Petugas lapangan yang menangani Covid-19 tak hanya berisiko tertular. Bahkan, kini mereka bertaruh nyawa menghadapi tindak kekerasan sebagian warga yang mengambil paksa jenazah pasien Covid-19.
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·5 menit baca
Petugas lapangan yang menangani Covid-19 tak hanya berisiko tertular. Bahkan, kini mereka bertaruh nyawa menghadapi tindak kekerasan sebagian warga yang mengambil paksa jenazah pasien Covid-19. Tindakan yang mengoyak rasa kemanusiaan.
Firasat buruk menghampiri Edy Maunusu (42) saat menghidupkan mesin mobil jenazah dari RSUD dr Haulussy Ambon, Jumat (26/6/2020). Jenazah HK (58), korban Covid-19 yang ada di dalam mobil, baru saja hendak diambil paksa pihak keluarga. Dengan cemas, ia mengemudi menuju tempat pemakaman khusus Covid-19 di Hunuth, 16 kilometer dari rumah sakit.
Saat tiba di Jalan Jenderal Sudirman, Desa Batu Merah, ratusan orang memenuhi badan jalan. Mereka berteriak dan menunjuk-nunjuk mobil.
Saya dipukul oleh keluarga tuan HK di bagian wajah dan badan berulang kali.
Di antara mereka ada yang mencoba mengambil paksa jenazah HK di RSUD Haulussy, sekitar satu jam sebelumnya. Mereka menerobos masuk hingga ke kamar jenazah dengan mengenakan alat pelindung diri seadanya serta memukul Jomima Orno (38), perawat yang membawa keluar jenazah dari ruang isolasi ke kamar jenazah.”Saya dipukul oleh keluarga tuan HK di bagian wajah dan badan berulang kali,” kata Jomima yang trauma atas insiden itu. Bajunya saat itu sampai terkoyak.
Keluarga yang tidak terima atas kematian HK bertindak beringas. Mereka berkeyakinan HK meninggal bukan karena Covid-19 hingga ingin membawa pulang dan menguburkan sendiri jenazahnya. Tim gugus tugas dibantu aparat keamanan datang. Setelah negosiasi, perwakilan keluarga setuju jenazah dimakamkan secara protokol Covid-19. Meski begitu, banyak yang berkeberatan.
Kerumunan massa di jalan kian meyakinkan Edy akan firasat buruk itu. Ternyata persetujuan keluarga di rumah sakit hanya siasat. Tak bisa mengambil jenazah di rumah sakit, mereka mencegat di jalan.
Melihat kerumunan massa, Edy menarik napas panjang untuk menguatkan diri. Tak ada pilihan mundur atau mencari jalur lain. Ia terus maju. Melihat Edy mengurangi kecepatan mobil, massa berlari mendekat menyerbu mobil jenazah. Ada yang mendobrak pintu belakang dan ada pula yang menarik pintu depan meminta Edy segara turun dan membuka pintu.
”Ada yang hampir mau pukul saya. Saya hanya begini (mengatup kedua telapak tangan di depan dada) sambil bilang minta maaf. Saya minta maaf berulang kali,” kata Edy.
Bapak tiga anak itu terdiam dan menitikkan air mata saat menceritakan insiden yang dialaminya. ”Katong (kami) kerja dengan hati,” katanya.
Tak hanya menimpa Edy dan Jomima, kekerasan juga menimpa petugas lapangan lainnya. Dokter Candra, koordinator tim penelusuran kontak pasien Covid-19 dari Dinas Kesehatan Ambon, punya banyak pengalaman pahit saat ia dan tim menyusuri lorong-lorong sempit di permukiman padat penduduk. Tidak hanya waspada terhadap penyebaran virus, mereka juga menghadapi risiko serangan dari warga.
Berulang kali mereka dihadang warga saat hendak melakukan tes cepat. Penghadangan diikuti dengan kata-kata kasar, makian, dan ancaman pembunuhan. ”Ada yang sampai keluarkan parang mau habisi kami. Tim pun memilih mundur. Ini bukan sekali terjadi,” katanya.
Beredar isu
Begitu juga perjuangan Kepala Puskesmas Waehaong dokter Augie Joltuwu. Ia dan tim pernah disambut unjuk rasa warga di kompleks Silale saat hendak melakukan tes cepat terhadap tiga orang yang terlibat kontak erat dengan seorang pasien. Sebelum mereka tiba, beredar isu tes cepat akan dilakukan terhadap semua warga di kompleks itu. Terjadi konsentrasi massa, demonstrasi, dan pengusiran.
Setelah suasana reda, Augie yang tengah hamil delapan bulan bersama tim kembali mendekati dan membujuk tiga orang itu. Hanya itulah cara menghentikan penyebaran Covid-19 di Kota Ambon yang merupakan tertinggi di Provinsi Maluku. Hingga Senin (29/6), ada 514 kasus di Ambon dari total 728 kasus di Maluku.
Saya sangat sakit hati kalau mendengar isu bahwa apa yang kami lakukan ini untuk mencari uang.
Bujukan itu berhasil. Mereka mau menjalani tes dan semua positif Covid-19. ”Saya, meski sedang hamil, tetap bekerja karena ini tanggung jawab dan panggilan nurani saya sebagai seorang petugas kesehatan. Saya sangat sakit hati kalau mendengar isu bahwa apa yang kami lakukan ini untuk mencari uang. Nyawa kami dan nyawa keluarga kami tidak ternilai harganya dibandingkan dengan uang,” ujarnya.
Memang beredar isu dalam masyarakat Maluku bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 untuk meraup keuntungan. Hal itu lalu dikaitkan dengan sejumlah penanganan kasus yang tidak tepat. Isu itu menggelinding bak bola liar yang menggerus kepercayaan sebagian masyarakat kepada pemerintah. Akibatnya, muncul perlawanan hingga pembangkangan.
Pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19, serta penolakan warga atas uji massal Covid-19, juga terjadi di sejumlah daerah, salah satunya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka yang mengambil paksa jenazah Covid-19 ditetapkan sebagai tersangka. Belakangan, hasil tes menunjukkan sebagian dari mereka juga terjangkit Covid-19.
Ketua Harian Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Maluku Kasrul Selang mengakui belum menemukan formula yang tepat dalam penanganan Covid-19. Banyak hal dicoba dan terus disempurnakan. Ia pun mengakui tergerusnya kepercayaan itu. ”Boleh kritis, tetapi jangan berpikir negatif, apalagi melakukan kekerasan,” ujarnya.
Untuk mencegah terjadinya kekerasan kembali, pengamanan di rumah sakit dan tempat karantina diperketat. Petugas lapangan yang melakukan tes cepat akan dilindungi anggota TNI dan Polri. Pengantaran jenazah dari rumah sakit ke tempat pemakaman juga akan dikawal aparat dengan personel lebih banyak.
Pengamat sosial dari Universitas Pattimura Ambon, Josep Antonius Ufi, berpendapat, untuk memulihkan kepercayaan publik, gugus tugas harus bisa menjelaskan dan menjawab pertanyaan yang berkembang di masyarakat, termasuk transparansi dalam penggunaan anggaran. Dengan begitu, publik bisa yakin. ”Masih ada harapan untuk itu,” ujarnya.
Menurunnya kepercayaan publik di Maluku, hingga yang paling ekstrem memunculkan tindak kekerasan terhadap petugas penanganan Covid-19 di lapangan, perlu dicarikan solusi jitu. Jangan sampai ada lagi petugas yang sudah bertaruh nyawa di garda terdepan justru dimarahi, dimaki-maki, dipukul, dan diancam dengan parang. Jika ini terulang, penanganan Covid-19 akan semakin sulit.