Di tengah pengawasan yang lemah dari pemerintah dan DPR, masyarakat berperan besar dalam mencegah korupsi terjadi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam kondisi bencana, peluang korupsi terbuka lebar. Permasalahan pendataan yang tidak tepat dan kurangnya transparansi membuat seseorang dapat dengan leluasa melakukan korupsi. Karena itu, perlu ada pengawasan yang ketat.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengungkapkan, dalam kondisi bencana sering terjadi korupsi karena orang mudah menghindari hukuman, ditambah lagi sulit bagi aparat penegak hukum untuk membuktikan tindakan korupsi tersebut.
”Itu sebabnya banyak mafia koruptor. Aparat pemerintahan yang bermasalah mencoba mencari peluang untuk korupsi di saat bencana,” kata Feri dalam diskusi daring bertajuk ”Bencana Korupsi Bantuan Bencana”, Senin (18/5/2020).
Ia mengungkapkan, korupsi di tengah bencana adalah tindakan yang direncanakan dan tidak hanya sekadar mencari ruang kesempatan. Hal tersebut bisa terjadi karena dalam kondisi bencana orang dapat melakukan korupsi dengan lebih mudah karena ada uang yang tersedia dengan jumlah yang banyak. Di sisi lain, orang tidak terlalu memperhatikan perilaku para koruptor dan pemerintah lemah dalam pengawasan.
Selain itu, tidak ada aturan khusus untuk mencegah korupsi bencana. ”Saat tidak ada bencana saja aturan khususnya dipotong-potong, dibasmi, apalagi di saat bencana. Ini menjadi peluang yang nikmat untuk korupsi,” ujar Feri.
Persoalan transparansi dan lemahnya pengawasan juga menjadi penyebab korupsi dalam situasi bencana. Ia menyayangkan kurangnya keaktifan DPR dalam mengawasi kinerja pemerintah dalam penanggulangan bencana. Padahal, pengawasan menjadi salah satu fungsi dari DPR.
Karena itu, Feri mendorong publik agar aktif untuk mengoreksi langkah-langkah dan tindakan dari pembuat kebijakan, salah satunya melalui media sosial. Publik dapat menyampaikan bagaimana kebijakan tersebut dilaksanakan.
Persoalan pendataan
Pendataan yang kacau menjadi jalan bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Salah satu contoh buruknya pendataan tersebut terlihat dari jumlah daerah yang memperbarui Data Kesejahteraan Sosial Terpadu (DTKS).
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, pada 2018 hanya ada 286 daerah yang melakukan pembaruan data. Itu pun dilakukan hanya sekadar untuk keperluan administrasi saja sehingga masih ada data yang tidak ada NIK. Padahal, seharusnya DTKS tersebut sudah harus ada pembaruan sejak 2015.
Setelah terjadi pandemi Covid-19, pembaruan DTKS dilakukan sejumlah daerah. Hingga saat ini, dari 514 daerah yang ada, tersisa 91 daerah yang belum melakukan pembaruan DTKS.
Pahala menuturkan, bantuan sosial dan pengadaan barang/jasa sangat mudah dikorupsi, khususnya oleh para petahana yang akan ikut pilkada. Apalagi, terdapat banyak pintu dalam penyampaian bansos.
”Setidaknya ada enam (program) bansos. Jadi, terbayang dari enam pintu ini menyasar masyarakat miskin, padahal DTKS-nya berantakan,” kata Pahala.
Berdasarkan data Kementerian Sosial, bantuan sosial bagi keluarga miskin dan masyarakat yang terdampak Covid-19, yakni bantuan sosial reguler, terdiri dari Program Keluarga Harapan dan Program Sembako.
Selain itu, ada bantuan sosial khusus yang terdiri dari bantuan sosial sembako untuk DKI Jakarta, bantuan sosial sembako untuk Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetebek), dan bantuan sosial tunai untuk di luar Jabodetabek. Program lainnya adalah bantuan tanggap darurat Kementerian Sosial berupa bantuan sosial sembako dan makanan siap saji Kemensos bagi warga DKI Jakarta serta bantuan santunan kematian.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, mengungkapkan, ketika data tidak sinkron dan tidak diperbarui, maka yang terjadi adalah kekacauan. Hal tersebut terlihat dari banyaknya orang yang mengeluh karena tidak mendapatkan bantuan meskipun terdampak Covid-19. Sementara banyak yang menerima bantuan sampai dua kali.
Hal itu terjadi karena skema bantuan yang beragam. Karena itu, ICW menyarankan agar bantuan lebih baik diberikan secara tunai dan bukan barang. ”Kalau tunai masyarakat akan tahu berapa yang mereka dapat dan kalau tidak dapat senilai yang mereka harusnya dapat, mereka akan protes. Kalau dalam bentuk barang yang dilakukan adalah mark up oleh penyedia barang dan orang yang membeli barang tersebut,” kata Adnan