Menjelang memasuki musim hujan, warga sejumlah daerah di Jawa Tengah, khususnya yang bermukim di sekitar perbukitan, diminta waspada. Warga di daerah-daerah tersebut perlu memahami tanda-tanda alam.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Menjelang memasuki musim hujan, warga sejumlah daerah di Jawa Tengah, khususnya yang bermukim di sekitar perbukitan, diminta waspada. Warga di daerah-daerah tersebut perlu memahami tanda-tanda alami yang yang menunjukkan potensi tanah longsor.
Berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jateng, sejumlah wilayah rawan longsor, antara lain bagian selatan Kabupaten Batang, Pekalongan, dan Pemalang. Juga, sebagian wilayah Kabupaten Brebes, Purbalingga, Banjarnegara, dan Magelang.
Kepala Dinas ESDM Jateng Sujarwanto di Kantor Gubernur Jateng, Kota Semarang, Rabu (13/11/2019), mengatakan, salah satu tanda alam yang perlu diwaspadai ialah munculnya retakan tanah di wilayah puncak. Apabila ada fenomena seperti itu, titik retakan agar segera ditandai.
”Apabila terjadi hujan lebih dari dua jam dan muncul mata air baru di kaki lereng, tidak ada kata lain, warga harus mengungsi ke tempat aman. Sosialisasi akan terus kami lakukan. Warga juga dipersilakan melapor kepada pemerintah melalui berbagai kanal yang ada,” ujar Sujarwanto.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hampir setiap tahun, di Jateng, tanah longsor nyaris selalu terjadi lebih dari 100 kali setiap tahun. Pada 2017, terjadi 488 kejadian tanah longsor atau yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Sementara pada 2018 ada 153 kejadian.
Apabila terjadi hujan lebih dari dua jam dan muncul mata air baru di kaki lereng, tidak ada kata lain, warga harus mengungsi ke tempat aman. Sosialisasi akan terus kami lakukan. Warga juga dipersilakan melapor kepada pemerintah melalui berbagai kanal yang ada.
Sujarwanto menuturkan, pihaknya sudah mengirimkan surat edaran ke 35 kabupaten/kota di Jateng untuk segera melakukan tindakan mitigasi. ”Terutama untuk permukiman-permukiman di wilayah lereng curam. Waspada jika hujan turun lebih dari dua jam,” katanya.
Sebelumnya, Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng Sudaryanto memperkirakan, 642.000 keluarga dari 342 kecamatan di 30 kabupaten/kota di Jateng terancam bencana tanah longsor. Pelatihan mitigasi bencana terus dilakukan (Kompas, 26/10).
Potensi banjir
Selain longsor, bencana banjir selama musim hujan di Jateng juga diwaspadai. Sebab, ada 202 sungai di Jateng yang berpotensi membawa aliran air dengan berbagai volume. Potensi banjir makin besar apabila sedimentasi dan sampah di sungai-sungai tersebut menghalangi laju air ke hilir.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Jateng Eko Yunianto menyatakan, lewat koordinasi antar-instansi, disiapkan 12 posko banjir di Jateng, termasuk di enam balai, antara lain di Kudus, Tegal, Solo, dan Banyumas. ”Namun, yang paling utama ialah konservasi. Kesadaran masyarakat untuk menjaga sungai penting,” katanya.
Menurut analisis curah hujan Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Semarang pada 1-0 November 2019, sejumlah daerah dengan tingkat curah hujan tinggi (di atas 300 mm) adalah di sebagian Banyumas, Wonosobo, dan Demak. Sementara daerah dengan curah hujan rendah (0-10 mm) di antaranya di Brebes, Kendal, Klaten, dan Wonogiri.
Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Klimatologi BMKG Semarang Iis W Harmoko mengatakan, kondisi cuaca di Jateng saat ini menyerupai kondisi peralihan musim. ”Hujannya masih lokal dengan intensitas sedang-lebat. Lalu durasi pendek disertai angin kencang dan petir. Untuk perkiraan masuk musim hujan masih kami analisis,” katanya.