Moralitas Masih Menjadi Persoalan
JAKARTA, KOMPAS - Keterlibatan kepala daerah dalam kasus korupsi yang terus terulang menunjukkan adanya permasalahan dalam moralitas. Banyak pejabat serta pengusaha yang tidak takut dengan hukuman karena keinginan untuk memenuhi kepentingan pribadi.
Kondisi tersebut membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla prihatin. Apalagi, menurut Kalla, sudah hampir 400 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
“Tentu kami prihatin begitu banyak (kepala daerah) ditangkap, tapi begitu terjadi terus. Jadi ini memang orang sepertinya tidak takut kena sanksi,” tutur Kalla, Selasa (16/10/2018) di Kantor Wapres, Jakarta.
Pada Senin (15/10), Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyusul penangkapan terhadap 10 orang pada Minggu (14/10) malam. Neneng menjadi kepala daerah ke-99 yang diproses KPK sejak tahun 2004. Sedangkan sepanjang 2018, jumlah kepala daerah yang ditangani KPK tergolong yang terbanyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yakni 25 orang kepala daerah. Sebagian kepala daerah tertangkap tangan, selebihnya terjerat kasus korupsi berdasarkan pengembangan perkara.
Dalam kasus Neneng, sejumlah kepala dinas juga turut ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari pihak swasta yang sedang mengurus perizinan proyek pembangunan Meikarta di Kabupaten Bekasi. Modus suap perizinan dan lobi proyek umum dilakukan para kepala daerah bekerjasama dengan jajarannya dan pihak swasta.
Wapres Kalla yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar itu menjelaskan, biasanya pejabat menyelewengkan kewenangan untuk mendapatkan sejumlah materi hanya karena keinginan untuk hidup mewah. Sementara gaji yang diterima tidak cukup untuk membiayai kehidupan yang mewah.
Penyebab lain yang mendorong kepala daerah korupsi atau menerima suap adalah ongkos politik yang relatif mahal. Meski regulasi telah mengatur solusi untuk menekan biaya politik, para calon kepala daerah tetap melakukan berbagai macam cara agar bisa memenangi pemilihan kepala daerah (pilkada). Cara yang ditempuh termasuk membagikan uang dan materi lain demi memperoleh dukungan masyarakat.
Di sisi lain, mekanisme perizinan usaha juga masih banyak menyisakan celah untuk suap atau korupsi. Pengusaha memutuskan untuk menyuap karena ingin lebih cepat memperoleh izin usaha. Akan tetapi sebenarnya, menurut Kalla, sudah banyak pemda yang menerapkan penguruzan izin satu pintu untuk mencegah penyelewengan. “Tapi ya ini namanya manusia, tidak pernah puas,” kata Wapres Kalla.
Dukungan semua pihak
Secara terpisah Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan keberadaan lembaganya berperan sebagai trigger mechanism untuk mendorong sistem supaya lebih transparan dan akuntabel. Selain itu, KPK juga berupaya memacu terjadinya check and balances secara alamiah melalui program pencegahan yang dilakukannya ke tiap instansi dan pemerintah daerah.
“Untuk itu, pemerintah (pusat dan daerah) mestinya juga mempunyai niat dan melaksanakan tata kelola keuangan negara yang lebih menegakkan good governance. Penegakan hukum juga masih bermasalah. Sistem Pemilu yang ada juga perlu diperbaiki. Ini semua harus diselesaikan secara simultan dan bersinergi, tidak hanya dari KPK saja,” tutur Agus.
Hal ini bukan tanpa alasan. Agus kembali menyinggung jeblognya skor Indonesia dalam World Justice Project dan Varieties Democracy Project yang turut menyumbang stagnasi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia. Korupsi politik pun sukar diberantas karena niat yang disinggung Agus tersebut urung diwujudkan oleh pihak pemerintah pusat maupun daerah.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir ketika dihubungi dari Jakarta menyampaikan nilai moral kepatutan kini nisbi dan dinihilkan. “Semua itu buah dari politik dan demokrasi yang semakin liberal dan hanya prosedural saja. Di sisi lain, parpol dan elit parpol merasa digdaya sehingga kritik dan masukan tidak akan mempan,” ujar Haedar.
Pembenahan harus dilakukan di semua tingkatan. Rezim antikorupsi perlu diperluas ke sektor swasta
Hal senada diungkapkan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko. Program pencegahan yang dilakukan dan dipantau serius oleh KPK tetap membutuhkan evaluasi mendalam. Apalagi selama ini, kerap hanya dianggap seremonial dan wacana oleh jajaran pemerintah baik eksekutif, legislatif, hingga yudikatif.
Namun berdasarkan kajian yang pernah dibuat TII, kerusakan bukan hanya berada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Secara umum, kasus korupsi baik di pusat maupun daerah hampir selalu melibatkan swasta dan korporasi. Dari data KPK, swasta menjadi nomor dua terbanyak yang diproses KPK yaitu mencapai 204 orang sejak 2004.
“Jadi, pembenahan harus dilakukan di semua tingkatan. Rezim antikorupsi perlu diperluas ke sektor swasta,” kata Dadang.