Pertemuan Berkesan dengan Para Pemenang Kehidupan
Baru-baru ini saya seperti kembali mendapat suntikan semangat di tengah carut-marut situasi ke-Indonesiaan dan dunia jurnalistik tanah air, yang entah ke mana akan berujung.
Ini bermula saat saya bertemu dengan mereka, para pemenang kehidupan, yang teguh menggenggam nilai-nilai kemanusiaan tanpa batas, tanpa sekat-sekat perbedaan.
Saya bertemu teman-teman Komunitas Rumah Sahabat di rumah kontrakan mereka, Selasa (17/12/2019) sekitar pukul 10.00 WIB. Sehari sebelumnya, saya mengontak Rofi, anggota komunitas tersebut melalui pesan Whatsapp (WA).
“Janjian sama mereka lewat Rofi saja, Mbak. Dia yang punya WA. Kalau Mas Agung dan Yudi tidak punya,” demikian pesan kawan saya, Mas Ugik Arbanat, berbulan-bulan lalu.
Ya, saya tahu kisah Agung dan Yudi dari Mas Ugik, musisi sekaligus narasumber. Info itu saya dapat sejak berbulan-bulan lalu. Namun saya baru berkesempatan menemui mereka baru-baru ini.
Saya mengirim WA ke nomor Rofi dan menanti jawabannya. Meski pesan sudah terbaca, saya masih harus menunggu cukup lama hingga akhirnya pesan dijawab. "Ah, mungkin mereka sedang sibuk. Baiklah, saya tunggu saja," pikir saya saat itu.
Agak sore, pesan saya baru dibalas. Saya pun kemudian minta izin untuk menelepon dengan pertimbangan membuat janji akan lebih mudah lewat komunikasi langsung, ketimbang hanya bercakap via pesan singkat.
Esok harinya, sesuai jam janjian, saya datang ke rumah kontrakan dimaksud. Lokasinya masuk ke dalam gang, di antara deretan rumah yang memanjang ke belakang.
Saya sempat bertanya kepada pemilik rumah di deretan terdepan, di mana rumah yang ditempati Rofi. Si ibu dengan sigap menunjukkan arah rumah dimaksud. “Oh, yang itu ya..,” kata si ibu tanpa menyelesaikan kalimatnya.
Dia langsung menunjukkan rumah yang saya cari. Ternyata letaknya di ujung belakang. Di depan rumah bercat oranye, saya mengucap salam yang lalu dibalas oleh seseorang dari arah dalam.
Orang itu keluar dengan langkah pelan-pelan, sambil sedikit meraba-raba sekitar. Saya langsung paham bahwa orang tersebut difabel netra.
“Ayo silakan masuk, silakan duduk. Saya Yudi,” ucap pria itu tersenyum sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.
“Oh, ini Mas Yudi,” kata saya lalu memperkenalkan diri. Rupanya dialah Sugeng Wahyudi, salah satu orang yang saya cari. Saya sempat bercerita, saat membuat janji saya menghubungi Rofi.
Baca juga: Stigma Mendorong Saya Meliput tentang Prostitusi
Tak lama kemudian, keluar seorang lainnya dengan gerak tubuh serupa, yaitu berjalan pelan sambil sedikit meraba-raba tembok. Yudi mengenalkannya sebagai Rofi.
Hah! saya langsung terperangah. Rupanya orang yang saya ajak berbalas pesan WA kemarin adalah difabel netra. Rofi bisa membaca dan membalas pesan WA karena menggunakan aplikasi khusus yang mengubah teks menjadi suara. Ada rasa bersalah dan tak enak, karena saya sempat merasa kesal kenapa WA saya tidak cepat ditanggapi.
Namun, rasa kaget saya cepat teralihkan karena Yudi langsung mengajak ngobrol. Lelaki berwajah Papua kelahiran Blitar itu sangat ceria. Hampir di setiap obrolan dia akan tersenyum lebar.
Bahkan, dengan santainya ia melontarkan guyonan pada teman-temannya. Termasuk, menertawakan kisah hidupnya yang sama sekali belum pernah menginjakkan kaki ke tanah Papua, tanah asal bapaknya.
Baca juga: Jatuh Terjengkang Saat Liputan Maraton
Tak lama kemudian datang Akhiles Alokako, "bapak" dari para difabel di rumah itu. Akhiles sempat menanyakan tanda pengenal pers dan meminta saya untuk mengisi buku tamu. Semacam prosedur ramah tamah untuk saling mengenal dan mengakrabkan diri.
Obrolan pun kemudian mengalir tentang bagaimana komunitas Rumah Sahabat terbentuk. Kelima penghuni rumah itu satu persatu memperkenalkan diri, termasuk Agung Widiantoko, sahabat Yudi.
“Bagi kami, cinta Pancasila dan NKRI tidak usah dengan banyak omong. Kami lakukan yang kami bisa, ya dengan seperti ini,” kata Akhiles.
Fokus utama liputan saya saat itu adalah memastikan kisah persahabatan Agung (difabel daksa yang seorang muslim) dan Yudi (difabel netra beragama Katolik), yang menjadi gambaran nyata sikap toleransi.
Agung setiap hari Minggu akan mengantarkan Yudi pergi ke gereja untuk mengikuti misa. Sebaliknya, Yudi akan mengantar Agung untuk Sholat Jumat setiap pekannya.
Masing-masing akan menunggui temannya hingga selesai beribadah. Agung menjadi ‘mata’ Yudi dan Yudi menjadi ‘kaki’ Agung. Dengan saling membantu dan melengkapi seperti itu, keduanya bisa sama-sama menjelajahi ‘dunia’ yang lebih luas. Tidak hanya terkurung di dalam kontrakan, meski perjalanan hanya bisa dengan berjalan kaki.
Baca juga: Bergulat dengan Bau Menyengat di Pesisir Karawang
Mereka bahkan sanggup berjalan kaki hingga Blitar yang berjarak 60 km dari rumah kontrakan untuk berjualan kerupuk. Berdagang kerupuk memang menjadi pekerjaan tetap mereka yang dilakukan dengan berjalan kaki.
Di tengah kisah luar biasa itu, saya pun bertanya. Bagaimana mereka bisa punya pikiran saling melengkapi?
“Kami mungkin disabilitas fisik, tapi tidak hati dan pikiran kami. Kenapa saya mau mengantar Mas Agung dan sebaliknya, ya, karena kami butuh dan bisa saling melengkapi. Saya tidak tahu bagaimana jadinya kalau tanpa Mas Agung,” kata Yudi.
“Begitu pun saya, tidak tahu apa bisa pergi ke mana-mana tanpa Yudi. Sebelum dengan Yudi, saya jalannya sama Rofi. Jadi dengan siapa saja yang bisa. Minta tolong orang lain belum tentu mereka mau, termasuk mereka yang seagama,” timpal Agung.
Baca juga: Geleng-geleng Dibuai Diva Tarling Dangdut Pantura
Di sela-sela obrolan, canda tawa dan saling ejek terus dilakukan satu sama lain. Tak ada rasa marah. Bahkan, saya yang selama ini dikenal sangat cengeng dan gampang terharu, nyaris tidak sempat merasa sedih.
Bukannya saya tidak tersentuh. Melainkan saya tidak sempat menangis, karena berganti dengan takjub tak terkira.
Begitu banyak hal-hal luar biasa yang saya peroleh dari setiap obrolan. Mulai dari cara mereka memaknai hidup, yang menurut saya di atas rata-rata kebanyakan orang, hingga perjuangan mereka untuk terus bertahan di tengah cepatnya gerak kehidupan.
Patungan
Tak lama, datang kawan difabel netra lain asal Kepanjen bernama Halim. Saat jeda bicara dengan saya, Akhiles ganti berbicara dengan Halim. Saat itu, kami semua duduk di lantai rumah kontrakan yang sewanya selama dua tahun dibiayai oleh pasangan artis Baim Wong dan Paula Verhoeven.
Rupanya, hari itu, mereka punya janji bertemu untuk membahas rencana pembelian mobil. Halim yang piawai soal jual beli mobil, dipercaya oleh Akhiles dan kawan-kawan untuk membeli mobil yang diharapkan bisa membawa seluruh rombongan difabel tersebut.
Baca juga: Terkesima Xanana Gusmao nan Flamboyan
Mereka butuh kendaraan yang bisa mengangkut semuanya sekaligus saat harus memenuhi panggilan pentas. Mereka tidak ingin lagi merepotkan teman atau bergantung pada angkutan umum.
“Harga mobil sebenarnya di atas itu, tapi karena penjualnya sedang butuh, ia lepas dengan harga Rp 10 juta. Kata Pak Akhiles. dari patungan teman-teman terkumpul Rp 7,5 juta. Tidak apa-apa nanti kita hutang dahulu sisanya. Yang punya mobil teman saya,” kata Halim.
Pembicaraan berlangsung di depan saya. Sehingga saya ikut mendengar kekhawatiran mereka bahwa jika uang Rp 7,5 juta diambil sekaligus, maka uang kas mereka akan habis.
“Tidak apa-apa tidak ada uang sama sekali di tabungan? Nanti untuk bayar biaya administrasinya bagaimana?” tanya Akhiles pada Halim.
“Tidak apa-apa, nanti kalau ada uang kita setor saja Rp 100.000 untuk biaya administrasi bank,” kata Agung menimpali.
Selama jeda mendengarkan pembicaraan mereka itulah, pelupuk mata saya mulai menggenang. Saya merasa ditampar habis-habisan oleh mereka, soal tulusnya persahabatan, relasi umat beragama, kerukunan, hingga masalah uang dan pendapatan. Mereka yang hidupnya serba terbatas, justru bisa punya pandangan tak berbatas.
Baca juga: Berdamai dengan Darah Korban Kecelakaan
Hati saya serasa teriris-iris melihat fakta mereka sangat optimistis memandang hidup. Bahwa ke depan, mereka pasti akan mendapat rezeki untuk mengisi tabungan mereka lagi.
Jika saja genangan air mata tidak cepat-cepat saya hapus, maka dapat dipastikan tangisan akan tumpah dan justru membuat situasi tidak nyaman karena mereka adalah penyandang disabilitas yang tidak ingin dikasihani dengan kondisi fisiknya.
Mereka hanya ingin diberi ruang dan kesempatan untuk berkarya, membuktikan bahwa mereka juga bisa seperti non-disabilitas. Bagi saya, mereka lah pemenang kehidupan sesungguhnya.
Setelah merasa cukup memperoleh data dan foto, saya pun pamit pulang karena masih ada tugas liputan lain. Kami bersalaman satu persatu. “Nanti kalau kantornya Mbak butuh pemain musik, bisa sewa kami. Main musik tidak harus yang cantik dan seksi saja kan?” kata Yudi sambil tergelak bercanda.
Baca juga: Perjuangan Jurnalis yang Menjadi Ibu Menyusui
Saya pun tertawa, meski sebenarnya hati dan pikiran saya lagi-lagi tertampar oleh omongan mereka. Pertanyaan-pertanyaan seperti "mungkin tidak ya?" atau "gedung kantor ramah difabel tidak ya?". Itu semua seakan menusuki hati dan pikiran.
Komik
Saat mengetik kisah mereka keesokan harinya di kantor, saya meneteskan air mata. Kali ini tangisan tidak saya tahan-tahan dan saya biarkan mengalir bersama tulisan.
Saya ingin menyelami kebesaran hati dan pikiran Agung, Yudi, Akhiles, serta kawan-kawan komunitas Rumah Sahabat dengan sebebas-bebasnya. Hari itu masih sangat pagi, pukul 07.00 WIB, belum ada orang di kantor. Jadi saya rasa tak akan ada yang melihat saya menangis.
Saya lalu berkomunikasi dengan Ketua Tim Liputan Natal Kompas, jurnalis Irma Tambunan, soal tulisan itu. Namun, saya baru berani mendaftarkan dan mengirimnya setelah tulisan benar-benar selesai. Irma mengatakan akan mengusulkan tulisan itu untuk edisi Kompas Minggu, saat orang membacanya dengan lebih santai dan berlama-lama.
Setelah tulisan tayang hari Minggu (22/12/2019), banyak orang mengapresiasinya. Mereka menandai saya di unggahan media sosialnya. Banyak juga yang meneruskan berita itu ke berbagai grup.
Baca juga: Kisah Para Pemenang Kehidupan
Tangisan saya kembali tak terbendung, saat tahu tulisan saya disadur menjadi kisah komik Gump n Hell oleh Errik Irwan. Komik indah itu disukai dan diteruskan ke mana-mana.
Setiap membaca panel-panel komik itu, saya selalu terharu. Beberapa warganet menyebut kisah mereka mirip dengan dua sahabat, Muhammad (muslim) dan Samir (nasrani), penyandang disabilitas penjual kopi di Suriah yang saling bantu hingga akhir hayatnya.
Semua orang sepertinya rindu dengan keteladanan ala Yudi dan Agung, dua orang dengan keterbatasan, namun memiliki pemahaman hidup tak berbatas. Hubungan keduanya melampaui sekat perbedaan agama, suku, dan kondisi fisik.