Dibutuhkan Gerakan Sosial untuk Menyelesaikan Kasus HAM
Oleh
Suhartono
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama lebih kurang 20 tahun Reformasi, penyelesaian kasus hukum dan hak asasi manusia masih belum progresif. Perlu ada tekanan besar dari gerakan sosial baru untuk mewujudkan reformasi hukum. Hal ini disebabkan peran parlemen sebagai pengontrol pemerintah juga belum masif.
Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia (HAM) Imparsial Al Araf mengatakan, dalam konteks reformasi hukum, khususnya penyelesaian kasus HAM, dibutuhkan keberanian politik. Jika hal tersebut tidak terjadi, perlu ada tekanan yang kuat dari gerakan sosial untuk menawarkan terobosan.
”Saya rindu gerakan mahasiswa masa lalu menjadi pendobrak kebuntuan dalam kekuasaan yang gagal menuntaskan beberapa persoalan. Saat ini sangat dibutuhkan jalan alternatif dari gerakan mahasiswa baru,” katanya saat peluncuran buku Demokrasi Minim Kontrol dan HAM dan Keamanan di Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Araf menambahkan, jika hanya berharap pada kekuasaan pemerintah dan DPR (Parlemen), bukan tidak mungkin pada refleksi 30 tahun mendatang masih akan menganalisis hal yang sama.
”Pembunuhan Munir menjadi salah satu ironi karena terjadi pada era Reformasi dan penyelesaiannya belum tuntas hingga sekarang. Kalau pada masa pemerintahan Orde Baru, mungkin wajar-wajar saja,” katanya.
Reformasi saat ini, menurut Araf, belum bisa memisahkan antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Hal ini yang membuat penyelesaian kasus HAM berjalan stagnan dan proses reformasi hukum masih setengah hati.
”Memang di era ’98 itu tidak ada pemisahan garis batas yang jelas antara kekuatan lama dan kekuatan baru. Akhirnya yang terjadi justru kekuatan lama menjadi pemain di dalam politik reformasi. Yang baru masuk dalam kubangan kompromi dan pragmatisme politik,” kata Araf.
Araf menambahkan, dalam jangka panjang, kewenangan Komisi Nasional (Komnas) HAM harus diperkuat agar penyelesaian kasus HAM tidak masuk ke ranah politik. Komnas HAM harus diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. Selama ini banyak kasus berhenti karena penyidikan di Kejaksaan Agung tidak berjalan baik.
”Dengan demikian, jika ada kasus pelanggaran HAM berat, prosesnya bisa langsung dilakukan oleh Komnas HAM. Revisi undang-undang harus diprioritaskan oleh DPR dan pemerintah,” kata Araf.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, juga mendukung bangkitnya gerakan sosial. Opini alternatif diperlukan agar proses reformasi hukum dan penyelesaian HAM bisa lebih progresif.
”Mudah-mudahan ini bisa ditangkap dengan baik. Kami butuh seruan yang membangun. Bukan seruan yang merusak. Kami butuh ide-ide baru dan segar sebagai langkah konsolidasi dari mahasiswa, lembaga non-pemerintah, serta pers,” kata Poengky.
Mantan peneliti utama bidang perkembangan politik nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi mengatakan, jika kita tidak bisa terlibat membela penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, maka kita akan kehilangan karakter.
”Tiba-tiba orang yang sangat kita cintai ditampar orang di depan kita. Jika kita tidak membela, artinya kita tidak berharga,” kata Mochtar. (FAJAR RAMADHAN)