Setahun, Polda Aceh Tangkap 2.144 Tersangka Kasus Narkotika
Sebagian pencandu narkoba dari keluarga ekonomi rendah sehingga keterbatasan biaya menjadi kendala membawa mereka ke rumah rehab. Pemkab/pemkot perlu memikirkan untuk membantu rehabilitasi warganya yang jadi pengguna.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sepanjang 2020, Kepolisian Daerah Aceh menangani 1.025 kasus kriminal penyalahgunaan narkotika. Dari kasus itu, 2.144 orang ditetapkan sebagai tersangka serta 141 kilogram sabu dan 100.000 butir ekstasi disita.
Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Wahyu Widada, dalam konferensi pers, Selasa (15/12/2020), menuturkan, kasus penyalahgunaan narkotika di Aceh masih cukup tinggi. Wahyu mengatakan, penindakan kasus narkotika menjadi salah satu fokus kerja kepolisian. Jajaran kepolisian hingga tingkat kepolisian sektor di kecamatan diminta bekerja keras untuk menindak pelaku, terutama bandar dan pengedar.
”Narkoba benar-benar menjadi ancaman bagi Aceh. Kita berusaha keras mencegah dan memberantas untuk menyelamatkan generasi muda Aceh,” kata Wahyu.
Kasus kriminal narkotika pada 2020 sedikit turun dibandingkan dengan 2019, yakni 1.521 kasus dengan jumlah tersangka 1.714 orang. Namun, jumlah tersangka lebih tinggi pada 2020, artinya jumlah orang yang terlibat dalam kasus kejahatan narkotika semakin banyak. Pada 2019, jumlah barang bukti yang disita berupa 121 kilogram sabu dan 4.348 butir ekstasi.
Sebagian besar para tersangka adalah warga Aceh, berusia muda atau berada di usia produktif. Kasus paling dominan terjadi di kawasan Aceh bagian utara-timur. Selama ini, kawasan Aceh Utara hingga Kabupaten Aceh Timur telah menjadi pintu masuk penyelundupan narkotika dari Malaysia.
Wahyu mengatakan, saat ini Aceh darurat narkoba sehingga tidak ada pilihan selain menyatakan perang terhadap narkotika. Jika peredaran narkoba tidak serius ditangani, generasi Aceh terancam. Wahyu mengajak pemkab/pemkot di Aceh dan tokoh ulama untuk bersama-sama melindungi generasi muda dari teror narkotika.
Narkoba benar-benar menjadi ancaman bagi Aceh. Kita berusaha keras mencegah dan memberantas untuk menyelamatkan generasi muda Aceh. (Wahyu Widada)
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Aceh Heru Pranoto mengatakan, Aceh menjadi pintu masuk narkotika karena letaknya yang strategis, berhadapan dengan Selat Malaka. Bandar sabu di beberapa negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand, memanfaatkan jalur laut memasok sabu ke Aceh. Dari Aceh, sabu didistribusikan ke Pulau Jawa.
Pada September 2020, BNN Aceh menggagalkan penyelundupan sabu di perairan Aceh Timur. Barang bukti 8 kilogram sabu dan 10.000 butir ekstasi disita. Pada umumnya, sabu yang masuk ke Aceh dikendalikan oleh bandar yang menetap di luar negeri. Sementara yang bertindak sebagai kurir adalah warga Aceh.
Heru mengatakan, bandar dan pengedar menjadi sasaran utama penindakan. Sementara pengguna diprioritaskan untuk direhab.
Ketua Yayasan Pinto Hijrah Dedi Saputra menuturkan, peredaran narkoba di Aceh semakin meresahkan. Pengguna narkoba umumnya adalah anak muda atau usia produktif. Data BNN Aceh hingga 2019, pengguna narkoba di Aceh 73.201 orang, tetapi yang direhabilitasi baru sekitar 1.350 orang.
Jika sudah menjadi pencandu sulit dipulihkan. Makanya, jangan coba-coba mencoba.
Dedi mengatakan, pengguna harus direhab, sedangkan bandar dan pengedar harus dihukum berat. Dedi mengatakan, pengguna jika tidak direhab selamanya akan ketergantungan pada narkoba. ”Jika sudah menjadi pencandu sulit dipulihkan, makanya jangan coba-coba mencoba,” kata Dedi.
Namun, sebagian pencandu narkoba dari keluarga ekonomi rendah sehingga keterbatasan biaya menjadi kendala membawa mereka ke rumah rehab. Oleh karena itu, lanjut Dedi, pemkab/pemkot perlu memikirkan untuk membantu rehabilitasi warganya yang menjadi pengguna narkoba.