasi akses paling banyak adalah kurang dari 2 jam per hari. Sebanyak 9 dari 10 remaja memiliki gawai, sebanyak 74,6 persennya dipakai untuk keperluan berkirim pesan setiap hari.
Selain komunikasi, media itu juga dimanfaatkan beberapa remaja untuk mengakses pornografi. Pengalaman ini dilaporkan oleh setidaknya 16,3 persen remaja. Akses remaja laki-laki terhadap konten pornografi tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan remaja perempuan.