Banjir di Sidoarjo Belum Tertangani, Derajat Kesehatan Warga Menurun
Banjir yang menggenangi dua desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, telah berlangsung hampir sebulan, tetapi tidak kunjung ditangani sehingga memperparah penderitaan warga.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Banjir yang menggenangi dua desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, telah berlangsung hampir sebulan. Namun, banjir yang disebabkan oleh luapan sungai itu tidak kunjung ditangani sehingga memperparah penderitaan masyarakat. Tidak hanya kesehatan, kehidupan sosial, pendidikan, dan perekonomian mereka terganggu.
Banjir merendam Desa Kedungbanteng dan Desa Banjarasri, Kecamatan Tanggulangin. Menurut warga, banjir terjadi sejak hujan deras awal tahun. Selama hampir sebulan, air tak pernah kering. Hanya surut beberapa jam kemudian kembali meningkat saat hujan datang.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Pemkab Sidoarjo dan masyarakat, jumlah warga terdampak banjir total mencapai 803 keluarga dengan rincian 462 keluarga di Desa Banjarasri dan 341 keluarga di Desa Kedungbanteng. Adapun ketinggian genangan banjir bervariasi antara 30 sentimeter (cm) hingga 70 cm.
Ketinggian genangan banjir bervariasi antara 30 sentimeter hingga 70 cm.
Kendati rumahnya kebanjiran, warga tidak mengungsi. Mereka memilih bertahan di dalam rumah meski kondisinya tidak layak. Air menggenang di kamar, dapur, ruang tamu, dan kamar mandi. Bahkan, saat buang air kecil, air tak bisa mengalir ke saluran pembuangan dan hanya memutar di dalam rumah.
Kondisi itu berdampak pada kesehatan masyarakat. Sebagai gambaran, data di posko kesehatan Desa Banjarasri tercatat 43 orang yang berobat dengan keluhan gatak-gatal. Selain gatal-gatal, masyarakat juga mengalami demam, batuk, pilek, serta diare.
Ketua RT 005 RW 002 Desa Banjarasri Rizalun Mashudi mengatakan, wilayahnya terdampak banjir paling parah. Sebanyak 120 keluarga rumahnya tergenang hampir sebulan penuh tanpa pernah surut. Hingga kini belum ada penanganan dari pemerintah daerah ataupun Pemprov Jatim. Masyarakat masih berupaya menangani sendiri masalah mereka.
Contohnya yang dilakukan oleh sejumlah perempuan paruh baya pada Senin siang. Mereka mencangkul material tanah uruk yang baru dikeluarkan dari truk dam di tengah badan jalan desa. Dengan cangkul dan serok, material tanah tersebut diratakan hingga memenuhi badan jalan.
”Tujuannya meninggikan permukaan jalan yang terendam air agar bisa dilalui warga. Hampir sebulan jalan tidak bisa dilalui sehingga aksesibilitas masyarakat terhambat. Kendaraan tak bisa lewat,” kata Siti Mukaromah (49) warga setempat.
Hampir sebulan jalan tidak bisa dilalui sehingga aksesibilitas masyarakat terhambat.
Namun pengurukan jalan yang dilakukan masyarakat itu justru memperparah banjir. Dengan ditinggikannya badan jalan, air akan mengalir ke rumah warga karena posisinya yang lebih rendah. Air akan menggenang lebih lama sebab tidak ada saluran pematusan atau gorong-gorong.
Anggota Komisi D DPRD Sidoarjo, Mimik Idayana, yang meninjau lokasi banjir mengajak masyarakat bergotong royong membersihkan sampah yang menutup permukaan sungai dan menyumbat pintu air. Sampah itu didominasi popok bayi sekali pakai. Butuh satu truk gardan tunggal untuk mengangkutnya.
Menurut warga, mereka juga butuh bantuan air bersih. Namun, saat bantuan akan dikirim, mereka kesulitan karena tidak memiliki tandon untuk menampung air. Bantuan air bersih pun ditunda menunggu datangnya bantuan tandon terlebih dahulu.
Sanusi (45), warga lainnya, menambahkan, selama belum ada bantuan air bersih, warga membeli sendiri air dengan harga Rp 2.000 per jeriken kapasitas 20 liter. Air dipakai mandi, mencuci piring, memasak, dan mencuci pakaian. Rata-rata per rumah tangga memerlukan 10 jeriken atau Rp 20.000 per hari.
Warga membeli sendiri air dengan harga Rp 2.000 per jeriken kapasitas 20 liter.
Pengeluaran biaya air bersih itu membebani warga, apalagi mereka tidak bisa bekerja. Sawah dan tambak terendam banjir. Warung dan toko kelontong juga tak bisa beroperasi maksimal karena akses jalan kebanjiran. Ekonomi masyarakat pun nyaris lumpuh.
Banjir juga menyebabkan aktivitas pendidikan terganggu karena sekolah terendam. Di SMPN 2 Tanggulangin, ratusan murid bergotong royong memindahkan bangku dan meja belajar ke tempat aman karena ruang kelasnya tergenang. Kegiatan belajar mengajar memang tetap berjalan, tetapi dengan kondisi yang tidak nyaman.
Pelaksana Tugas Bupati Sidoarjo Nur Achmad Saifuddin mengatakan, untuk mengatasi banjir di dua desa, pihaknya akan menormalisasi sungai yang melintas di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri. Selain itu, memasang karung pasir di tepi saluran dan membuka pintu air di bendungan atau dam Kedungpeluk.
”Terkait sekolah yang terdampak banjir, rencananya akan dilakukan peninggian lantai dan membuat kolam retensi untuk menampung air saat hujan,” ucap Nur Achmad.