Majelis Hakim Tolak Eksepsi Bupati Sidoarjo Nonaktif Saiful Ilah
Majelis hakim pada pengadilan tindak pidana korupsi menolak seluruh eksepsi atau nota keberatan dari tim penasihat hukum terdakwa Bupati Sidoarjo nonaktif Saiful Ilah. Jaksa akan melanjutkan dengan pemeriksaan perkara.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Majelis hakim pada pengadilan tindak pidana korupsi menolak seluruh eksepsi atau nota keberatan dari tim penasihat hukum terdakwa Bupati Sidoarjo nonaktif Saiful Ilah. Atas penolakan itu, jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi akan kembali melanjutkan pemeriksaan perkara.
”Mengadili, satu, menyatakan nota keberatan atau eksepsi dari penasihat hukum terdakwa Saiful Ilah tidak dapat diterima,” ujar Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana saat pembacaan putusan sela terhadap terdakwa Saiful Ilah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jawa Timur, Senin (15/6/2020).
Selain itu, surat dakwaan penuntut umum yang dibacakan pada sidang tanggal 3 Juni lalu sah menurut hukum sehingga bisa digunakan sebagai dasar pemeriksaan terhadap perkara atas nama Saiful Ilah. Majelis hakim memerintahkan jaksa KPK melanjutkan pemeriksaan perkara pada persidangan berikutnya.
Mengadili, satu, menyatakan nota keberatan atau eksepsi dari penasihat hukum terdakwa Saiful Ilah tidak dapat diterima.
Saiful Ilah, yang merupakan Bupati Sidoarjo nonaktif, didakwa menerima suap terkait proyek-proyek infrastruktur senilai total Rp 1,4 miliar dari sejumlah pengusaha. Kejahatan luar biasa itu dilakukan bersama-sama dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Sumber Daya Air (DPUBMSDA) Sidoarjo Sunarti Setyaningsih, Kepala Bidang Pembangunan Jalan dan Jembatan DPUBMSDA Sidoarjo Judi Tetrahastoto, serta Kepala Unit Lelang Pengadaan (ULP) Barang dan Jasa Pemkab Sidoarjo Sanadjihitu Sangadji.
Menanggapi putusan sela tersebut, jaksa penuntut umum KPK, Arief Suhermanto, meminta waktu sepekan untuk menghadirkan saksi-aksi dalam perkara itu. Selain itu, jaksa meminta supaya pemeriksaan saksi terhadap perkara terdakwa Saiful Ilah dilakukan bersama-sama dengan perkara terdakwa Sunarti, Judi Tetra, dan Sangadji.
”Hal itu dilakukan karena saksi yang dihadirkan sama orangnya sehingga untuk mempersingkat waktu dan supaya para saksi tidak memberikan kesaksian dua kali pada waktu yang hampir bersamaan, pemeriksaannya dijadikan satu,” ujar Arief.
Sementara itu, penasihat hukum Saiful Ilah, Joko Cahyono, mengatakan, pihaknya tetap menghormati putusan majelis hakim yang menolak eksepsinya. Dia siap menghadapi persidangan selanjutnya dengan berusaha maksimal membuktikan kliennya tidak bersalah.
”Dalam putusan tadi kami menggarisbawahi, majelis hakim siap membebaskan terdakwa apabila terbukti tidak bersalah. Sebaliknya, tidak segan-segan menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah,” kata Joko.
Sebelumnya, tim penasihat hukum Saiful Ilah mengajukan nota keberatan terhadap dakwaan jaksa KPK karena dinilai tidak jelas dan tidak cermat. Menanggapi nota keberatan terdakwa itu, jaksa KPK menjawab bahwa dakwaan yang disusun telah memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Akui terima suap
Dalam sidang terpisah, jaksa KPK menghadirkan dua saksi dalam perkara dengan terdakwa Sunarti, Judi Tetrahastoto, dan Sangadji. Mereka adalah anggota kelompok kerja (pokja) lelang proyek Jalan Candi-Prasung Pujianto. Selain itu, anggota pokja lelang proyek Jalan Candi-Prasung dan juga anggota pokja lelang proyek Pasar Porong Yosephina.
Kepada majelis hakim, para saksi mengakui menerima uang Rp 30 juta dari pengusaha pemenang lelang proyek Jalan Candi-Prasung Ibnu Ghofur dan Rp 10 juta dari Kepala ULP Sangadji. Uang Rp 10 juta itu diduga kuat terkait proyek Pasar Porong yang juga dimenangkan oleh perusahaan milik Ibnu Ghofur.
Perkara suap itu terungkap dari hasil operasi tangkap tangan KPK yang berlangsung di Sidoarjo, Selasa (7/1/2020). Saat itu, Saiful tengah menerima uang dari pengusaha rekanan, yakni Ibnu Ghofur dan Totok Sumedi, sebesar Rp 350 juta yang dititipkan melalui Kepala Bagian Protokol dan Rumah Tangga Budiman serta ajudannya, Novi.
Dalam dakwaannya, KPK mengatakan, pada 2019, Saiful memiliki program pembangunan infrastruktur melalui DPUBMSDA dan Dinas Perumahan Permukiman Cipta Karya dan Tata Ruang (P2CTKR). Untuk melaksanakan program tersebut, Saiful memerintahkan kepala dinas dan kabidnya melakukan lelang paket pekerjaan.
Ibnu Ghofur dan Totok Sumedi, yang merupakan pendukung Saiful dalam pilkada Bupati Sidoarjo, menginginkan mendapat paket pekerjaan tahun anggaran 2019 sehingga mendekati para pihak. Ghofur menyiapkan lima perusahaan miliknya, sedangkan Totok menyiapkan dua perusahaan.
Ghofur berhasil mendapatkan proyek, besar di antaranya pembangunan Jalan Candi-Prasung senilai Rp 22 miliar, pembangunan wisma atlet senilai Rp 13,4 miliar, renovasi Pasar Porong Rp 17,5 miliar, dan peningkatan saluran Kali Pucang senilai Rp 5,5 miliar. Sedmentara Totok mendapatkan proyek, antara lain, peningkatan Jalan Kendalpecabean-Kedung Banteng sebesar Rp 2,3 miliar, dan pemeliharaan Kanal Magetan di Gedangan sebesar Rp 430 juta.
Atas perbuatannya, Saiful Ilah, Sunarti, Judi, dan Sangadji didakwa melanggar Pasal 12 Huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP. Mereka juga didakwa dengan dakwaan subsider melanggar Pasal 11 UU Tipikor. Ancaman hukumannya maksimal 20 tahun penjara.