Banyak Kasus Kekerasan Perempuan Terhenti Setelah Dilaporkan
Lembaga swadaya masyarakat Swara Parangpuan mencatat, terjadi 174 kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Utara selama 2019. Namun, lebih dari 70 persen atau 124 kasus mandek hanya di tingkat pelaporan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Lembaga swadaya masyarakat Swara Parangpuan mencatat, 174 kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Utara selama 2019. Namun, lebih dari 70 persen atau sebanyak 124 kasus mandek hanya di tingkat pelaporan polisi. Biaya yang ditanggung pelapor dinilai terlalu tinggi sehingga pelaku melenggang bebas.
Hal ini terungkap dalam diskusi ”Catatan Tahunan Situasi Kekerasan terhadap Perempuan di Sulut” yang digelar Swara Parangpuan di Manado, Sulawesi Utara, Selasa (10/12/2019). Swara Parangpuan adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Diskusi itu juga menghadirkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) serta Kepolisian Daerah Sulut.
Kepala Program Swara Parangpuan Mun Djenaan mengatakan, jumlah laporan kekerasan terhadap perempuan yang diterima lembaganya menurun selama tiga tahun berturut-turut. Dari 72 kasus pada 2017, jumlah kasus menjadi 55 kasus pada 2018 dan 52 kasus pada 2019. Hal ini karena semakin banyak lembaga lain yang menerima laporan, seperti DP3A dan kepolisian.
Sebanyak 33 persen laporan diterima di Manado, sedangkan 29 persen di Kabupaten Minahasa Selatan. ”Memang tingkat kekerasannya paling tinggi di dua wilayah itu. Tetapi, ini berarti masyarakatnya juga paling terliterasi sehingga berani melapor,” kata Mun.
Meski jumlah laporan menurun, total kasus kekerasan terhadap perempuan di Sulawesi Utara masih mencapai 174 kasus. Kasus-kasus itu terbagi menjadi beberapa bentuk, yaitu 25 kasus penelantaran, 36 kekerasan fisik, 48 kasus kekerasan psikologis, dan 69 kekerasan seksual.
”Ada tiga korban yang mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Saat ada kekerasan seksual, biasanya berlapis dengan kekerasan fisik dan psikologis,” kata Mun.
Ironisnya, hanya 13 dari 174 laporan yang berakhir dengan hukuman penjara bagi pelaku kekerasan, sedangkan 124 atau 72 persen dari total laporan tak dilanjutkan di tingkat kepolisian. Penyebabnya adalah ketiadaan bukti.
”Ini menunjukkan betapa sulitnya perempuan mengakses hukum. Selain sulitnya menemukan bukti kekerasan, terutama untuk kekerasan psikis, kasus sering tak dilanjutkan jika pelaku masuk DPO (daftar pencarian orang),” kata Mun.
Menurut dia, klien-klien yang kaya bisa langsung meminta bantuan pengacara. Namun, tidak begitu halnya dengan klien-klien yang kurang mampu secara ekonomi. Biaya visum untuk menemukan bukti kekerasan belum dianggarkan di APBD sehingga biaya membengkak.
Biaya visum untuk menemukan bukti kekerasan belum dianggarkan di APBD sehingga biaya membengkak.
Selama tiga tahun saja, kata Mun, Swara Parangpuan menggelontorkan Rp 261 juta untuk pendampingan para pelapor. Biaya mengakses hukum mencapai Rp 90 juta, sedangkan sisanya untuk mengakses layanan medis dan psikologis serta rehabilitasi sosial.
”Karena biaya yang besar ini, akhirnya banyak perempuan yang putus asa dan menghentikan tuntutannya,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan DP3A Everdien Kalesaran mengatakan, dinasnya bertugas melindungi perempuan dan anak, meningkatkan kesetaraan jender, melindungi hak perempuan, hingga memenuhi hak anak. Hal ini sudah dilakukan dengan membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).
Selama Januari hingga 9 Desember 2019, total 105 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak telah diselesaikan, baik dengan putusan pidana maupun mediasi. Sebanyak 19 kasus melibatkan korban perempuan dewasa, sedangkan 86 kasus lain melibatkan korban anak laki-laki dan perempuan.
Di saat sama, 80 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih menanti diselesaikan. Kasus-kasus ini mencakup tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sepanjang 2019 ada tujuh laporan TPPO yang diterima P2TP2A, semua korban anak perempuan.
Dua kasus di antaranya merupakan laporan dari Swara Parangpuan, yaitu anak-anak yang diperdagangkan di Pulau Kei, Maluku. Namun, pemulangan terhambat karena P2TP2A tidak punya cukup dana. ”Dana kami terbatas, tidak sampai Rp 10 miliar,” kata Everdien.
Sementara itu, Perwira Unit I Subdirektorat IV Polda Sulut Inspektur Dua Feriantina Dwi Arahmayani mengatakan, beberapa kasus memang tidak bisa dilanjutkan. Sebab, pelaporan tindak pidana membutuhkan bukti dan saksi ahli. Di sisi lain, Feriantina mengakui, masih banyak polisi di tingkat sektor yang tidak mengerti cara menangani pelaporan kekerasan seksual.
Terkait hal itu, Mun Djenaan menyatakan pentingnya visum psikologis pada perempuan dan anak korban kekerasan. Di samping itu, ia mendesak Rancangan Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan.