Losari, Sepotong Kemewahan di Tengah Pandemi Covid-19
Pantai Losari bukan hanya ikon Kota Makassar, melainkan juga tempat menikmati kebersamaan dan kegembiraan. Kawasan ini sudah menjadi tempat prestise, bahkan sejak zaman Kerajaan Gowa, pemerintahan Belanda, hingga kini.
Oleh
Reny Sri Ayu
·6 menit baca
Setengah tahun sudah pandemi Covid-19 membatasi langkah warga bepergian ke banyak tempat. Warga kota seolah terpenjara dan dipaksa lebih banyak melakukan aktivitas bekerja dan belajar dari rumah. Maka, menemukan tempat terbuka untuk bersantai sembari menikmati matahari tenggelam tanpa perlu bepergian jauh adalah kemewahan. Di Makassar, Sulawesi Selatan, sepotong kemewahan itu adalah Pantai Losari.
Hari beranjak gelap, Rabu (30/9/2020), di pelataran anjungan Pantai Losari saat matahari perlahan turun. Bias sinarnya memantulkan jingga di langit dan permukaan air. Gradasi warna jingga, biru, putih, dan kelabu membentuk lukisan alam yang indah. Di bawah atap langit, manusia dan benda-benda di sekitarnya perlahan berubah menjadi siluet.
Seolah tak ingin kehilangan momen senja ini, sejumlah pengunjung mengabadikan gambar. Selebihnya menikmati suasana sembari duduk di bangku beton di area anjungan. Saat matahari benar-benar tenggelam, sebagian meninggalkan Losari. Sebagian lain tetap duduk menunggu malam di bawah lampu penerang.
”Alhamdulillah, lumayan menyegarkan pikiran, refreshing sejenak. Biasanya saya ke sini sama anak dan istri saja. Tetapi, kali ini ayah dan ibu saya juga ingin ikut. Mungkin mereka juga sudah bosan di rumah dan ingin bermain bersama cucunya di sini,” kata Hariyandi (45), warga Kecamatan Tamalanrea, Makassar.
Jarak dari rumahnya ke Losari sekitar 13 kilometer. Sekitar pukul 16.00 Wita mereka berangkat. Saat itu, kawasan Losari masih panas. Namun, pepohonan dengan bangku beton di bawahnya cukup teduh untuk tempat bermain dan duduk menunggu sore.
Sore itu, Novia Yulianti (22) dan empat rekannya juga ikut menjadi penikmat senja. Mereka memang gemar berburu senja. Saat keadaan normal, mereka acap kali menghabiskan akhir pekan dengan berkeliling ke berbagai titik di luar Makassar untuk menikmati senja.
”Sejak pandemi Maret lalu, saya bahkan belum lagi keluar kota. Orangtua melarang dan saya juga memilih tidak mau ke mana-mana dulu. Beruntung Losari sudah dibuka. Lumayan bisa duduk di sini menikmati angin dan menghabiskan sore,” katanya.
Saat awal pandemi dan sejumlah tempat umum ditutup, Losari memang menjadi salah satu yang juga ditutup. Penutupan berlanjut saat pembatasan sosial berskala besas (PSBB) digelar Pemerintah Kota Makassar dua pekan sejak 24 April 2020. Saat PSBB berakhir, Losari bahkan masih ditutup dan baru dibuka pekan terakhir Juli.
Dibuka dengan konsep normal baru, pengawasan protokol kesehatan di kawasan ini dilakukan sangat ketat. Pengunjung yang masuk ke area ini wajib menggunakan masker dan menjaga jarak. Petugas Satuan Polisi Pamong Praja Makassar juga rutin melakukan penjagaan dan edukasi kepada warga.
Pantauan di kawasan Losari menunjukkan warga cukup patuh. Tak ada yang tak menggunakan masker di kawasan ini. Memang sesekali ada yang membuka masker, tetapi biasanya tak lama. Itu pun dilakukan jika belum banyak pengunjung.
Kepala Satpol PP Kota Makassar Iman Hud mengatakan, pihaknya terus memastikan protokol kesehatan dipatuhi di kawasan ini. ”Petugas setiap saat berjaga, bahkan sampai malam. Kami ingin memastikan bahwa Losari tidak menjadi kluster Covid-19. Makanya, semua pengunjung wajib memakai masker dan tidak boleh berkerumun. Kami sadar warga butuh tempat bersantai, tetapi kami juga ingin memastikan mereka tak tertular virus,” katanya.
Pengetatan ini pun diapresiasi pengunjung Losari, bahkan hal itu menjadi salah satu faktor kenapa warga merasa aman mendatangi ruang publik itu. ”Itulah kenapa saya berani mengajak anak dan orangtua saya ke sini karena saya melihat di sini (protokol kesehatan) cukup ketat. Pengunjung rata-rata memakai masker dan tidak berkerumun atau mendekat ke orang yang bukan kelompoknya,” kata Haryandi.
Pengawasan sebenarnya sudah dilakukan sejak di jalan sebelum masuk kawasan Losari. Operasi yustisi protokol kesehatan rutin dilakukan petugas gabungan. Pengunjung yang sekadar melintas atau bermaksud ke Losari wajib bermasker.
Kawasan pantai sepanjang 910 meter yang menjadi ikon Kota Makassar itu sudah melalui sejarah panjang. Transformasi Losari awalnya sebagai kebun kelapa, kemudian menjadi pusat jajanan terpanjang, hingga bentuknya kini sebagai anjungan yang diadaptasi banyak kota/kabupaten di Indonesia.
Ikon bersejarah
Amirullah, sejarawan Universitas Hasanuddin, mengatakan, saat Makassar masih menjadi bagian dari Kerajaan Gowa hingga saat dikuasai pemerintah kolonial Belanda, Losari adalah kebun kelapa yang memisahkan pantai dengan perkampungan dan sawah di sekitarnya.
”Pada 1870-an, Losari adalah perkebunan kelapa yang mapan dengan kompleks bangunan dan dermaga sendiri, berbatasan dengan sawah di sisi selatan dan timur. Di sebelah utara terbentang perkebunan Arendsburg yang lebih sempit. Ada juga Kampung Bessi, tempat bekas penduduk Kampung Dompo dimukimkan pada awal abad ke-19 setelah desa mereka di tepi laut dihancurkan oleh badai,” kata Amirullah.
Pada 1916, sawah yang bersebelahan dengan Losari telah tergantikan oleh kampung dan kebun kelapa, yang mendapat tekanan ketika kota meluas lebih jauh ke selatan. Pada 1919, sebuah kompleks perumahan untuk lebih dari seratus keluarga karyawan kota tingkat bawah dibangun di pedalaman dari Pantai Losari.
”Tetapi, perubahan nyata dimulai pada Februari 1929 ketika ombak menyapu kampung pesisir Losari. Itu membuat pemerintah membangun tembok laut pelindung dan bulevar pantai yang pendek. Lebih jauh ke pedalaman, jalan baru yang sejajar dengan pantai, Bessiweg (sekarang Jalan Lamaddukelleng), membagi dua Losari, dan ini merangsang pengembangan pinggiran kota di sisi Losari,” kata Amirullah.
Dalam catatan sejarah, dualisme pengembangan Makassar terlihat jelas pada 1938. Jalan-jalan rapi berjajar dengan vila-vila Eropa sederhana yang bercabang di Barat Bessiweg. Sementara kampung pedalaman tetap begitu miskin dan bobrok padahal letaknya sangat strategis di dekat jantung kota. Ini membuat pemerintah kota mempertimbangkan pemindahan mereka.
”Keamanan dan prestise lokasi tepi laut ditetapkan ketika dua rumah modern yang berdiri pada 1938 terbukti mampu mengatasi musim barat. Salah satunya adalah kediaman resmi baru wali kota Makassar. Pada saat itu, orang-orang Eropa menghubungkan pantai dengan kesenangan daripada bahaya, dan berlayar dan berenang menjadi ciri utama dalam kenangan kolonial,” kata Amirullah.
Pada era modern, kawasan Losari mengalami banyak perubahan. Pernah menjadi pasar ikan, lalu beralih menjadi tempat berjualan pedagang makanan di sepanjang tanggul laut. Karena itu, Losari pernah mendapat julukan rumah makan terpanjang.
Pada 2003, pembenahan Losari mulai dirancang. Reklamasi menjadi pilihan karena kebutuhan warga kota untuk ruang terbuka yang kian mendesak. Walau awalnya banyak dikecam, pembangunan terus berjalan. Pada awalnya hanya satu anjungan.
Namun, kebutuhan tambahan ruang terbuka dan apresiasi warga kota terhadap pembenahan Losari membuat pemerintah akhirnya menambah hingga menjadi tiga anjungan. Ketiganya adalah anjungan Pantai Losari di bagian tengah serta anjungan Bugis-Makassar dan Toraja-Mandar di sisi kanan dan kiri
Hingga kini, Losari terus mengemban fungsi sebagai ruang terbuka dan bermain bagi warga kota. Di tengah pandemi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat, Pemerintah Kota Makassar akan kembali merevitalisasi Losari.
Penjabat Wali Kota Makassar Rudy Djamaluddin mengatakan, anggaran Rp 20 miliar dari APBD Kota Makassar disiapkan untuk melakukan pembenahan di sana-sini tanpa mengubah bentuk Losari yang ada sekarang. Ini tentu menjadi kabar gembira bagi warga kota, terlebih saat ini saat pandemi membatasi langkah mereka bepergian jauh.