Serangan Buaya Pada Manusia di Sulawesi Tenggara Meningkat di Tengah Konflik Ruang
Serangan buaya muara kembali memakan korban jiwa di Sulawesi Tenggara. Konflik ruang dengan aktivitas manusia diduga menyebabkan meningkatnya serangan buaya di sejumlah wilayah di daerah ini.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Serangan buaya muara (Crocodylus porosus) kembali memakan korban jiwa di Sulawesi Tenggara. Konflik ruang dengan aktivitas manusia diduga menyebabkan meningkatnya serangan buaya di sejumlah wilayah di daerah ini.
Kali ini, korbannya adalah Afdal Setiawan (15). Dia tewas diserang buaya setelah memancing di Kali Poropia, Konawe Selatan. Pada Minggu (9/2/2020), tim SAR menemukan jenazah Afdal, setelah hilang sehari sebelumnya. Afdal ditemukan sekitar 1,2 kilometer dari lokasi awal hilang setelah diterkam buaya.
"Korban terluka di leher, kaki, dan tangan. Jenazah korban telah kami serahkan ke keluarga," terang Wahyudi, staf humas SAR Kendari.
Wahyudi menuturkan, korban pergi memancing bersama lima temannya di Kali Poropia, Desa Awonio, Kolono, Konawe Selaran. Mereka memancing sejak siang hingga pukul 17.15. Setelah memancing, korban berkemas, lalu membersihkan tubuh di kali. Namun, saat berada di kali, korban diserang buaya dan tubuhnya diseret ke tengah sungai.
Sejumlah rekan korban yang melihat kejadian tersebut, tambah Yudi, lalu melaporkan kejadian ini pada warga sekitar dan keluarga. Tim SAR bersama sejumlah aparat keamanan dan warga lantas mencari korban hingga lewat tengah malam. Namun, korban belum juga ditemukan.
Pencarian lalu dilanjutkan Minggu pagi dan jenazah korban ditemukan sekitar pukul 09.00. "Ini adalah serangan buaya kedua yang memakan korban jiwa di tahun 2020. Kejadian pertama di Buton Utara Januari lalu tapi tidak sempat kami tangani karena korban cepat ditemukan," kata Wahyudi.
Intensitas kemunculan hingga serangan buaya yang mengakibatkan korban jiwa terus meningkat dalam kurun tiga bulan terakhir. Dari catatan SAR Kota Kendari, terjadi tiga kali serangan buaya yang menyebabkan dua orang tewas, dan satu orang terluka pada Desember 2019 saja.
Sementara itu, data Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sultra mencatat, selama 2019, terjadi serangan buaya di sejumlah daerah. Sebanyak enam orang meninggal dunia, dan tiga orang lainnya luka. Kejadian serangan buaya terjadi di Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Buton Utara, Buton, dan Muna.
"Di tahun 2020 ini, ada dua serangan buaya yang mengakibatkan dua orang meninggal dunia. Lalu, juga ada kejadian buaya menampakkan diri tetapi tidak menyerang manusia," ucap La Ode Kaida, Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sultra.
Di tahun 2020 ini, ada dua serangan buaya yang mengakibatkan dua orang meninggal dunia. Lalu, juga ada kejadian buaya menampakkan diri tetapi tidak menyerang manusia.(La Ode Kaida)
Tingginya intensitas kemunculan dan serangan buaya, tutur Kaida, kemungkinan besar karena rusaknya habitat buaya di sungai. Dari beberapa kali serangan, jenis buaya yang menyerang merupakan buaya muara, termasuk yang menyerang Afdal kali ini. Buaya masuk jauh ke wilayah tengah sungai, bisa karena lapar atau mencari makan.
Dengan tingginya aktivitas manusia di bantaran sungai, Kaida menambahkan, membuat habitat dan rantai makanan buaya di sungai terganggu. Namun, semuanya membutuhkan kajian holistik agar bisa menelaan semua hal dalam kejadian ini.
Ketua DPP Perkumpulan Tenaga Ahli Lingkungan Hidup Indonesia Sultra La Ode Ngkoimani menjelaskan, serangan buaya yang terus terjadi perlu dilihat dalam konteks kerusakan lingkungan dan konflik ruang yang terjadi. Sebab, hal ini diduga kuat merupakan efek turunan dari kompleksitas permasalahan ruang di sekitar sungai.
Ngkoimani menjabarkan, habitat buaya di sungai, kemungkinan besar terganggu dengan banyaknya aktivitas manusia, pembukaan ruang, hingga kerusakan sungai. Rantai makanan di sungai menjadi terganggu dengan kerusakan ekosistem di sungai.
"Limpasan air yang terjadi secara cepat utamanya ketika musim hujan juga bisa menjadi penyebab. Tempat tinggal buaya, makanan, hilang bersama derasnya arus. Memang belum ada kajian komprehensif tetapi fakta-fakta di lapangan bisa kita saksikan," tuturnya.
Oleh karena itu, Ngkoimani mengharapkan, pemerintah, dan otoritas terkait melihat hal ini sebagai peringatan untuk semua. Pengaturan zonasi pemanfaatan ruang di sungai menjadi hal yang penting untuk dilakukan.