Apa jasa Joko Tjandra di negeri ini? Bukankah dia yang justru mempecundangi negara? Dan yang paling penting, presiden siapa yang bakal berani menawarkan kewarganegaraan Indonesia kepada Joko Tjandra kelak?
Oleh
Hamid Awaludin
·5 menit baca
Dalam cerita-cerita dunia persilatan, ada istilah di atas langit, ada langit lagi. Tak ada pendekar paling sakti, karena selalu ada pendekar lain dengan ilmu yang lebih mumpuni. Namun, dalam penegakan hukum, adagium itu tak berlaku bagi Joko Tjandra. Ia menganggap dirinya lebih tinggi dari Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Polri.
Joko Tjandra beberapa hari belakangan ini mempertontonkan kekuatannya di depan mata hukum: ia muncul dan melenggang ke kantor pemerintah dan pengadilan, membuat kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) atas namanya, mengambil foto di kelurahan, ke kantor imigrasi untuk memperpanjang paspor, lalu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mendaftarkan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya.
Semua itu ia jalani dalam statusnya sebagai buronan. Sudah 11 tahun ia tak kunjung bisa ditangkap. Selama itu ia ke mana-mana untuk menghindari vonis dua tahun penjara yang telah dijatuhkan Mahkamah Agung di tingkat PK. Terakhir kali ia terpantau pada 2009, ketika ia kabur ke negara tetangga, Papua Niugini.
Kepergiannya disusul kabar bahwa ia telah beralih status kewarganegaraan menjadi warga negara Papua Niugini, yang diperolehnya pada 29 April 2012. Lalu, ia memperoleh paspor Papua Niugini pada 4 Mei 2012 dengan nama Joe Chan. Tahun kelahirannya pun berubah, dari tahun 1951 menjadi 1963. Luar biasa, kan?
Ia menganggap dirinya lebih tinggi dari Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Polri.
Tak ada angin, tak ada hujan, saat perhatian kita tersedot oleh entakan pandemi Covid-19 yang tak surut-surut, tiba-tiba publik dihebohkan dengan informasi bahwa Joko Tjandra sudah berada di Indonesia. Sudah tiga bulan lamanya ia berada di Indonesia dan leluasa berhubungan dengan pengacara, membuat KTP-el, dan mendaftar PK ke pengadilan.
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sampai sakit hati. ”Yang menyakitkan hati saya adalah katanya tiga bulanan dia ada di sini. Baru sekarang terbukanya,” katanya dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Jakarta, Senin, 29 Juni lalu. Lantaran telanjur heboh, Joko Tjandra tidak menghadiri persidangan yang sudah dua kali digelar. Alasannya, sakit. Andaikan Jaksa Agung tidak menyoalnya, tentu Joko Tjandra dengan gagah dan sehat bugar akan hadir dan meyakini bahwa ia akan bebas dalam PK.
Masuk tanpa terdeteksi
Kehebohan dan keanehan tidak berhenti di sini. Kehadirannya di Indonesia tak terdeteksi oleh sistem keimigrasian kita. Lalu, bagaimana ia bisa masuk wilayah Indonesia?
Skenario pertama, Joko Tjandra masuk dengan paspor lain, bukan paspor Papua Niugini karena data tentang ini pun tidak ada di imigrasi kita. Besar kemungkinan, selain menjadi warga negara dan memegang paspor Papua Niugini, Joko masih memiliki kewarganegaraan dan paspor lain. Maklum, Papua Niugini memungkinkan warganya memiliki kewarganegaraan lain (dual citizenship).
Skenario kedua, Joko menyeberang dari Malaysia melalui jalan-jalan ”tikus” (darat), masuk melalui Entikong di Kalimantan Barat, lalu ke Jakarta. Joko menguasai kawasan itu karena ia berasal dari daerah itu. Bisa juga, ia menyeberang dari Papua Niugini ke Papua, lalu ke Jakarta. Atau, masuk ke Indonesia melalui pulau-pulau kecil di Kepulauan Riau.
Pertanyaan berikut, mengapa Joko memaksakan diri mendapatkan paspor baru dari Indonesia? Saya yakin, Joko percaya bahwa permohonan PK-nya dikabulkan. Begitu dikabulkan, ia bisa dengan mudah balik ke Indonesia dengan paspor Indonesia yang telah diperbarui. Ia telah me-laundry dan menyulap dirinya sebagai warga negara Indonesia asli karena ia telah memiliki paspor Indonesia. Padahal, dirinya masih warga negara asing.
Ia tidak diharuskan menghadiri persidangan. Yang mengikuti proses itu cukup pengacaranya. Maka, dalam pelarian dan persembunyiannya, proses PK yang diajukannya tetap bisa berjalan. Ia, dengan hakulyakin, akan memperoleh keberuntungan.
Saya yakin, Joko percaya bahwa permohonan PK-nya dikabulkan.
Apabila ia memenangi PK, apakah secara otomatis masalah hukum atas dirinya serta-merta selesai? Tunggu dulu.
Negara bisa menuntut pidana atas diri Joko Tjandra atas pelanggaran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ia secara licik memperoleh dokumen negara (paspor Indonesia) dengan memberikan data yang tidak sah atau keterangan tidak benar untuk memperoleh dokumen negara tersebut. Ia berpura-pura menjadi warga negara Indonesia. Ancaman pidana atas perbuatan ini, lima tahun penjara.
Joko Tjandra juga bisa dipidana dengan undang-undang yang sama karena ia keluar masuk wilayah Indonesia tanpa melalui pemeriksaan petugas Imigrasi.
Lepas dari aspek pidana tersebut, Joko Tjandra, kalau toh kelak dibebaskan karena PK-nya dikabulkan, tetap bukan warga Indonesia karena kewarganegaraan Indonesia-nya sudah gugur setelah ia menjadi warga negara dan memperoleh paspor Papua Niugini. Kalau, toh, ingin kembali menjadi warga negara Indonesia (WNI), ia harus menanggalkan kewarganegaraannya yang lain.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Joko Tjandra bisa saja bermohon menjadi WNI kembali setelah ia bertempat tinggal di Indonesia selama lima tahun berturut-turut atau 10 tahun secara tidak berturut-turut.
Namun, peluang ini sangat tipis karena dalam undang-undang yang sama jelas dikatakan bahwa seseorang bisa bermohon menjadi warga negara Indonesia apabila ia tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana satu tahun atau lebih.
Ketentuan ini menyatakan dijatuhi pidana, bukan menjalani pidana. Joko Tjandra telah dijatuhi pidana dua tahun. Jadi, kalau, toh, ia kelak ditangkap dan menjalani pidananya, ia tetap tidak bisa memperoleh kembali status kewarganegaraan Indonesia-nya.
Satu-satunya peluang yang mungkin bisa membantu dirinya kembali menjadi WNI ialah menggunakan undang-undang yang sama (Kewarganegaraan). Dalam Pasal 20 UU Kewarganegaraan, orang asing dimungkinkan menjadi WNI tanpa melalui persyaratan masa tinggal di Indonesia (naturalisasi) bilamana orang itu berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara.
Presiden, setelah memperoleh pertimbangan DPR, dapat memberikan kewarganegaraan kepada orang itu. Apa jasa Joko Tjandra di negeri ini? Bukankah dia yang justru mempecundangi negara? Dan yang paling penting, presiden siapa yang bakal berani menawarkan kewarganegaraan Indonesia kepada Joko Tjandra kelak?