M (39) diduga melakukan pemerkosaan terhadap bocah berusia 11 tahun yang adalah teman bermain anaknya. Setelah ditangkap polisi, dia baru menyesal.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
M (39), warga Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, harus siap menanggung hukuman atas perbuatan jahat yang dia lakukan. M diduga melakukan pemerkosaan terhadap bocah berusia 11 tahun yang adalah teman bermain anaknya. Setelah ditangkap polisi, dia baru menyesal.
Saat dihadirkan dalam gelar perkara di hadapan wartawan, Rabu (6/2/2020), di kantor Polisi Resor Kota Banda Aceh, M lebih banyak menunduk. Lelaki bertubuh gempal dan berkulit gelap itu tampak gugup meski wajahnya ditutupi sebo. Kedua lengan yang diborgol terlihat gemetar.
M ditangkap pada 22 Januari 2020 di rumahnya di Kecamatan Kutabaro, Kabupaten Aceh Besar. Dia dilaporkan oleh orangtua seorang anak yang diduga menjadi korban pemerkosaan. Anak yang menjadi sasaran kebejatan M merupakan tetangganya sendiri.
M bekerja sebagai kernet angkutan umum. Sejak dua tahun lalu, dia menyandang status duda, setelah bercerai dengan istri. Dia memiliki tiga anak, tetapi hanya satu orang yang tinggal bersama dia, dua lainnya dibawa istrinya.
Anak yang tinggal bersama M sebaya dengan anak yang menjadi korban pemerkosaan. Korban sering bermain ke rumahnya sebab berteman dengan anak pelaku. ”Saya tidak sanggup tahan nafsu, sebab sudah lama cerai,” kata M terbata-bata.
Perbuatan jahat itu dilakukan sebanyak enam kali antara Desember 2019 dan Januari 2020. M membujuk korban dengan memberikan uang dan mengancam akan menggorok leher jika korban menceritakan kepada orang.
Namun, pada suatu hari korban mengeluh mengalami sakit pada kemaluan. Setelah didesak oleh orangtua, korban menceritakan apa yang dia alami. Hasil visum terjadi luka robek pada kemaluan korban.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Banda Aceh Ajun Komisaris Muhammad Taufik mengatakan, perbuatan M adalah kejahatan luar biasa. M dijeret dengan Pasal 81 juncto Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Polisi akan mendalami kasus itu, bisa jadi korban lebih dari satu orang.
Polisi akan mendalami kasus itu, bisa jadi korban lebih dari satu orang. Terlebih anak pelaku juga sebaya dengan korban. Meski demikian, M mengatakan korban hanya satu orang. ”Kejiwaan pelaku akan diperiksa, sementara korban kini didampingi psikolog,” kata Taufik.
Kasus kejahatan terhadap anak masih tinggi di Aceh. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Aceh, jumlah kasus kekerasan terhadap anak selama 2016-2018 sebanyak 3.515 kasus. Sebanyak 225 kasus di antaranya adalah pemerkosaan.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh Nevi Ariani menuturkan, kekerasan terhadap anak ibarat fenomena gunung es. Kemungkinan besar kasus lebih banyak daripada yang tercatat oleh DP3A. ”Pelakunya lebih banyak orang terdekat. Seharusnya mereka melindungi bukan menjadi pelaku kejahatan,” kata Nevi.
Pada 2019 terjadi beberapa kasus sangat mengusik rasa kemanusiaan, seperti kasus sodomi terhadap santri di Lhokseumawe, eksploitasi anak menjadi pengemis di Lhokseumawe, dan pelecehan seksual terhadap siswa di Banda Aceh.
Kasus lain pemerkosaan terhadap anak di Aceh menimpa gadis belia asal Kabupaten Simeulue pada 2016. Gadis ini diperkosa oleh abang temannya sendiri. Sementara di Kabupaten Nagan Raya, seorang bocah berusia 8 tahun diperkosa oleh tetangganya.
Pada 2015, kasus pemerkosaan terhadap anak terjadi juga di Aceh Barat, korban diperkosa tetangga. Kejadian serupa juga minimpa bocah kelas II SD di Pidie. Bocah ini diperkosa oleh seorang kakek saat pulang sekolah.
Nevi menuturkan, di Aceh terjadi dualisme regulasi dalam penanganan kasus kekerasan terhadap anak, terutama dalam kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, dan pencabulan. Regulasi tersebut adalah KUHP dan qanun/perda hukum jinayah.
Dalam KUHP pelaku kejahatan terhadap anak dihukum penjara, sedangkan dalam Qanun hukum jinayah hukumannya cambuk. Dalam beberapa kasus pencabulan terhadap anak di Aceh, pelakunya dihukum cambuk. Menurut Nevi, hukuman cambuk tidak setimpal dengan perbuatan pelaku.
”Dalam setiap kasus kekerasan terhadap anak, kami mendorong agar polisi dan kejaksaan menggunakan hukum pidana, bukan qanun,” kata Nevi.
Persoalan lain, kata Nevi, tidak semua kepala daerah memiliki komitmen terhadap isu perlindungan perempuan dan anak. Sebagian besar daerah tidak mengalokasikan anggaran yang memadai untuk perlindungan dan pemenuhan hak anak. Akibatnya, banyak program perlindungan tidak berjalan maksimal. ”Komitmen kuat kepala daerah sangat penting, tetapi sekarang belum semua daerah memiliki komitmen itu,” kata Nevi.
Dosen Psikologi Universitas Syiah Kuala, Leli Safrina, menuturkan, anak korban kekerasan membutuhkan pendampingan berkelanjutan sebab butuh waktu lama untuk mengikis trauma psikologis. Dalam kasus tertentu anak korban berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari.
Pencegahan kasus kekerasan terhadap anak dapat dimulai dari keluarga seperti merawat hubungan antaranggota keluarga. Selain itu, perbaikan ekonomi rumah tangga juga penting karena banyak korban kekerasan berasal dari keluarga ekonomi rendah.
Anggota Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Firdaus Nyak Idin, mengatakan, dalam beberapa kasus hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku sudah maksimal. Seperti kasus sodomi terhadap santri di Lhokseumawe, pelaku divonis 15 tahun penjara. ”Kami selalu mendorong agar digunakan KUHP dan hukuman maksimal agar memberi efek jera,” kata Firdaus.
Perbuatan M memerkosa anak di bawah umur dinilai mencabik nilai kemanusiaan. M terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara. Dalam konferensi per M mengakui perbuatan dsn dia sangat menyesal. ”Saya khilaf, saya sangat menyesal,” kata M. Namun, penyesalan itu terlambat. Dia pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.