Pemecatan ASN Korup Tak Langgar Regulasi dan Tanpa Menunggu Putusan Inkrah
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi menegaskan aparatur sipil negara yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus diberhentikan secara tidak hormat. Keputusan itu diharapkan menjadi titik pijak bagi pejabat pembina kepegawaian yang selama ini masih berlama-lama memecat ASN korup.
Perlawanan sejumlah pegawai negeri sipil terpidana korupsi untuk bebas dari pemecatan dengan menggugat ke MK gagal. Dalam salah satu putusan MK dengan nomor 87/PUU-XVI/2018 atas pemohon bernama Hendrik dari Pemerintah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, majelis hakim menilai, Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN yang dijadikan dasar pemerintah memecat ASN terpidana korupsi tidak melanggar konstitusi.
"Jika seorang PNS diberhentikan karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana yang ada hubungannya dengan jabatan, hal demikian adalah wajar sebab dengan melakukan kejahatan atau tindak pidana demikian seorang PNS telah menyalahgunakan atau bahkan mengkhianati jabatan yang dipercayakan kepadanya untuk diemban sebagai ASN," tulis putusan tersebut, yang ditandatangani oleh Ketua MK Anwar Usman beserta anggota-anggota MK, Aswanto, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, dan Suhartoyo di Jakarta, Kamis (25/4/2019) sore.
Tak hanya itu, majelis hakim juga berpendapat, pemerintah dapat memecat tanpa melihat rentang waktu putusan inkrah. Sebab, Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN diberlakukan terhadap PNS yang masih aktif.
Titik pijak
Dihubungi secara terpisah di Jakarta, Jumat (26/4/2019), Kepala Biro Hubungan Masyarakat BKN Mohammad Ridwan mengatakan, putusan MK tersebut diharapkan bisa menjadi titik pijak bagi PPK yang selama ini masih ragu-ragu untuk memecat ASN terpidana korupsi di instansinya.
"Progress pemecatan semingguan ini hanya naik satu persen. Keputusan MK ini bisa menjadi peluru baru bagi teman-teman di daerah dan pusat untuk mempercepat proses itu. Jadi, tak ada alasan-alasan lagi," tutur Ridwan.
Putusan MK tersebut diharapkan bisa menjadi titik pijak bagi PPK yang selama ini masih ragu-ragu untuk memecat ASN terpidana korupsi di instansinya.
Berdasarkan data BKN, hingga 26 April 2019, dari total 2.357 ASN terpidana korupsi, baru 1.147 orang yang ditetapkan surat keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (SK PTDH). Masih ada 1.210 ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan. Mayoritas ASN tersebut merupakan ASN di pemerintah daerah.
Kepala Biro Hukum, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Mudzakir juga berpendapat, perlu ada percepatan pemecatan ASN terpidana korupsi itu mengingat tenggat waktu yang ditetapkan Menpan RB sampai tanggal 30 April 2019.
"Menpan sudah mengeluarkan surat edaran kepada para PPK untuk segera melakukan tindakan administratif yaitu pemberhentian dengan tidak hormat kepada PNS yang sudah dipidana atas tindak pidana korupsi dan sudah inkrah," ujarnya.
Sebagai catatan, tenggat waktu 30 April itu bukanlah yang pertama. Pertengahan September 2018, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo bersama Menpan RB Syafruddin serta Kepala BKN Bima Haria Wibisana menandatangani surat keputusan bersama terkait pemecatan 2.357 ASN terpidana korupsi dengan batas waktu akhir 2018. Namun, permasalahan ini tak kunjung tuntas.
Sanksi
Pelaksana tugas (Plt) Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik menuturkan, pihaknya bersama Kementerian Keuangan telah menyiapkan draf aturan yang berisi sanksi kepada PPK yang taak mentaati tenggat waktu, 30 April itu. Sanksi tersebut bermula dari teguran sanksi administratif, penghentian sementara hak-hak keuangan, hingga penghentian jabatan sementara.
"Intinya, kami harus mengingatkan bahwa gubernur, bupati, walikota, dan kepala di pusat, itu adalah pelaksana UU. Kalau tidak melaksanakan UU, maka ada sanksinya," kata Akmal.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang berpendapat, lamanya proses pemecatan ASN ini dikarenakan masih kentalnya perilaku yang menolerir tindak korupsi.
"Negeri ini zero tolerance-nya terhadap perilaku korup dari skala 1 sampai 10 berada di angka 4. Menurut saya, upaya (percepatan pemecatan) ini baik untuk tingkatkan zero tolerance kita," tutur Saut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, kelambanan pemecatan ASN terpidana korupsi telah mengganggu proses percepatan reformasi birokrasi. Apalagi, ironisnya, hingga saat ini, mereka masih tetap menerima hak tunjangan dan gaji.
"Masalah ini menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah daerah dan pusat dalam menata birokrasi. Apapun program pusat kalau birokrasi tak bagus, tak bersih, tak capable, semua proses pembangunan menjadi tak optimal," kata Robert.
Indonesia Corruption Watch (ICW) sebelumnya pernah menyebutkan, potensi kerugian negara akibat kelambanan pemecatan itu mencapai sekitar Rp 4,23 miliar per bulan atau Rp 50,8 miliar per tahun. Nilai itu dihitung dari rata-rata gaji pokok ASN yang berada di golongan III dengan masa kerja sekitar 16 tahun sebesar Rp 3,5 juta setiap bulannya. Itu pun belum termasuk tunjangan lain-lain.