Keraton Yogyakarta berupaya merangkul milenial lewat beragam program kekinian. Lewat digitalisasi naskah kuno dan menari bersama di ruang publik, Keraton Yogyakarta berupaya mengenalkan ragam kekayaan budaya tradisional.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS-Keraton Yogyakarta berupaya merangkul milenial lewat beragam program kekinian. Lewat digitalisasi naskah kuno dan menari bersama di ruang publik, Keraton Yogyakarta berupaya mengenalkan kekayaan budaya tradisional dengan pendekatan lebih populer.
"Dulu tidak pernah ada yang namanya flash mob itu. Tapi karena kondisi milenial ini, sekarang ada flash mob. Ruang itu saya buka," kata Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, di sela-sela Simposium Internasional Busana dan Peradaban di Keraton Yogyakarta, Senin (9/3/2020), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Flash mob adalah gerak tari yang dilakukan bersama oleh kelompok tertentu.
Simposium itu digelar dalam rangka peringatan ulang tahun kenaikan tahta ke-31 Sultan HB X sebagai raja di Keraton Yogyakarta. Menurut kalender masehi, Sultan HB X genap bertahta selama 31 tahun pada 7 Maret 2020. Sementara itu, berdasar kalender Jawa, Sultan genap bertahta 32 tahun pada 24 Maret 2020.
Sultan memaparkan, Keraton Yogyakarta memang beberapa kali menggelar flash mob di ruang publik, misalnya di kawasan wisata Malioboro. Pada 14 Januari 2020, misalnya, Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhamardawa Keraton Yogyakarta memprakarsai flash mob Tari Golek Menak ciptaan Sultan HB IX.
Sebelumnya, pada 18 Juni 2019, KHP Kridhamardawa Keraton Yogyakarta juga menggelar flash mob Beksan Wanara, sebuah tarian dengan gerakan-gerakan menyerupai kera, di kawasan Malioboro. Flash mob Beksan Wanara itu itu mendapat sambutan meriah masyarakat dan rekamannya viral di media sosial.
Menurut Sultan, flash mob semacam itu digelar bukan untuk mengubah tradisi. Dia menyebut, flash mob justru digelar agar anak-anak muda tertarik dengan tari tradisional. Diawali flash mob, anak-anak muda itu diharapkan bisa mengenal dan belajar lebih jauh mengenai tari tradisional.
"Bukan itu (flash mob) mengubah tradisi, tapi tantangan generasinya memang seperti itu agar mereka tertarik. Bagi saya, itu keniscayaan karena faktanya anak-anak muda yang tadinya tidak memahami (tari tradisional), lalu mau belajar," ungkap Sultan yang juga merupakan Gubernur DIY.
Selain flash mob, upaya lain yang dilakukan Keraton Yogyakarta untuk mendekati milenial adalah dengan mendigitilisasi naskah-naskah kuno. Arsip digital dari naskah atau manuskrip itu bahkan bisa diakses secara terbuka melalui website milik Keraton Yogyakarta. "Kini keraton sedang menata diri memasuki era digitalisasi," ujar Sultan.
Selain itu, selama beberapa tahun terakhir, Keraton Yogyakarta juga aktif menggunakan media sosial untuk menyebarluaskan berbagai jenis pengetahuan mengenai budaya tradisional yang dimiliki.
Sultan meyakini, anak-anak milenial di Indonesia tetap memiliki kedekatan dengan budaya lokal atau tradisional. Oleh karena itu, Sultan berpendapat, anggapan bahwa anak milenial tidak mau mengenal budaya tradisional merupakan anggapan yang salah. Sebab, dengan pendekatan yang tepat, anak-anak milenial itu bisa diajak mencintai budaya tradisional.
Sultan menambahkan, di tangan anak-anak milenial, budaya tradisional yang sudah ada sejak lama justru bisa mendapat penafsiran yang baru. Menurut Sultan, proses penafsiran ulang terhadap budaya tradisional itu merupakan sesuatu yang sah.
"Budaya tradisional akan ditafsirkan dengan cara yang baru oleh anak-anak muda. Budaya itu kan dinamis, bukan stagnan, sehingga bisa berubah menurut penafsiran generasinya," ungkap Sultan.
Budaya tradisional akan ditafsirkan dengan cara yang baru oleh anak-anak muda. Budaya itu kan dinamis, bukan stagnan, sehingga bisa berubah menurut penafsiran generasinya
Penelitian dan diskusi
Penghageng Tepas Tandha Yekti Keraton Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu Hayu, mengatakan, Keraton Yogyakarta memiliki banyak manuskrip atau naskah kuno yang menyimpan ilmu pengetahuan dan kekayaan budaya. Hayu menambahkan, kekayaan budaya dan pengetahuan yang ada di manuskrip-manuskrip itu diharapkan bisa diteliti dan didiskusikan para ahli.
Melalui penelitian dan diskusi itu, pengetahuan dan kekayaan budaya tersebut bisa diketahui dan dipahami berbagai pihak. "Dengan harapan, agar ilmu pengetahuan dan kekayaan budaya tersebut dapat dipahami generasi saat ini, maka ruang-ruang diskusi dan penelitian akademis terkait budaya Jawa dan Keraton Yogyakarta harus dibuka," ujar Hayu.
Untuk membuka ruang diskusi dan penelitian itu, Keraton Yogyakarta menggelar simposium internasional mengenai budaya Jawa yang dimulai sejak tahun lalu. Pada tahun 2019, Keraton Yogyakarta menggelar simposium internasional mengenai manuskrip-manuskrip yang dimiliki keraton.
Sementara itu, tahun ini, simposium internasional yang digelar berkait dengan busana kebesaran di Keraton Yogyakarta. Simposium itu menghadirkan para pembicara dari dalam dan luar negeri.