Data penerima bantuan sosial yang mudah sekali afkir ditambah dengan keadaan kejadian di luar kemampuan manusia dan tak dapat dihindarkan membuka tabir betapa statisnya data dasar pembagian bansos.
Oleh
Udin Suchaini
·4 menit baca
Pembagian bantuan sosial kepada kelompok masyarakat terdampak Covid-19 sempat mengalami kisruh di sejumlah tempat akibat lambatnya penyaluran dan tidak tepatnya sasaran. Terlebih jika kedua masalah ini terjadi bersama, jadi kombinasi yang mematikan bagi aparat desa.
Dana desa (DD) yang dijadikan gawang terakhir bantuan langsung tunai (BLT) bagi warga desa memunculkan sejumlah kekhawatiran. Keluhan dan protes warga yang tak puas dilimpahkan kepada ketua RT/RW dan kepala desa sebagai ujung tombak pemerintahan.
Data penerima bantuan sosial (bansos) yang mudah sekali afkir ditambah dengan keadaan kahar (kejadian di luar kemampuan manusia dan tak dapat dihindarkan) membuka tabir betapa statisnya data dasar pembagian bansos. Kecepatan perubahan kehidupan sosial ekonomi masyarakat tak secepat perubahan data yang dimiliki pemerintah.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran terhadap pekerja menyebabkan jumlah penganggur meningkat, jutaan orang jatuh miskin, buruh dan pengusaha kecil tiba-tiba kehilangan pekerjaan. Akhirnya, perlu strategi lain untuk pemutakhiran data jika penyaluran bansos hendak didistribusikan tanpa ada sumbatan.
Secara hitungan kasar, 30 persen dana desa yang dialokasikan untuk bantuan langsung tunai dengan dana desa (BLT-DD) mampu menggawangi maksimal 166 keluarga per desa selama tiga bulan (April, Mei, dan Juni) dengan syarat DD masih utuh tersedia sebesar Rp 1 miliar di rekening kas desa. Sayangnya, anggaran yang tersedia baru 40 persen tahap pertama ditambah pencairan 40 persen tahap kedua, itu pun belum semua desa mencairkan dana desa tahap kedua.
Dana desa yang dijadikan gawang terakhir bantuan langsung tunai bagi warga desa memunculkan sejumlah kekhawatiran.
Di samping itu, sebagian dana desa yang cair pada tahap pertama telah digunakan untuk pembangunan desa berbasis padat karya sehingga DD di rekening kas desa juga telah berkurang. Sementara, menurut catatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, hingga Mei, penyaluran dana desa tahap kedua ke rekening kas umum daerah (RKUD) baru mencapai Rp 3,64 triliun atau 15 persen dari total dana Rp 24 triliun. Lebih kecil lagi, pencairan dari RKUD ke rekening kas desa (RKD) baru 2,64 persen atau Rp 633 miliar.
Padahal, BLT-DD ini sudah harus dicairkan mulai April dengan besaran per bulan Rp 600.000 per keluarga. Apabila diasumsikan ada 100 keluarga miskin yang terdata per desa, minimal dana Rp 180 juta harus disediakan oleh desa sehingga jika DD tahap kedua belum cair, akan ada keluarga yang belum menikmati BLT-DD.
Penyaluran BLT-DD
Menurut aturan, penerima BLT-DD merupakan keluarga miskin yang kehilangan mata pencarian, selain itu mereka yang belum terdata menerima Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan nontunai (BPNT), dan Kartu Prakerja, serta yang punya anggota keluarga yang rentan sakit menahun/kronis. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 6 Tahun 2020.
Untuk menjangkau mereka, pemerintah desa harus memiliki data spesifik dan terukur, siapa saja warganya yang berhak mendapatkan. Tanpa kesamaan pemahaman, tentu saja setiap desa akan memiliki persepsi berbeda.
Metode perhitungan penetapan jumlah penerima BLT-DD harus mengikuti aturan yang ada. Semakin besar anggaran DD, semakin besar persentase anggaran yang dapat dialokasikan untuk BLT-DD, berkisar 25 persen hingga 35 persen. Desa yang memiliki keluarga miskin lebih besar dari anggaran yang dialokasikan dapat menambah alokasi setelah dapat persetujuan pemerintah kabupaten/kota. Sementara penyaluran BLT-DD yang dilakukan dengan metode nontunai menambah potensi sumbatan pembagian BLT-DD.
Orang miskin jarang yang memiliki nomor rekening bank, sementara membuka rekening bank baru diperlukan biaya. Jika ini yang terjadi, anggaran Rp 600.000 yang disediakan tak dapat dinikmati seluruhnya. Selain itu, kantor kas bank dan agen bank belum merata di seluruh Indonesia, tentu saja keluarga miskin perlu mengeluarkan modal transportasi untuk menikmati layanan perbankan.
Orang miskin jarang yang memiliki nomor rekening bank, sementara membuka rekening bank baru diperlukan biaya.
Permasalahan modal untuk menuju ke bank dan buka rekening ini tentu saja berpotensi menjadi sumbatan penyaluran BLT-DD. Data Potensi Desa (Podes) 2018 yang dirilis BPS memberi gambaran masih ada 56.311 desa/kelurahan yang belum terjangkau akses perbankan. Hambatan ini pada dasarnya dapat diantisipasi jika aparat desa mampu bekerja sama dengan kantor kas bank, dengan menghadirkan agen bank di kantor kepala desa. Namun, jika hambatan ini tak terselesaikan, RT/RW atau kepala desa akan jadi tumpuan keluhan dan kritikan warga.
Menghadapi tuntutan warga bukan perkara mudah karena 75.436 kepala desa ditambah ratusan ribu ketua RT/RW memiliki pemahaman berbeda-beda. Menyamakan pemahaman ini sulit karena selain perbedaan tingkat pendidikan, kebijakan juga hanya digulirkan melalui peraturan, tanpa melalui proses pelatihan dan pendalaman.
Menurut Podes 2018, ada 11.096 kepala desa dengan pendidikan di bawah SMA, 45.440 berpendidikan SMA, dan 15.752 berpendidikan tinggi. Ketidakpahaman aturan bisa menyebabkan saling lempar tanggung jawab antara RT/RW, kepala desa, hingga pemkab/pemkot.
Saat ini, perbedaan pemahaman ini telah direspons dengan berbagai cara oleh pemerintah desa. Pertama, keluarga yang dapat lebih dari satu jenis bantuan dialihkan untuk keluarga lain yang terdampak Covid-19. Tentu saja dengan kesepakatan bersama. Kedua, keluarga yang telah mampu dan masih tercatat sebagai penerima bantuan diimbau untuk dialihkan kepada keluarga miskin lain yang belum tersentuh bantuan. Terakhir, BLT-DD dibagi rata dalam satu RT atau RW untuk meredam gejolak antarwarga desa.
Bulan Juni ini adalah akhir dari penyaluran BLT-DD.
Udin Suchaini, Fungsional Statistisi pada Badan Pusat Statistik