Sempat terpuruk karena pembatasan aktivitas karena pandemi Covid-19, kini usaha kecil menengah di Aceh mulai bergeliat kembali. Para pelaku usaha optimistis badai Covid-19 bisa dilalui dan masa depan usaha kembali cerah.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Sempat terpuruk karena pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19, kini usaha kecil dan menengah di Aceh mulai bergeliat kembali. Pelaku usaha optimistis badai Covid-19 bisa dilalui dan masa depan usaha akan kembali cerah.
Usaha cokelat batangan dan bubuk cokelat ”Socolatte” milik Irwan Ibrahim (49) mengalami pukulan telak saat pandemi. Pada April dan Mei 2020, penjualan produknya menurun drastis dari biasanya. ”Sebelum virus korona rata-rata penjualan Rp 150 juta per bulan. Selama virus korona cuma Rp 2 juta per bulan,” kata Irwan dihubungi dari Banda Aceh, Selasa (9/6/2020).
Gerai Socolatte Irwan berada di Kecamatan Merah Dua, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Irwan mengandalkan pembeli dari warga yang melintasi dari Banda Aceh atau menuju Banda Aceh. Saat pemerintah membatasi mobilitas warga, otomatis gerai Irwan sepi.
Kasus pertama pasien Covid-19 di Aceh diketahui pada 26 Maret 2020. Pemerintah Provinsi Aceh menanggapi dengan menerapkan jam malam.
Warung kopi dan tempat keramaian dilarang operasi. Menjelang Lebaran, kendaraan dari Sumatera Utara dilarang masuk ke Aceh. Dampak dari kebijakan itu begitu terasa bagi pelaku usaha, terutama warung kopi dan restoran. Gerai Irwan juga ikut terdampak.
”Selama Covid-19, kami lebih banyak melakukan kegiatan meningkatkan spiritualitas untuk karyawan. Kami yakin, masa-masa sulit ini bisa dilalui. Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan,” kata Irwan.
Meski demikian, Irwan tetap bertahan karena yakin badai virus korona bisa dilalui. Pada awal Juni, Pemprov Aceh menerapkan normal baru karena tidak ada penambahan kasus yang signifikan. Aktivitas warga mulai berjalan normal, tetapi tetap menerapkan protokol kesehatan. Kini pelan-pelan gerainya sudah ramai pengunjung walaupun belum kembali seperti semula.
Karena tidak ada penambahan kasus yang signifikan, aktivitas warga mulai berjalan normal.
Covid-19 juga membuat usaha kuliner Surabi Bantai milik Rivai Fadli (35) di Banda Aceh juga lesu. Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi puncak penjualan tahun ini justru nyungsep, terpuruh hingga ke dasar. Dia kehilangan pendapatan mencapai 90 persen. Sejak usaha kuliner itu dibuka tahun 2012, baru kali ini dia merasakan turbulensi dahsyat. ”Kami seperti masuk lubang gelap, sempat buka tetaoi tidak ada pengunjung,” kata Rivai.
Di tengah kondisi sulit ini, Rivai tidak merumahkan 18 karyawannya. Bagi Rivai, jika karyawan di rumahkan, sama dengan menambah pengangguran baru. Dia merogoh kantong lebih dalam untuk membayar gaji karyawan.
”Sempat terpikir mau PHK sementara, tetapi saya pikir secara manusiawi. Selama ini mereka bekerja untuk saya. Sekarang gantian, saya berkorban untuk mereka,” ujar Rivai. Pekan pertama Juni, gerainya kembali ramai dan penjualan mulai meningkat. Rivai optimistis ekonomi akan pulih meski butuh waktu lama.
Sekarang gantian, saya berkorban untuk mereka.
Basri Ubit (45), pemilik usaha tempe ”Soya” di Desa Reuloh, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar, juga ikut merasakan dampak berat pandemi virus korona. Produksi dan penjualan menurun, serta 50 karyawan sempat diberhentikan sementara.
Harga kedelai, bahan baku pembuatan tempe, naik dan stok terbatas. Dari biasanya Rp 6.200 per kilogram menjadi Rp 8.000 per kilogram.
”Kedelai sebagai bahan baku susah saya dapatkan karena terkendala impor dan harganya mahal,” kata Basri. Akibatnya, produksi tempe berkurang dari biasanya 2.500 kilogram per hari menjadi 1.700 kilogram per hari.
Namun, sebulan belakangan ketersediaan bahan baku mulai lancar meski harganya masih mahal. Produksi tempe berjalan kembali dan karyawan kembali bekerja. Untuk menyiasati naiknya pengeluaran, ukuran tempe diperkecil sedikit. Karena tempe Soya sudah punya pasar sendiri, penjualan tetap lancar.
Sektor wisata juga mengalami pukulan telak akibat Covid-19. Di Sabang, pelaku usaha kehilangan pendapatan besar karena Pemerintah Kota Sabang menutup akses wisatawan selama Maret-Mei 2020. Sabang yang selama ini bergantung pada aktivitas wisata tiba-tiba sepi. Semua usaha yang bersinggungan dengan wisata nyaris kolaps.
Pemilik Mars Resort, Kota Sabang, Aceh, Octowandi, mengatakan, dalam waktu dekat tidak ada turis yang berencana berwisata ke Sabang. Menurut dia, wisatawan luar dan dalam negeri lebih memilih menunda berlibur demi menjaga diri dari paparan virus korona baru.
Selama tiga bulan, Octowandi kehilangan pendapatan 90 persen. Namun, dia menolak menyebutkan angka. Selama ini sebagian tamu yang menginap di Mars Resort merupakan wisatawan luar negeri. ”Siapa yang akan datang ke Sabang? Saya kira tidak ada yang mau bepergian selama kondisi dunia belum normal,” katanya.
Octowandi menuturkan, dunia usaha sektor wisata di Kota Sabang saat ini terpuruk ke titik terendah. Selain pendapatan hilang, mereka masih harus membayar kewajiban, seperti biaya listrik, pajak, dan upah pekerja.
”Tidak ada yang peduli terhadap dunia usaha wisata. Kami dibiarkan terpuruk. Kami minta relaksasi biaya listrik dan pajak dipenuhi,” kata Octowandi.
Sekretaris Daerah Sabang Zakaria menuturkan, selama penutupan tempat wisata, kami kehilangan potensi pendapatan Rp 48 miliar. Padahal, sebagian besar pendapatan Sabang dari wisata. Pada awal Juni, Pemkot Sabang memutuskan membuka kembali akses ke Sabang meski dengan syarat masuk yang ketat.
Zakaria berharap, semakin ramai warga yang datang ke Sabang merangsang aktivitas ekonomi. Dalam masa normal baru, sasaran masih wisatawan lokal atau Aceh. Namun, jika sudah normal baru, diperluas ke wisatawan Nusantara.
Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Aceh Wildan mengatakan, UKM yang terdampak Covid-19 mencapai 20.307 unit, 90 persen dari total usaha. Dampak yang dirasakan UKM adalah kesulitan bahan baku, kehilangan pasar, dan harga bahan mahal.
Pemprov Aceh memberdayakan pelaku UKM dengan pengadaan masker 215.000 lembar. Sebanyak 803 pekerja di 88 UKM terlibat memproduksi masker kain dengan total anggaran Rp 1,5 miliar.
Selama pandemi, Dinas Koperasi dan UKM Aceh melakukan pendampingan melalui daring terhadap pelaku usaha. Pemerintah juga mendorong perbankan relaksasi kredit, tetapi Pemprov Aceh tidak bisa membantu modal usaha sebab ketersediaan dana yang terbatas.
Pada April 2020, Dinas Koperasi dan UKM Aceh membuat halaman laman acehsale.co.id sebagai tempat penjualan daring bagi produk UKM. Peminatnya masih rendah, tetapi Wildan yakin ke depan situs acehsale.co.id akan menjadi model baru penjualan bagi produk UKM di Aceh.