Soal Oesman Sapta, KPU Pertimbangkan Masukan Mantan Pimpinan MK dan MA
Oleh
Antony Lee
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemilihan Umum akan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak untuk membuat merumuskan kebijakan yang final terkait pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta dalam pemilihan anggota DPD. Namun, keputusan tetap akan diambil KPU dengan berpijak pada independensi lembaga.
Pada Senin (3/12/2018) sore, mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, serta beberapa pengajar hukum tata negara dan hukum adminstrasi negara menyambangi Gedung KPU di Jakarta. Mereka menyampaikan masukan dan pernyataan akademik terkait dengan polemik putusan MK, putusan MA, dan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait pencalonan anggota DPD.
Ketua KPU Arief Budiman, seusai pertemuan menyampaikan bahwa KPU sangat menghargai masukan dari orang-orang yang berkompeten, profesional, dan integritasnya bisa dipercaya. Menurut dia, Prof Mahfud MD dan Prof Bagir Manan, sebagai mantan pimpinan MK dan mantan pimpinan MA merupakan sosok yang sangat tepat untuk memberikan pandangan ke KPU. Namun, Arief juga menegaskan, KPU akan menerima masukan dari siapapun untuk dipelajari, baru kemudian akan diambil keputusan dengan berbasis profesionalisme dan independensi lembaga tanpa tekanan dari manapun.
“Senin malam ini kami rapat pleno untuk membahas berbagai agenda. Ada 4-5 agenda yang akan dibahas, termasuk mengenai pencalonan Pak Oesman Sapta,” kata Arief.
Polemik ini dinilai muncul karena ada putusan MA dan PTUN Jakarta yang dianggap tidak sesuai putusan MK. MK menyatakan calon anggota DPD tidak boleh merupakan pengurus parpol. Atas dasar putusan MK, KPU menyusun Peraturan KPU tentang Pencalonan DPD yang menjadi basis KPU menyatakan Oesman Sapta tidak memenuhi syarat karena tidak melampirkan surat pemberhentian dari kepengurusan parpol sebelum penetapan daftar calon tetap DPD.
Sementara itu, putusan MA menyatakan PKPU Pencalonan berlaku sepanjang tidak diberlakukan surut. Sementara itu, putusan PTUN Jakarta memerintahkan KPU untuk memasukkan nama Oesman Sapta dalam daftar calon tetap anggota DPD pada Pemilu 2019.
Dalam pertemuan itu, Prof Mahfud MD dan Prof Bagir Manan juga menjabarkan pernyataan akademis yang disusun oleh 100 pengajar hukum tata negara dan hukum aministrasi negara. Namun, mereka juga menyampaikan menghormati independensi KPU.
Para pakar hukum itu meminta KPU untuk mematuhi konstitusi dalam persoalan pencalonan anggota DPD. Dalam pernyataan yang diserahkan kepada KPU, para pakar itu menganggap pada dasarnya tidak ada alasan bagi KPU untuk tidak mematuhi putusan MK yang merupakan pengejawantahan dari UUD 1945. KPU bisa dianggap mengabaikan UUD 1945, UU Pemilu, dan putusan MK jika mencantumkan nama-nama yang tidak berhak mencalonkan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari menuturkan, dalam pertemuan itu, dua tokoh senior bidang hukum itu menyoroti tiga faktor penting, yakni pertama, agar konstitusi dipatuhi. Kedua, mereka menjelaskan landasan filosofis bahwa menegakkan konstitusi itu membutuhkan keberanian dan keluhuran agar bisa menuntaskan tantangan.
“Faktor ketiga, yang terpenting adalah KPU sendiri adakah niat untuk menerapkan kehendak UUD 1945,” kata Feri.
Jumat pekan lalu, kuasa hukum Oesman Sapta Gugum Ridho Putra dan Dodi Abdul Kadir juga sempat beraudiensi dan menyampaikan pokok pikirannya ke KPU RI. Mereka menyampaikan putusan MK, MA, dan PTUN tidak bertentangan. Gugum menyampaikan, putusan MA mengamini putusan MK, tetapi implementasinya tidak di Pemilu 2019 karena proses pencalonan sudah berjalan. Sementara itu, Dodi meminta semua pihak tidak “menghakimi” dalam opini publik serta menghormati putusan lembaga peradilan. Dia menyerahkan kepada KPU untuk menjalankan putusan hukum yang sudah ada.