Kesadaran Baru untuk Berbagi Bahu
Kesulitan ekonomi akibat pandemi, mendorong kesadaran sebagian orang untuk berbagi. Di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, derma dilakukan dengan berbagai cara.
Perbedaan latar belakang tidak menghambat orang menyalurkan bantuan. Rasa kemanusiaan telah mempersatukan beragam warga untuk meringankan beban dari sebagian kelompok masyarakat yang sedang kesusahan. Pandemi Covid-19 menebalkan rasa kemanusiaan kita.
Gerakan sosial yang diinisiasi kelompok masyarakat sipil bermunculan selama pandemi Covid-19. Masyarakat yang tergabung dalam gerakan-gerakan itu terdiri dari berbagai latar belakang.
Salah satunya ditunjukkan Solidaritas Pangan Jogja, aksi sosial yang digerakkan pekerja kreatif, mahasiswa, aktivis sosial, pengelola jasa wisata, hingga ibu rumah tangga. Mereka memulai aksinya dengan membuat dapur umum di sejumlah titik, di Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak akhir Maret 2020. Makanan yang dimasak dari sejumlah dapur umum itu kemudian dibagi-bagikan ke warga terdampak pandemi yang kebanyakan terdiri dari pekerja informal.
Baca juga : Bederma dan Bertahan di Tengah Wabah
Awalnya, Syafiatudina (32) memulai aksi berbagi kecil-kecilan bersama ibu dan adiknya. Mereka berbagi nasi bungkus kepada tukang becak, tukang sampah, hingga pemulung di sekitar rumahnya. Makanan dipesan dari tetangganya yang berjualan makanan dan katering.
“Aksi serupa juga dilakukan teman-teman mahasiswa dan elemen masyarakat lain. Lalu, kami bergabung saja menjadi gerakan ini. Gerakan juga terus berkembang,” kata Dina, sapaan akrab Syafiatudina, yang juga menjadi koordinator dari Solidaritas Pangan Jogja, saat dihubungi, Senin (18/5/2020).
Hingga saat ini, sudah terdapat 12 jaringan dapur umum yang tersebar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Masing-masing dapur punya sasarannya sendiri. Ada yang basisnya perkampungan, ada pula yang memang membagikan makanan siap santap di jalanan. Adapun kapasitas produksinya berkisar 60-200 bungkus makanan per harinya. Dapur umum tersebut juga masih bisa terus mengepul mengingat donasi terus mengalir dari berbagai pihak.
Dina menyampaikan, keragaman latar belakang anggota gerakan itu tidak menjadi soal berarti. Kuncinya, transparansi informasi mengenai penerimaan donasi dan distribusi bantuan. Gerakan ini terus berjalan didasari rasa saling percaya setiap anggotanya. Mereka juga dipersatukan kemauan membantu di tengah krisis akibat pandemi ini.
“Anggota kami macam-macam banget latar belakangnya. Misi kemanusiaan itu yang menarik orang-orang ini bergabung. Sederhana sekali dasarnya, kami ingin berbuat sesuatu bagi orang lain yang membutuhkan bantuan. Salah satunya bisa kami upayakan dengan bagi-bagi makanan,” ujar Dina.
Anggota lain dari gerakan itu, Muhammad Luthfi Mubarok (22), menyampaikan hal serupa. Hatinya tergerak ikut serta gerakan itu melihat masyarakat dari kalangan ekonomi lemah yang amat terpukul akibat pandemi. Bahkan, ia merasakan sendiri salah seorang anggota keluarganya ada yang mengalami pemutusan hubungan kerja dalam kondisi seperti ini.
“Tentu ada hal-hal tertentu yang mempersatukan kami. Tetapi, banyak relawan yang tergabung dalam gerakan ini orang yang baru saya kenal pertama kali. Kebanyakan memang bergerak di dunia aktivisme. Tetapi, lebih besar, mereka tergerak karena rasa kemanusiaan,” kata mahasiswa jurusan Sastra Arab dari UGM itu.
Eni Kusriati (46), warga Dusun Cepokojajar, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, merupakan salah seorang ibu rumah tangga yang terlibat dalam gerakan itu. Ia bertugas menjadi juru masak, di Dapur Cepokojajar, yang termasuk salah satu jaringan dapur umum dari Solidaritas Pangan Jogja.
Baca juga : Pandemi Covid-19 Leburkan Sekat Pembatas Warga Perkotaan
Eni enteng saja saat diajak terlibat menjadi juru masak kala itu. Kebetulan ia punya pengalaman menjadi juru masak dapur umum sewaktu bencana gempa bumi, di kampungnya, pada 2006. “Sewaktu ditawari, saya iyakan saja. Teman-teman dari gerakan itu bisa pakai dapur saya. Saya juga bersedia masak. Selama bisa bantu tenaga, saya akan bantu tenaga,” tutur Eni.
Ada gerakan lain yang melibatkan warga dari berbagai latar belakang. Hal itu ditunjukkan “Dapur Aksi Berbagi”. Gerakan itu telah berkeliling membagikan makanan siap santap hingga bahan pokok sejak awal April 2020. Relawan yang tergabung bermacam-macam mulai dari seniman, pegiat budaya, peneliti, hingga petani.
Ignasius Kendal, Koordinator Posko Dapur Aksi Berbagi, menyampaikan, jejaring petani muda dan pengusaha grosir lokal turut diajak ikut serta. Tujuannya agar ekonomi bergerak di tengah masyarakat. “Belakangan ini, malah petani muda juga ikut berdonasi. Mereka mendonasikan bibit-bibit tanaman yang bisa ditanam di rumah. Ya, ini kami sertakan dalam donasi kami. Kami ajak orang-orang yang menerima bantuan untuk ikut menanam,” ucap Kendal.
Barter lukisan
Sejak pandemi melanda, Ismanto (52), seniman asal Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ikut terdampak. Tak ada lagi pameran. Penjualan lukisan pun nihil. Namun, sebulan terakhir ia kembali rutin melukis. Bukan dijual, melainkan untuk program barter lukisan darurat pangan.
Program ini adalah kegiatan sosial yang digagasnya menggandeng sejumlah orang. Setiap lukisan karyanya bisa dimiliki, cukup dengan menukarkan dengan bahan pangan seperti beras, minyak, telur, dan sebagainya.
Dengan pengalamannya yang sudah puluhan tahun menerjuni seni, karya Ismanto biasa dihargai hingga ratusan juta per lukisan atau patung. Namun, kali ini, sekalipun tidak mendapatkan keuntungan apa-apa, dia tetap tekun melukis setiap hari. “Saat ini, saya memiliki sekitar 20 lukisan yang siap barter,” ujarnya.
Program barter darurat pangan ini disampaikannya kepada khalayak luas melalui media sosial, pada Kamis (16/5/2020). Respons yang diterima sangat baik, dan dari situlah, 24 orang kemudian menyatakan ingin berpartisipasi. Dari jumlah tersebut 10 orang ingin terlibat dalam barter dan 14 orang lainnya memberikan sumbangan uang.
Salah seorang donatur, Elisabeth Wahyu Ajar Wulan (28), bahkan menyumbangkan gajinya satu bulan penuh untuk program Ismanto tersebut. Setelah menyumbang pun, dia tidak terlalu peduli, sumbangannya akan diganti dengan lukisan atau tidak.
“Pak Ismanto memang menjanjikan akan membuat satu lukisan untuk saya. Saya hanya bilang silakan melukis apa saja. Saya tidak terlalu mempedulikannya karena niat saya memang hanya ingin membantu,” ujar Wahyu yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga perawat di sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta ini.
Baca juga : Kedermawanan Berikan Solusi
Dari 24 orang yang terlibat dalam program barter darurat pangan ini, hanya ada dua orang yang berasal dari kelompok kolektor seni. Adapun, 22 orang lainnya berasal dari beragam profesi, mulai dari perawat, videografer, aktivis sosial, dan pegawai kantoran.
Dari barter dan sumbangan uang yang sudah dibelikan bahan pangan ini, Ismanto berhasil mengumpulkan stok bahan pangan yang terdiri dari dua kuintal beras, satu kuintal gula pasir, dan 169 liter minyak goreng.
Sebagian bahan pangan, kini sudah dibagi, diberikannya kepada lebih dari 70 keluarga, yang tersebar di Kecamatan Muntilan, Mertoyudan, serta di sebagian wilayah di Kota Magelang.
Solidaritas berbagi juga muncul dari Komunitas Santri Lomo dari Dusun Tanggulangni, Desa Pandean, Kecamatan Ngablak. Tidak terdiri dari santri dari pondok pesantren, komunitas ini terdiri dari 25 petani sayur, yang sebelumnya sepakat menjalankan usaha penyewaan bersama.
Barang-barang yang disewakan adalah perlengkapan untuk keperluan resepsi pernikahan, dan alat pertanian. Nama santri dipakai dengan harapan agar mereka bisa berperilaku seperti santri, dan lomo dipakai sebagai singkatan dari loro limayang dalam bahasa Jawa berarti 25, penggambaran jumlah anggota. Dalam bahasa Jawa lomo, juga bermakna sebagai dermawan.
Baca juga : Karena Berbagi Kita Ada
Melihat kondisi yang terjadi akibat wabah Covid-19, komunitas ini menyusun rencana untuk berderma sayuran. Rencana ini disosialisasaikan kepada 200 lebih petani sayur di Dusun Tanggulangin, dan reaksi yang didapat luar biasa. Banyak petani pun menyatakan siap dan antusias menyisihkan hasil panennya untuk disumbangkan. Kegiatan derma ini disebut sebagai sodaqoh sayur.
Kegiatan ini pun diinformasikan melalui media sosial, melalui cara ini pula mereka mendapatkan permintaan sumbangan yang kemudian dituju sebagai sasaran untuk berderma.
Pada 10 April 2020, sodaqoh sayur dimulai. Hingga minggu lalu, gerakan ini sudah ini dilakukan enam kali, di mana, dalam satu kali kegiatan mereka bisa membagikan 400-800 paket paket, dengan berat 2-4 kilogram per paket. Satu paket berisi beragam sayuran seperti kubis, sawi putih, dan cabai. Derma sayur ini sudah dilakukan di berbagai tempat, melintasi kota/kabupaten seperti Salatiga, Solo, Magelang, dan Kabupaten Semarang.
Setiap kali pergi ke lokasi sasaran, mereka selalu membawa sayur lebih dari permintaan. Sisa sayuran yang dibawa biasanya akan dibagikan kepada orang tidak mampu yang dilihat di tepi jalan seperti tukang becak, dan tukang parkir.
Sekalipun sebenarnya bermula dari kepedulian mereka terhadap dampak wabah bagi masyarakat, mereka kini menegaskan bahwa derma akan terus berlangsung saat pandemi berakhir.
Giyanto, koordinator Komunitas Santri Lomo, mengatakan, reaksi gembira dan sukacita yang ditunjukkan para penerima sumbangan, pada akhirnya memang mengusik mereka untuk lebih banyak berbagi dan peduli. “Kami merasa sungguh terharu karena sayur, bahan pangan yang dianggap biasa karena melimpahruah di desa kami, dianggap sebagai benda istimewa dan demikian disyukuri oleh warga yang menerima,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Arie Sujito, sosiolog UGM menyampaikan, solidaritas sosial telah hidup lama di tengah masyarakat. Keinginan saling berbagi itu juga wajar muncul di masa yang dilingkupi keterbatasan ini. Lewat setiap gerakan sosial, turut terbangun ikatan kemanusiaan di tingkatan paling mendasar dalam kehidupan bermasyarakat.
Ppandemi memang membawa kita pada kehidupan normal yang baru. Bagi sebagian di antaranya, wabah yang menghebohkan ini membawa pada kesadaran baru untuk berbagi bahu. Berbagi beban dan saling meringankan.