Kedisiplinan Pengelola Wisata dan Pengunjung Masih Jadi Pekerjaan Rumah di Banyuwangi
Sejumlah tempat wisata di Banyuwangi sudah melengkapi fasilitas pendukung protokol kesehatan. Namun, itu saja tidak cukup. Kedisiplinan pengelola dan pengunjung juga harus terus dijaga.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Sejumlah tempat wisata di Banyuwangi sudah melengkapi fasilitas pendukung protokol kesehatan. Namun, itu saja tidak cukup. Kedisiplinan pengelola dan pengunjung juga harus terus dijaga agar tempat wisata tidak menjadi kluster baru penyebaran Covid-19.
Hal itu tampak dari pantuan Kompas di sejumlah destinasi wisata di Banyuwangi, Rabu (15/7/2020). Destinasi yang dipantau, antara lain, Taman Gandrung Terakota, Agrowisata Taman Suruh, Pantai Boom Marina Banyuwangi, dan Pantai Cacalan.
Setiap hendak memasuki destinasi wisata tersebut, setiap pengunjung diwajibkan menjalani protokol kesehatan khusus Covid-19. Di setiap loket pembelian tiket, terdapat petugas yang mengukur suhu tubuh para pengunjung.
Tak jauh dari loket, ada tempat khusus cuci tangan bagi pengunjung. Tempat cuci tangan yang disediakan bukan lagi tempat cuci tangan darurat yang dibuat seadanya, melainkan tempat cuci tangan permanen lengkap dengan sabun cair.
Di Taman Gandrung Terakota, pengelola menyediakan sejumlah hand sanitizer di beberapa sudut tempat, yaitu sanggar tari, pintu masuk, kamar mandi, ruang galeri, dan Rumah Tjoklat.
Adapun di Pantai Cacalan, Pantai Boom Marina, dan Agrowisata Taman Suruh sudah banyak disediakan tempat untuk cuci tangan. Berbagai rambu dan spanduk berisi peringatan untuk tetap menggunakan masker dan jaga jarak juga banyak di pasang di tempat strategis.
Kendati sejumlah fasilitas pendukung protokol kesehatan sudah tersedia, dari pantuan Kompas tidak banyak warga yang menggunakannya. Salah satu indikatornya ialah lokasi di sekitar tempat cuci tangan tampak kering, seolah tak ada yang menggunakan. Padahal tempat cuci tangan tersebut berfungsi.
Kedisiplinan menggunakan masker di sejumlah tempat wisata juga masih kendur. Sejumlah penjaja makanan dan minuman di Pantai Cacalan, Pantai Boom Marina, dan Agrowisata Taman Suruh tidak menggenakan masker, sarung tangan, maupun face shield.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda tidak menampik fakta tersebut. Ia mengaku hal itu masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan bersama.
”Benar. Saat ini yang diperlukan adalah konsistensi. Ini menjadi pekerjaan rumah kami untuk terus mengedukasi pengelola dan pengunjung. Adaptasi kebiasaan baru dalam pariwisata bukan berarti pelonggaran, melainkan peningkatan kedisiplinan,” ujarnya.
Bramuda mengatakan, pihaknya terus berkeliling memantau sejauh mana para pengelola disiplin dalam menjalankan protokol kesehatannya. Bramuda mengaku tidak segan untuk memberi sanksi berupa penutupan sementara bagi pengelola yang lalai terhadap protokol kesehatan.
Adaptasi kebiasaan baru dalam pariwisata bukan berarti pelonggaran, melainkan peningkatan kedisiplinan.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi bersama Tim Gugus Tugas Penanganan Covid-19 pernah menutup sebuah sentra kuliner, 3 toko modern, dan 6 warung makan karena kedapatan mengabaikan protokol kesehatan. Selain mendapat sanksi penutupan selama tiga hari, para pengelola juga diwajibkan menjalani pembinaan ulang terkait protokol kesehatan.
”Kami saat ini juga sedang memikirkan sanksi apa yang bisa kami berikan kepada pengunjung. Karena tak jarang, pengelola sudah berusaha menerapkan protokol kesehatan, tetapi pengunjung enggan menjalankannya,” tutur Bramuda.
Salah satu yang kerap menjadi tantangan bagi para pengelola ialah pembatasan jumlah pengunjung. Saat hari aktif kerja, jumlah kunjungan memang tidak banyak sehingga protokol kesehatan bisa dilakukan dengan ketat. Namun, saat akhir pekan, ketika jumlah pengunjung membeludak, protokol kesehatan kerap diabaikan.
General Manager Taman Gandrung Terakota Mohammad Mutaqin mengatakan, pihaknya membatasi kunjungan hanya untuk 225 orang per hari. Jumlah tersebut merata di hari aktif kerja maupun di akhir pekan.
”Dari perhitungan luas wilayah dan kapasitas area, daya dukung kami bisa untuk 1.000 orang. Namun, saat ini kami hanya batasi 225 orang per hari,” ujarnya.
Mutaqin mengatakan, adaptasi kebiasaan baru di tempatnya tidak hanya diterapkan bagi karyawan dan tamu. Para penari gandrung yang tampil di akhir pekan juga ”dipaksa” beradaptasi.
Ia mengungkapkan, para penari gandrung kini menggunakan sarung tangan lateks dan face shield ketika tampil. Sarung tangan dan face shield tersebut tetap dipakai juga saat melayani foto bagi para tamu.
Para penari, lanjut Mutaqin, juga harus siap tampil dua kali di akhir pekan apabila pengunjung sangat ramai. Hal itu dilakukan karena pengelola harus menggelar pertunjukan lebih dari satu kali. Pasalnya, jika pertunjukan hanya dilakukan satu kali, dikhawatirkan terjadi penumpukan jumlah pengunjung.
Kedisiplinan dalam menerapkan protokol kesehatan juga dianggap penting bagi dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Dian Santo Prayoga. Menurut dia, kedisiplinan harus dilakukan sebagai upaya memutus rantai penyebaran Covid-19.
”Pengelola wisata harus tegas. Kalau ada pelanggan yang tidak disiplin, pemilik warung harus berani menolak atau meminta pelanggan tersebut membawa pulang pesanannya. Di masa seperti ini, ketegasan dan kedisipilinan menjadi kunci memutus rantai penyebaran,” ujarnya.