JAKARTA, KOMPAS — Penerapan biaya sosial korupsi perlu dilakukan sebagai penyempurnaan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi. Perubahan paradigma terkait dengan nilai kerugian negara dan penguatan melalui payung hukum patut didorong agar penerapan biaya sosial korupsi ini berlaku untuk mengatasi tindak pidana korupsi yang terus terjadi.
Berdasarkan data yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jumlah perkara korupsi di tingkat penyidikan terus meningkat sejak 2015 hingga 2018. Pada 2015 tercatat 57 kasus yang disidik. Angka ini naik menjadi 99 kasus pada 2016 dan 121 kasus pada 2017. Pada 2018, jumlah kasus di tingkat penyidikan mencapai 199 perkara.
Sementara peningkatan jumlah perkara yang ditangani tidak berbanding lurus dengan penyelamatan uang negara. Pada 2015, jumlah uang negara yang dimasukkan ke dalam kas Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari penanganan perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) tercatat Rp 198 miliar. Jumlah tersebut meningkat pesat pada 2016, mencapai Rp 486,7 miliar.
Namun, pada 2017 uang yang masuk sebagai PNBP hanya Rp 151,3 miliar, padahal jumlah perkara meningkat. Sementara pada 2018, PNBP dari penanganan perkara KPK mencapai Rp 500 miliar. Salah satu penyebab nominal PNBP mengalami fluktuasi disebabkan hasil lelang dan uang sitaan dari tindak pidana pencucian uang.
”Penanganan perkara TPPU cukup berpengaruh terhadap penyelamatan uang negara,” kata Koordinator Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti, dan Eksekusi KPK Titik Utami di Jakarta, Minggu (10/3/2019).
Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono menyampaikan, penerapan biaya sosial korupsi ini dapat mendorong penyelamatan uang negara. Bahkan, biaya sosial korupsi ini memiliki cakupan yang lebih luas dari sekadar aspek kerugian keuangan, tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan terhadap masyarakat yang dihitung secara ekonomi.
Rimawan Pradiptyo dari Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Gadjah Mada menjelaskan, penghitungan biaya sosial korupsi ini terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit merupakan nilai uang yang dikorupsi dan dinikmati sendiri ataupun bukan. Biaya eksplisit ini yang kerap disebut sebagai kerugian uang negara.
Biaya implisit merupakan biaya yang timbul dari dampak korupsi yang dilakukan berdasarkan kasus yang terjadi. Biaya sosial korupsi juga menghitung biaya yang telah dikeluarkan penegak hukum untuk pencegahan hingga penanganan perkara korupsi.
”Jadi, semuanya akan dihitung dan menjadi beban dari pelaku korupsi tersebut. Karena yang terjadi selama ini justru sebaliknya, masyarakat menyubsidi pelaku korupsi,” ujar Rimawan.
Rimawan menambahkan, nilai kerugian uang negara jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai biaya sosial korupsi. Ia mengambil contoh, kasus korupsi sumber daya alam dengan kerugian uang negara Rp 10,21 miliar, nilai biaya sosialnya bisa mencapai Rp 923,21 miliar karena kerugian yang dirasakan masyarakat turut dihitung.
”Misal, kerusakan alam yang ditimbulkan, masyarakat yang kehilangan sumber penghidupan akibat kerusakan alam,” kata Rimawan.
Payung Hukum
Akan tetapi, penerapan biaya sosial korupsi ini dinilai sulit karena pemahaman penegak hukum terhadap nilai kerugian uang negara saat ini terbatas pada yang dinikmati pelaku korupsi. Payung hukum terkait dengan biaya sosial korupsi ini juga belum secara jelas tertuang dalam undang-undang.
”Pemahaman penegak hukum terhadap pemahaman nilai kerugian harus diperluas. Perlu ada aturan yang secara gamblang menjelaskan kerugian negara yang dihitung dengan biaya sosial ini meski untuk menerapkan sistem ini atau membuat aturannya akan menghadapi kendala karena jaringan koruptor merasa enggan,” ujar Giri.
Secara terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, mendorong pentingnya revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Banyak elemen yang perlu dimasukkan dalam UU Tipikor yang baru mengikuti tindak pidana korupsi yang bertransformasi, termasuk rekomendasi dari Konvensi PBB Anti-Korupsi (UNCAC).
”Jika ingin ada efek jera dan pemberantasan korupsi berjalan optimal, revisi UU Tipikor rasanya butuh dilakukan segera untuk mengakomodasi banyak hal,” kata Indriyanto.