Seluruh Kepala Daerah di NTT Diminta Siaga Hadapi Bencana
Gubernur Nusa Tenggara Timur mengirimkan surat edaran kepada para bupati dan wali kota se-Nusa Tenggara Timur untuk mempertegas komitmen penanggulangan bencana.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS - Gubernur Nusa Tenggara Timur mengirimkan surat edaran kepada para bupati dan wali kota se-Nusa Tenggara Timur untuk mempertegas komitmen penanggulangan bencana. Saat bencana melanda, tim reaksi cepat tanggap darurat bencana yang telah dibentuk di 21 kabupaten dan kota agar segera bertindak.
Kepala Dinas Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) Thomas Bangke di Kupang, Sabtu (4/1/2020) mengatakan, musim hujan di NTT hanya berlangsung tiga bulan, tetapi dampaknya selalu buruk. Setiap tahun selalu ada korban jiwa dan ternak serta kehancuran lahan pertanian, rumah hingga fasilitas umum.
“Surat edaran dari gubernur diharapkan mempertegas komitmen para kepala daerah menanggulangi bencana agar dapat mengurangi jumlah korban, harta benda, dan kerusakan lain,” kata Thomas. Dengan begitu, semua daerah di NTT tidak boleh lengah selama musim hujan.
Pos Komando (Posko) kebencanaan di setiap kabupaten/kota dan beberapa kecamatan rawan bencana harus diaktifkan 24 jam sehari. Daerah rawan bencana longsor dan banjir meliputi seluruh daratan Pulau Flores. Sementara Pulau Timor, Sumba, Rote, dan Pulau Sabu mayoritas rentan dilanda angin puting beliung. Adapun Pulau Lembata dan Alor, selain puting beliung, juga rawan longsor serta banjir.
Thomas mengatakan, sebagai provinsi kepulauan dengan 1.192 pulau, NTT juga selalu dihadapkan dengan gelombang tinggi dan angin kencang di laut.
Menurut Thomas, rencana kontingensi kebencanaan sudah dibentuk di setiap kabupaten/kota. Puncak musim hujan di NTT diperkirakan pada Februari, sehingga kewaspadaan terhadap bencana mesti ditingkatkan sejak awal Januari.
Setiap kabupaten telah menyiagakan tim relawan beranggotakan 30-100 orang. Selain itu disiapkan juga alat-alat berat terutama di setiap titik rawan longsor di daratan Pulau Flores. Kesiapsiagaan juga meliputi posko kebencanaan, kendaraan operasional, puskesmas, personel kesehatan, serta TNI dan Polri.
“Jika terjadi bencana, semua ini tinggal digerakkan. Tim reaksi cepat akan paling pertama diterjunkan ke lokasi bencana, kemudian melibatkan instansi terkait lain. Tim ini sudah dilatih menghadapi setiap bencana terutama longsor, dan banjir di daerah. Bagaimana proses evakuasi korban, harta benda, binatang piaraan, dan membuka akses jalan menuju lokasi bencana,” kata Thomas.
Dalam operasional, tim juga akan dibantu personel Search And Resque setempat. Jika tim mendapati kesulitan, akan dibantu tim kebencanaan dari provinsi termasuk bantuan logistil dan tenaga lapangan.
Bencana longsor, banjir, luapan sungai, angin puting beliung, petir, dan hujan deras sepanjang 2019 menewaskan 15 orang, 20 orang luka berat, 18 luka ringan, 560 unit rumah rusak, dan 230 ternak warga mati. Total nilai kerugian material mencapai Rp 2 miliar.
Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore melalui surat imbauan Nomor 1/PKP.019/1/2020 tanggal 3 Januari 2020 meminta masyarakat agar waspada dan hati-hati terhadap dampak cuaca ekstrem. Instansi teknis terkait seperti Dinas Penanggulangan Bencana Daerah, Dinas Pemadam Kebakaran, Satpol PP, Dinas Sosial, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan dan RSUD Kota SK Lerik agar saling koordinasi antar instansi dan mengaktifkan Posko siaga bencana selama 24 jam untuk merespons tanggap darurat bencana.
Koordinasi ini untuk memastikan bantuan tanggap darurat bencana sudah dipersiapkan secara baik dan memadai. Pelayanan dititikberatkan pada pendekatan kemanusiaan. Setiap kecamatan, lurah, RT dan RW agar bergotong royong membersihkan sampah di lingkungan masing-masing terutama drainase dan selokan-selokan sehingga air hujan mengalir dengan lancar.
Meski demikian, Ketua Forum Daerah Aliran Sungai NTT Mikhael Riwu Kaho menilai, Pemda hanya bisa menyusun program dan membahas kerja sama lintas instansi. Saat bencana tiba, semua program itu tidak berjalan karena semua saling menunggu. Jika ada instansi yang bergerak pun dilakukan secara sporadis.
Ia mencontohkan, banjir bandang di Manggarai Barat Januari 2019 yang menewaskan enam warga. Koordinasi antara sektor sangat lemah, tidak jalan. Masing-masing instansi terkait bergerak sendiri, akibatnya penanganan tak optimal.
“Kebanyakan pejabat lupa berpikir dan mengingat bencana. Musim hujan hanya tiga bulan, setelah bencana tiba masyarakat menjalani sembilan bulan musim kemarau. Saat itu semua keresahan, kegelisahan, dan kewaspadaan mengenai bencana sudah dilupakan,” kata Mikhael.