Gempa Bermagnitudo 6,1 di Maluku Utara, Belum Ada Korban Jiwa dan Kerusakan Bangunan
Gempa tektonik bermagnitudo 6,1 kembali mengguncang sebagian wilayah Maluku Utara pada Senin (6/4/2020) dini hari. Hingga Senin siang, belum ada laporan kerusakan bangunan atau korban jiwa.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS — Gempa tektonik bermagnitudo 6,1 kembali mengguncang sebagian wilayah Maluku Utara pada Senin (6/4/2020) dini hari. Hingga Senin siang, belum ada laporan kerusakan bangunan atau korban jiwa. Sebagian masyarakat di daerah terdampak sudah mendapat pelatihan siaga bencana dari pemerintah daerah dan gereja setempat.
Berdasarkan laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, espientrum gempa berada di kedalaman 67 kilometer. Letaknya 126 kilometer arah barat Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengatakan, kejadian kali ini merupakan gempa menengah akibat deformasi batuan pada Lempeng Laut Maluku. Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan, gempa memiliki mekanisme pergerakan naik. Gempa tidak berpotensi tsunami.
Menurut catatan Kompas, daerah kepulauan itu berulang kali digoyang gempa. Pada 15 November 2019, terjadi gempa M 7,1. Akibatnya, dua orang terluka dan puluhan bangunan rusak.
Pada Juni 2016, gempa M 6,6 merusak puluhan bangunan. Dua kali gempa besar sebelumnya itu menimbulkan tsunami meski tidak sampai 0,1 meter.
Edwin, warga Pulau Mayau, Kecamatan Batang dua, Kota Ternate, menjelaskan, getaran gempa terjadi hampir 10 detik. Getarannya diperkirakan antara III-IV Modified Mercalli Intensity. Pulau Mayau berada di tengah kepungan Laut Maluku, di antara Provinsi Maluku Utara dan Sulawesi Utara. Waktu tempuh dari Pulau Ternate ke Pulau Mayau sekitar 9 jam menggunakan kapal penumpang.
Menurut Edwin, warga yang tengah tidur lelap terbangun dan berhamburan ke luar rumah untuk menyelamatkan diri. ”Untuk mengantisipasi gempa susulan, warga memilih tidur di halaman rumah sampai pagi,” katanya. Hingga Senin siang, tidak terjadi gempa susulan yang dirasakan warga. Aktivitas warga berjalan seperti biasa.
Akan tetapi, hingga Senin siang, Edwin masih berusaha menghubungi warga di Pulau Tifure, sekitar 4 jam dari Pulau Mayau. Dibandingkan Pulau Mayau, Tifure berada lebih jauh dari episentrum gempa. Saat ini, belum ada jaringan telekomunikasi ideal di Pulau Tifure. Warga hanya mengandalkan jaringan radio single side band. ”Mungkin radio mereka rusak. Kami belum bisa kontak,” katanya.
Menurut Edwin, yang juga sukarelawan bencana di Pulau Mayau, gempa ini semakin menambah kecemasan warga setempat yang kini takut dengan penyebaran virus korona (corona) baru. Mereka khawatir lantaran masih ada kapal penumpang yang singgah di pulau itu. Ia berharap agar pemerintah menghentikan sementara kapal perintis yang melayani daerah itu.
Saat ini, belum ada jaringan telekomunikasi ideal di Pulau Tifure. Warga hanya mengandalkan jaringan radio single side band.
Mitigasi mandiri
Sekretaris Klasis Gereja Kristen Protestan Maluku untuk Kota Ternate Doni Toisuta mengatakan, kerentanan bencana di Kecamatan Batang Dua mendorong gereja membentuk sukarelawan tanggap bencana di Pulau Mayau dan Pulau Tifure. Tim di setiap pulau sudah terbentuk dan mendapat pelatihan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Basarnas Kota Ternate.
Pembentukan tim itu sangat vital. Alasannya, dua pulau tersebut masih terisolasi. Tidak ada pelayaran rutin setiap hari. Warga dilayani kapal perintis dengan rute sekali dalam dua minggu. Penanganan kedaruratan oleh pihak pemerintah tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat.
”Daerah itu rawan bencana gempa dan tsunami sehingga warga harus disiapkan. Ini menjadi salah satu misi Gereja dalam hal mitigasi bencana,” katanya.