Tagar ”Indonesia terserah” menggema di media sosial. Itulah satire publik sebagai respons atas kebijakan pemerintah yang dinilai berubah-ubah dan tidak jelas.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Tagar ”Indonesia terserah” menggema di media sosial. Itulah satire publik sebagai respons atas kebijakan pemerintah yang dinilai berubah-ubah dan tidak jelas.
Harus diakui, ada kebingungan di akar rumput tentang bagaimana pemerintah mengendalikan pandemi Covid-19. Kebingungan terjadi karena komunikasi dalam pemerintahan yang saling bertabrakan. Ada kontradiksi antara pernyataan dan kenyataan.
Publik dipusingkan dengan frasa yang tidak perlu diperdebatkan, antara ”mudik” dan ”pulang kampung”. Antara ”perang melawan Covid-19” dengan ”berdamai dengan Covid-19”. Perubahan kebijakan yang terlalu sering juga bisa membuka pelaksana demotivasi.
Ketika otoritas saling bertabrakan, yang menjadi korban adalah rakyat.
Pada satu sisi, pemerintah meminta pemuka masyarakat berkampanye untuk tidak mudik. Namun, pada sisi lain, sebab komunikasi yang tidak lengkap dan tidak menjelaskan konteks, moda transportasi dibuka. Mobilitas terjadi. Kerumunan orang tak terelakkan. Penutupan gerai restoran pun dijadikan ajang pengumpulan massa. Hal itu terjadi di pusat kota.
Relasi pusat dan daerah tidak mulus. Ada nuansa persaingan politik. Mungkin bagi orang yang tinggal di Ibu Kota, tidak tahu apa status daerahnya. Apakah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diperketat atau dilonggarkan?
Bangsa ini seperti merasakan hidup dengan banyak otoritas. Otoritas pemerintah pusat, kementerian, daerah, gugus tugas, gubernur, bupati, atau wali kota. Padahal, bagi rakyat, semua itu adalah pemerintah. Apa pun kebijakan akan diikuti. Yang tidak mau ikut, ya ditindak. Namun, ketika otoritas saling bertabrakan, yang menjadi korban adalah rakyat. Ini akan berpengaruh pada tingkat kepercayaan pada pemerintah.
Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara adalah pemegang otoritas tertinggi. Kebijakan penanganan pandemi harus jelas, terang, dan tegas agar bangsa ini ”memenangi” peperangan. Jika ada kebijakan berubah, ya dijelaskan mengapa berubah. Jangan tinggalkan teks tanpa konteks dan membiarkan penafsir bebas, menafsirkan sendiri teks tersebut.
Kita beruntung jiwa kegotongroyongan ada dan hidup di masyarakat. Memang ada yang protes. Namun, tren masyarakat punya semangat berbagi, semangat menolong. Nilai kemanusiaan tecermin dalam sila Pancasila, itu hidup dan harus dihidupkan. Mereka bekerja dalam sunyi untuk operasi kemanusiaan.
Harian ini mengangkat sisi positif dari masyarakat Indonesia. Solidaritas kian tumbuh. Tanpa orkestrasi, mereka bergotong royong, membantu sesama, tanpa memandang sekat birokrasi. Energi positif pada akar rumput ini harus diorkestrasi. Selain pembatasan berskala besar, perlu kolaborasi, siapa berbuat apa dan bukan siapa dapat apa dan berapa besar dapatnya.
Sudahkah pemimpin lembaga negara, pimpinan partai politik, pimpinan organisasi kemasyarakatan (ormas) besar, dan pengusaha duduk bersama secara virtual mengambil langkah bersama mengatasi pandemi Covid-19 dan menyelamatkan ekonomi. Bukanlah itu esensi Pancasila. Belajarlah dari akar rumput yang tulus.